Share

Bagian 1: Sepuluh Menit Pertemuan Pertama

Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal.

“Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!”

Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang.

“Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.”

Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu komputer di dalam ruangan. Benar saja, masih ada satu komputer kosong yang terletak di samping pintu, berseberangan dengan posisi komputer yang ia tempati.

“Sepertinya peserta tersebut tidak akan hadir, Pak.” Balas pengawas perempuan. “Sekarang sudah pukul 07.59, mungkin ada baiknya kita mulai saja—“

“Maaf Pak, Bu, saya telat karena terses—AAA!”

Teriakan seorang gadis dan bunyi gaduh yang keras tiba-tiba memenuhi ruangan ujian. Suasana tegang kini berubah panik ketika melihat gadis itu jatuh tersungkur di depan ruangan. Semua peserta ujian melongok ke arahnya, sementara kedua pengawas ujian berlari tergopoh-gopoh untuk membantunya.

“Ananda, kamu tidak apa-apa?!” cemas pengawas pria, dengan sigap ia langsung membantu si gadis untuk berdiri.

“S—saya masih bisa ikut ujian, ‘kan, Pak?” balas gadis itu, mengabaikan pertanyaan yang ia dapatkan.

“Iya, kamu bisa ikut ujian.” sahut Pengawas perempuan saat menghampiri gadis itu. “Tapi, tenangkan diri kamu, dulu! Apa ada yang terluka?”

Gadis tersebut hanya menggeleng, kontras dengan kedua tangan yang sedang menepuk-nepuk kedua lutut, mungkin sekarang sedang terasa ngilu.

Melihat reaksi si gadis, Gala juga ikut meringis. Refleks pemuda itu menunduk, mengurut kedua lututnya seolah-olah rasa sakit gadis itu berpindah ke lututnya sendiri. Namun, ketika pemuda itu justru menemukan sesuatu tersangkut di ujung sepatunya.

“Pakai dulu hand sanitizernya.” Titah pengawas Pria, membuat gadis itu dengan patuh memakai hand sanitizer yang terdapat di meja depan. “Simpan semua perlengkapan kamu ke dalam tas, lalu letakkann tasnya di depan sana. Sebelum itu, jangan lupa mengambil KTP dan Kartu Peserta Ujian, ya.”

Tepat lima menit setelah kepanikan itu, rangkaian Ujian Tulis Berbasis Komputer di ruangan 402 kembali dimulai.

****

 “Eh, Lo!”

Gala menggaruk tengkuk, bingung bagaimana caranya menghentikan langkah Sang Gadis yang hampir menuruni anak tangga tersebut.

“Lo yang tadi ngejungkel!”

Efektif! Gadis yang ingin disusul Gala justru berhenti di tempat dan menoleh ke arah pemuda itu. Namun, raut wajahnya justru membuat Gala meneguk saliva sendiri.

S—sorry, Gue ga maksud buat ngatain lo.” aku pemuda itu terbata-bata.

“Kalau ga ngatain, kenapa lo manggil gue kayak gitu? Mau lo apa, hah!?”

Pemuda itu tidak menjawab dengan ucapan, melainkan memamerkan sebuah kartu tepat ke depan wajah gadis itu. Kemudian, ia meringis.

“Loh, e-money gue!” teriak gadis itu dengan lengkingan suaranya. “Kok, bisa ada di lo?”

“Tadi kartu lo terlempar ke tempat gue pas lo nge—“

“Stop!” tukas Sang Gadis dengan cepat, “Jangan nge-mention soal ngejungkel.”

“Lah, itu lo bilang sendiri!”

Balasan Pemuda itu cukup membuat si gadis jadi berkedip salah tingkah. Dia pun berdehem, berharap agar hal tersebut dapat mengusir canggung yang mulai kentara dari dirinya, “BTW, thanks udah ngembaliin kartu ini ke gue.”

Mendengar hal tersebut, si pemuda pun menampilkan senyuman terbaiknya. ”Santai-santai.”

Tidak berapa lama kemudian, si gadis kembali berbalik menuju ke arah tangga. Dengan sigap ia melambaikan tangan kepada pemuda itu, “Gue duluan, ya! Semoga lo lulus di UTBK ini.”

“Lo juga,” sahut Gala seketika, ikut melambaikan tangannya, “Semoga lo juga lulus di tempat yang lo pilih.”

Pemuda tersebut hanya bisa menatap punggung gadis itu yang mulai menjauh. Gala sedikit terkekeh, menyadari uniknya cara berjalan si gadis. Di dalam hati, ia mulai berharap semoga saja gadis itu tidak terjatuh lagi di suatu tempat.

Tunggu...

Apa tadi mereka sempat bertukar nama?

****

“GALANJIR! lo udah di mana, sih?!”

Pemuda itu refleks menjauhkan ponselnya dari telinga ketika mendengar gelegar suara penelepon seberang. Untung saja, Gala melakukannya tepat waktu. Jika tidak, mungkin telinganya sudah pekak sekarang.

“Lo bisa santai ga sih, ngomongnya?! Demen banget teriak kayak cewek, Nief.” Sewot Gala.

“Yaudah gue ulang,” balas temannya lagi. “Gala sayang, lo sekarang di mana? Sebentar lagi udah jam 3 sore, loh! Katanya mau buka pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi bareng-bareng.”

“Lo emang jauh dari kata normal! Gue sampai merinding dengar ucapan lo.”

“Banyak mau lo, dasar jomlo lapuk!” umpat Hanief kesal. “Coba aja kalau lo di depan gue, udah gue bejek-bejek lo!”

“Ampun! Kok lo malah jadi sensi banget sih?!”

