Share

Part 4: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Sepulang dari pasar, Eppa’ memanggilku, tanpa berganti baju hanya meletakkan keranjang bambu di samping rumah. Eppa’ bau amis laut, bau hampir semua laki-laki di daerah ini.

Begitu Eppa’ duduk di bale-bale dan mengipasi dirinya dengan caping, Ebo’ sudah datang mendekat dengan secangkir kopi hitam kental di tangan.

“Pa’, sudah nelpon Enning?” tanyaku tak sabar.

Eppa’ mengangguk.

“Marfu’a tak keberatan kamu ikut ke Jakarta. Tapi katanya kamu harus siap mental. Tak gampang hidup di Jakarta. Marfu’a tak masalah kamu mau bantu dia di pasar atau kamu mau cari kerjaan sendiri di sana.”

Aku tersenyum lebar. Aku tahu Enning Marfu’a memiliki pemikiran luas seperti Eppa’.

Ebo’ melirik Eppa’, kali ini tanpa kerutan lagi di antara alisnya. Mafhum.

Aku merasa tidak sabar menunggu hari keberangkatan, ijazah lulus dari SMA  Ambunten kupandangi lekat, ini modalku. Kata Enning, aku harus membawa ijazah untuk melamar pekerjaan di sana.

Hari keberangkatan sudah ditentukan. Hari minggu, empat hari dari sekarang. Sudah dua malam ini Ebo’ tidur bersamaku. Ia bagaikan induk burung yang melindungiku di bawah sayapnya.

“Hidup ini tak sekadar apa yang dilihat oleh mata. Hidup ini punya bagian yang harus dilihat dengan hati nurani.”

Aku memeluk Ebo’. Hening, hampir tengah malam. Eppa’ sedang pergi, biasanya menjelang tidur, Bapak akan berdendang kecil, lagu masa kecilnya, Lir Sa’Alir. Lalu sambil bercengkerama dengan Ebo’, Eppa’ akan mengenang masa lalunya saat masih kanak-kanak.

“Jangan silau oleh harta, karena harta itu hanya titipan sementara kita di dunia. Pulang hanya dengan berbekal kain kafan.”

Aku masih diam.

“Cari pekerjaan halal. Kerjakan dengan sungguh-sungguh, apa pun pekerjaan yang kamu sedang jalani. Jangan mengeluh, ulet, tak putus asa, ingat Allah.”

Rasa sesak menghampiri perasaanku, perlahan namun pasti. Iya Bo’, putrimu ini akan selalu ingat nasehatmu.

Beberapa hari kemudian, Warsito, Desman, Soca dan Wati berkumpul di rumah untuk melepaskan keberangkatanku hari ini. Sudah kusiapkan semua barang, satu tas besar pakaian dan dua dus bekas kemasan air mineral berisi oleh-oleh untuk Enning Marfua sudah ibu siapkan.

“Aku hanya ke Jakarta, tak usah nangis,” kataku pada Soca yang mulai terisak.

Yang lain menatap seakan aku akan pergi selamanya.  Kupeluk Soca dan Wati, kutahan dengan kesungguhan hati agar tidak larut dalam kesedihan mereka. Ini bukan sesuatu yang patut ditangisi, seharusnya aku berangkat disertai sorak-sorai.

Kujabat erat tangan Warsito, bersalaman untuk pertama kalinya. Kikuk, tak pernah aku berada dalam situasi resmi semacam ini.

Pada Desman, kutatap matanya yang layu dan memerah.

“Aku akan melamarmu, Ca, jangan pergi…” bisiknya. Dari ekor mataku kulihat ketiga temanku yang lain saling berpandangan mendengar kalimat itu.

Aku menggelengkan kepalaku.

“Aku tunggu kamu, Ca…” lanjutnya. Pertama kali kulihat di sepanjang umurku, matanya tergenang oleh airmata.

Tak ada jabat tangan antara aku dan Desman, hanya tatapan lekat dengan emosi yang bergumpal, begitu terasa.

Pada Soca aku bisa menahan tangis, namun pada Ebo’, air mataku seperti air susunya yang melimpah ruah saat aku bayi. Kupeluk tubuhnya erat, hingga berguncang, tangisnya menyayat hati. Aku melepaskan pelukan, menciumi wajahnya dan kucium tangannya dan mengeraskan hati untuk tak membalikkan badan, melangkah maju terus tanpa menoleh ke belakang. Eppa’ sudah menungguku di dalam mobil.