“Cepetan ke sini! Kalau dalam 15 menit lo belum ada, hutang gue sama Mas Bro lo yang tanggung, ya!”

Baru saja Gala ingin memprotes, sambungan telepon justru diputus secara sepihak. Pemuda itu mengerang, sedikit kesal dengan ucapan temannya Sendiri.

Gala bergegas, mengambil kunci motornya, dan berlari menuju garasi begitu saja.

****

“Sampai juga ya lo, akhirnya.”

Gala hanya bisa mengulum senyum di balik masker yang ia kenakan saat ucapan itu keluar dari mulut temannya. “Gue tadi ketiduran.”

“Alasan lo ketiduran mulu, Gal. Mulai dari masa sekolah sampai kini udah serba online, masih juga dipake itu alasan.”

“Yaudah, lo ambil gorengan, gih! Nanti gue yang bayar.”

Kedua netra Hanief mendadak nyalang mendengar ucapan Gala barusan. Kepala yang tadinya tersandar pada dinding, kini terangkat antusias. “Serius? Duh, Gal, ‘kan gue jadi enak.”

“Yaudah kalau ga ma—“

“Mas Bro! Risolesnya lima, ya! Gala yang bayar, Mas.” sorak Hanief memotong kalimat Gala begitu saja.

“Gal, lo pacarnya Hanief, ya?” celetuk Rafa di balik ponselnya. “Temen lo ada tiga orang lagi, tapi yang terlihat di mata lo cuma Hanief doang.”

“Sembarangan mulut lo kalau ngomong!” sembur Hanief yang baru kembali dengan sepiring risoles di tangan. Pemuda itu langsung menghampiri, menarik masker Rafa, kemudian menjejalkan satu risoles utuh ke mulutnya.

Meski kaget, Rafa tetap menerima gorengan tersebut dengan senang hati, “Thanks, Bestai!”

Gala hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ajaib teman-temannya. Ia memilih untuk duduk berseberangan dengan Rafa dan Hanief.

“Masih sempat mabar ya, kalian.” gumam pemuda itu, lehernya memanjang demi melihat layar ponsel Zaidan yang duduk di sebelahnya.

“Rafa, noh.” balas Zaidan ringkas, “Katanya ga bisa rileks gara-gara sebentar lagi pengumuman.”

“Anjir! SAMUEL, ZAIDAN, BACKUP GUE!” Teriak Rafa tiba-tiba, ia langsung menegakkan punggung saking terkejutnya.

“Lo ada di mana, jir?!” balas Samuel, jempolnya sampai berputar-putar, mencari keberadaan Rafa di dalam gim yang sedang mereka mainkan.

“Anjirlah!” umpat pemuda itu sambil melayangkan ponselnya ke atas meja.

“Pas banget lo kalah.” Hanief mendekat, hendak membisikkan sesuatu kepada pemuda itu. “Tinggal hitungan menit, pengumuman mau dibuka, Raf.”

“Lo kalau mau ajak betumbuk, bilang!”

Beberapa detik kemudian, Samuel juga ikut meletakkan ponselnya ke atas meja. “Bukannya rileks, lo malah tambah galak, Raf.”

Sudut bibir Rafa terkulum, “Hanief tuh—“

“EH, SERVERNYA NGE-DOWN!”

Seluruh perhatian kini terpusat kepada Hanief Prakarsa Putra. Tanpa perlu diberitahu dua kali, teman-temannya juga tahu jika website pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi telah dibuka. Tidak ada lagi ekspresi santai, semua rahang terkatup. Mau tidak mau, mereka harus mengetahui hasil seleksi mereka cepat atau lambat.

“Countdown-nya udah hilang, ya?!” seru Zaidan ketika melihat ponsel Hanief, refleks pemuda itu langsung membuka website tersebut dari ponselnya.

“Udah.” balas Hanief singkat.

Gala juga tidak tinggal diam, ia mulai mengeluarkan ponsel dari kantung celana. “Terus refresh, Nief. Gue juga lagi coba di HP gue.”

Atmosfer di warung Mas Bro telah berubah drastis. Bahkan, Rafa yang tadinya ingin marah-marah justru sudah pucat pasi. Begitu juga dengan Samuel yang dahinya telah dibanjiri peluh melihat ketegangan teman-temannya.

“Siapa yang mau buka duluan? Ini HP gue udah bisa, Nih!”

“Ya lo duluan, lah!” seru Hanief sedikit ngegas.

Zaidan meringis, tapi tetap mengetikkan nomot ujian dan tanggal lahirnya di kolom yang tersedia. Namun, jempolnya mendadak kaku tepat sebelum menekan tombol pencarian terakhir.

“Kalau ternyata, gue harus ke Ausy, kalian masih mau jadi temen gue, ‘kan?”

“Tekan dulu tombolnya, pesimis ntaran aja!” Dengan gemas Samuel membantu pemuda itu untuk mempercepat proses pencarian hasil ujian temannya. Membuat Zaidan refleks menutup mata.

“LO DAPET HIJAU, NJIR!” Pekikan spontan Samuel membuat semua mata terfokus kepada ponsel Zaidan.

“Gila, Universitas Bung Tomo! Lo emang ditakdirkan banget jadi koko Surabaya, Dan!” seru Rafa dengan spontan mendorog-dorong bahu pemuda itu dengan tidak santainya.

“Sakit Woi!” balas Zaidan menepis tangan Rafa dari bahunya. Kontras dengan mata pemuda itu yang masih berkedip tidak percaya dengan hasil yang ia lihat sendiri. Namun, beberapa detik kemudian, Zaidan berdehem, kemudian mengembalikan fitur tersebut kembali ke menu utama.

“Siapa lagi nih, yang mau gue cekin?”

“Gue!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status