Haji Dullah memberi pinjam mobil pick up-nya, Bapak akan mengantarku ke pool bis malam di Sumenep. Tanpa menoleh, kubiarkan hatiku membatu, ini mauku.

Eppa’ hanya diam sepanjang perjalanan dua puluh delapan kilometer dan mataku hanya menatap keluar jendela mobil, mengucapkan selamat tinggal dalam hati, pada laut, pada pohon nyiur, pada panasnya pulau Madura, pada senyum ramah yang menyapa Eppa’ di sepanjang jalan hingga kami masuk daerah Manding. Eppa’ masih belum mengucapkan apa-apa. Pandangannya lurus ke depan, tangannya terlihat kuat mencengkeram setir. Rahang tipisnya bergerak-gerak, begitu juga pelipisnya yang tertutup rambut berwarna perak.

Aku menoleh ke kanan saat mobil kami memasuki daerah Kebunan. Kata Eppa’ di sana ada areal kuburan Cina.

Je’ bilu’ tangkar, malang serat. Jakarta tempat asing, hidup selaras dalam masyarakat. Beradaptasi, agar Oca ndak dianggap merepotkan.”

Itu kalimat pertama Eppa saat kami memasuki Pamolokan, Sumenep. Sebentar lagi kami akan sampai di pool bus.

Dhelem[1], Pa’.”

Kemudian terdiam lagi. Pusat Kabupaten Sumenep sudah dilewati, aku memegang kuat tali tas di atas pangkuanku. Jantungku berdebar kencang melihat kendaraan besar yang siap membawaku. Besok di waktu yang sama, aku sudah akan berada di Jakarta. 

Eppa’ memarkir mobil di belakang bus. Banyak orang berkumpul di sana dengan sebagian bawaan berupa dus mi instan atau dus minuman mineral, sama seperti milikku. Sebelum turun dari mobil, Eppa’ menyodorkan amplop putih yang dia ambil dari dalam kantong celananya yang terlihat begitu lusuh .

“Ini untuk bekal kamu. Hati-hati di Jakarta. Jangan gampang percaya pada orang lain yang kamu belum kenal. Jakarta adalah surga sekaligus neraka.”

Aku tersenyum pada perumpamaan yang diucapkan Eppa’.

Meskipun Eppa’ tidak menyebutkan apa isi amplop itu, tapi aku langsung tahu, itu uang. Aku masukkan ke dalam tas ransel, berkumpul bersama satu amplop putih lainnya, dari Haji Dullah.

Eppa’ menurunkan semua barang bawaanku dengan kedua tangannya, sedangkan aku berdiri di sisi kirinya, bersama menyeberangi jalan raya yang sepi.

Kini aku sudah berbaur bersama mereka. Beberapa orang sudah naik, kemudian sisanya mulai masuk juga karena petugas pool sudah mengumumkan waktunya berangkat.

Kucium tangan Eppa’ dengan takzim, lalu melangkah pasti menaiki undakan bis yang tinggi. Langusng mencari tempat duduk di dekat jendela. Aku melihat ke luar jendela. Tiba-tiba Eppa’ terlihat lebih tua di mataku. Aku mengerjapkan mata yang tiba-tiba terasa panas, Eppa’ mengangguk samar dengan senyum tipis di bibir hitamnya. Bus mulai bergerak, aku menempelkan tangan di kaca jendela dan kupandangi terus sosok panutanku itu hingga mengecil, terus mengecil, lalu menghilang.

“Ke Jakarta juga, Le’6?” Seorang wanita setengah baya duduk disampingku.

“Iya, Kak.”

“Jalan-jalan?”

“Kerja. Kakak?”

“Nengok adik sakit di Jakarta.”

Aku memberinya senyum simpati, lalu diam. Tadi di rumah Eppa’ berpesan agar aku tidak usah bermanis-manis mulut, meladeni obrolan orang yang belum kukenal. Tampaknya orang ini wanita baik-baik, masih pettong popo[2], tapi aku tidak mau bertaruh tentang itu. Bukankah pepatah “srigala berbulu domba” masih dipakai hingga sekarang?

Bus sudah melaju melewati gapura selamat datang Kabupaten Sumenep, mulus terus melaju ke Pamekasan. Wanita sebelahku sudah lama terlelap, aku menjadi tidak terlalu bersalah untuk tidak meladeninya bercakap-cakap.

Empat setengah jam kemudian bis memasuki pelabuhan Kamal, mengantri masuk ke kapal ferry untuk menyeberangi selat menuju pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Beberapa penjaja makanan berseliweran dengan dagangan dalam wadah besar di atas kepala mereka. Cembong besar berwarna putih dengan hiasan bunga mengingatkanku kepada Ebo’. Di rumah juga ada wadah seperti itu. Belum juga keluar dari Madura, aku sudah merindukannya.

Aku menegakkan tubuh dan memanjangkan leher, sebuah kapal ferry merapat, dan mataku langsung mencari nama kapal di sisinya. Jokotole. Aku tersenyum. Andai ada Eppa' aku pasti akan main tebakan. Kali ini aku yang menang.

Lima belas menit kemudian, suara pintu hidrolik bus terdengar, dua orang penjaja makanan buru-buru keluar. Begitu pintu tertutup rapat, kesenyapan terjadi. Suara ricuh penumpang ferry yang juga sedang mengantri di sela kendaraan atau teriakan petugas mengatur antrian atau tangisan anak kecil yang mungkin kesal karena terhimpit, teredam begitu saja. Sebenarnya kesenyapan itu seolah terjadi, karena lama-kelamaan telingaku bisa mendengar suara orang bercakap-cakap di kursi belakang, lamat-lamat lagu dangdut yang diputar sejak dari Pamekasan terdengar lagi. Aku mulai hafal beberapa lagunya.

            Bus bergerak, saat melalui bagian yang menyambungkan kapal ferry dengan dermaga, kendaraan ini oleng ke kiri dan kanan. Kata Eppa’ itu karena bukan sambungan permanen, melainkan ujung kapal yang menjorok ke tepi dermaga, tetapi aku tak perlu kawatir katanya, itu aman. Bagaimana pun penjelasan Eppa’, hal itu sedikit membuatku jeri. Bagaimana kalau sambungan itu patah? Atau bis terlalu lambat masuk ke dalam ferry sedangkan ferry-nya mulai bergerak? Lalu bis jatuh ke dalam laut? Eppa’ hanya tertawa saat itu, mengisap rokok kreteknya di pinggiran ferry, sesekali menunjuk dengan tangannya pada titik yang membesar; pulau Jawa.

            Beberapa orang keluar, sekadar menikmati angin segar di luar. Eppa’ pernah mengajakku ke Surabaya beberapa kali sehingga aku hapal benar keadaan semacam ini.

 Aku berdiri dan mengendurkan otot tubuh. Wanita di sebelahku masih terlelap, ucapan permisiku membuatnya menegakkan badannya agar aku bisa keluar dari kursi. Aku memastikan tasku tertutup rapat ketika keluar dari bus. Udara hangat menerpa wajah, bau laut, dan bau pesing bercampur aduk. Aku bergerak pelan di antara kendaraan yang berdempetan dan orang-orang yang memilih meluruskan kaki mereka.

Aku menaiki tangga, menuju lantai dua ferry. Berdiri di pinggirannya, menikmati angin laut yang terasa lengket di wajah. Setidaknya, bau pesing diusir oleh bau sang laut. Kapal berayun-ayun, aku bertumpu pada pinggiran kapal, menatap pulau Jawa yang mulai terlihat jelas. Cerobong besar yang selalu menjadi penanda sebentar lagi kapal akan memasuki dermaga Perak kini terlihat jelas. 

Cukup sudah menikmati sedikit kebebasan ini, aku kembali ke dalam bis. Wanita teman dudukku masih juga tidur, sekali lagi ucapan permisi dari mulutku membuatnya setengah terjaga. 

Tubuhku terasa kaku dalam posisi duduk terus menerus, ketika bis berhenti untuk makan malam, kugunakan waktu untuk meregangkan otot-ototku yang tegang. Menghabiskan malam di bis merupakan pengalaman baru bagiku, tidurku tidak nyenyak. Walaupun kamarku tidak memiliki kipas angin dan tempat tidurku kasur kapuk tipis, aku masih memilih lebih baik aku tidur di rumah.

Aku mendekap tas erat-erat di dada, menjaganya dengan seluruh daya sekaligus untuk menutupi tubuh depanku dari angin AC dingin yang menderu-deru. Sudah kumatikan AC di atas kepala, namun dinginnya masih menusuk tulang. Aku manusia khatulistiwa, bukan beruang kutub.

Entah jam berapa aku terlelap, aku terbangun ketika kenek bus berteriak menyebutkan nama suatu daerah. Beberapa orang turun, aku melihat ke sekeliling, ternyata banyak kursi yang sudah kosong. Matahari sudah menampakkan diri, malu-malu di ufuk timur.

“Banyak yang turun tadi,” kata wanita di sampingku seakan bisa membaca pikiranku. 

Aku tersenyum tipis padanya, tidak berani membuka mulut lebar-lebar. Aku meraih air minum dan mengambil permen dari tasku, menawarkannya pada wanita itu, namun dia menolak.

Aku memasukkan permen ke dalam mulut lalu mengunyahnya. Cara baru menyikat gigi dengan praktis di saat genting dan menghindari lawan bicara menutup hidung karena bau mulut.

Beberapa jam berikutnya, mungkin karena tenaganya sudah pulih, cukup tidur, wanita itu mulai bercerita panjang lebar. Tentang anak, suami, keluarga, dan adiknya yang kini sedang di rumah sakit karena kecelakaan.

Lumayan untuk membuatku lupa, berapa lama lagi perjalanan harus kutempuh.

Jam sembilan pagi bus sudah memasuki wilayah Jakarta, aku merasakan suasana yang berbeda. Kendaraan besar berdesakan, persis seperti yang kulihat di televisi selama ini.

Gedung-gedung tinggi mulai terlihat, dan aku terperangah melihat semua itu.

Kampung Rambutan, nama yang aneh, namun tak ayal mataku mencari di mana pohon rambutannya berada. Di sini bis berhenti. Wanita yang duduk di sebelahku, yang tak kuketahui namanya hingga sekarang, segera bergegas turun. Ia tak mengucapkan kata pamit, mungkin pikirannya sudah kembali pada masalahnya.

Tinggal aku dan segelintir orang lagi di dalam bus. Aku berdiri perlahan, ransel kusandangkan ke bahu, meniti lorong bus pelan.

Kenek sedang membuka pintu bagasi barang. Enning sudah berpesan, setelah aku turun dari bus, mengambil barang-barangku, aku harus mencari tempat loket penjualan karcis. Aku harus diam menunggu di sana, sampai Enning datang. Tidak peduli sampai kapan pun, aku harus menunggu Enning. Tidak boleh asal ikut dengan orang asing yang mengatas namakan dirinya.

Dengan ransel di punggung, tas pakaian di bahu kananku, dan dus di masing-masing tangan, aku mencari loket penjualan karcis. Mataku menangkap tulisan yang kucari dan  bergegas kesana, berdiri menunggu.

Terminal ini ramai, banyak orang yang baru tiba dan yang baru mau berangkat. Masing-masing terlihat sibuk. Tak mengenal satu sama lain. Tak peduli satu dengan yang lainnya. Teriakan kenek menyebut nama-nama yang terdengar asing di telinga mendominasi, berikutnya bunyi mesin.

Kata Enning Marfu’a, orang Jakarta lebih suka ber-lo-lo, gue-gue, aku-aku, kamu-kamu, urusan masing-masing jadi jangan ikut campur. Hm, mungkinkah perbendaharaan kata “gotong-royong’”, “ringan sama dijinjing berat sama dipikul”, sudah hilang? Atau mungkin tertutup oleh bon kebutuhan hidup yang menunjukkan angka mencekik leher.

Aku melirik jam tangan, sudah lima belas menit, Enning belum tiba juga. Beberapa orang hilir-mudik di depanku. Beberapa cowok menoleh, entah kenapa keberadaanku menarik perhatian mereka. Aku menutup jaketku rapat-rapat. Rambut panjang yang tergerai kuikat ke belakang sekenanya.

“Dari mana, Neng?”

Aku menoleh ke sumber suara, seorang laki-laki berperut tambun tersenyum melihatku. Dia memegang segepok karcis di tangannya, mungkin petugas disini.

“Madura,” jawabku singkat.

Dia melirikku dari atas ke bawah, lalu tersenyum—menyeringai—kepadaku. Menyeramkan.

“Lagi nunggu?”

Aku mengangguk.

“Abang antar saja, Neng? Mau?”

Aku menggeleng, “Terima kasih. Saya menunggu keluarga.”

“Nggak apa-apa, Neng, daripada situ kecapean berdiri terus,” katanya terdengar memaksa dengan mata jelalatan seperti harimau yang mau menerkam mangsanya.

“Tidak, makasih.” Aku mengetatkan rahang dan genggamanku pada tali ransel. Sekelumit skenario sudah kuatur, akan kutinggalkan semua barangku di sini, kecuali ransel, apabila orang ini berniat jahat.

“Udah kawin, Neng?”

Aku setengah melotot mendengar pertanyaannya, perasaanku semakin tidak enak. Aku memilih diam.

***

[1] Dhelem : bahasa Madura halus, artinya iya.

[2] Pettong popo : bahasa Madura, artinya: sepupu ketujuh, saudara jauh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status