Share

04. Kekasihnya

Entah Yuca harus lega atau kesal saat kembali melihat Naja di kantor. Atasannya itu tampak bugar dan sehat walafiat setelah tiga hari tidak bekerja. Jejak alergi kacang di kulit wajahnya juga sudah hilang. Kini Naja sudah baik-baik saja, sedikit banyak fakta itu membuat Yuca lega.

Saat Naja baru datang, Yuca baru keluar dari ruangannya hendak ke toilet. Mata mereka bertemu pandang. Jantung Yuca sudah mulai berlebihan melihat pria itu lagi, tetapi lagi-lagi ia memang sangat berlebihan. Karena hanya dalam satu detik, Naja sudah membuang muka. Berjalan belok menuju ruangannya dan hilang dari pandangan Yuca. Seperti tidak kenal, begitulah yang terjadi. Namun, bukankah itu yang Yuca minta? Kini ia harus bersorak karena keinginannya itu dikabulkan oleh Naja, bukan?

"Lapar banget nggak, sih?" Yuca menoleh. Ia mengangkat kedua alis rendah saat melihat Rika yang baru datang.

"Gue?" tanyanya lalu memandangi sekitar. Ya, hanya dirinya yang ada di sana, itu berarti Rika bicara padanya.

"Iyalah. Lapar nggak? Gue lapar."

"Masih pagi, lho, Rik."

"Justru pagi itu, sarapan. Pengen bubur ayam Pakde Lorong," ujar Rika, menyebut salah satu rumah makan yang menjual bubur ayam di dekat kantor. "Mau nggak?"

Yuca diam untuk mempertimbangkan. Sebenarnya ia juga belum sarapan. "Ya udah deh, ayok. Tapi gue ke toilet dulu, ya?"

"Oke, gue tunggu."

Setelah itu Yuca langsung pergi ke toilet untuk menuntaskan panggilan alam.

*****

Bekerja di NF Entertainment sebenarnya tidak terlalu ketat. Datang kerja paling lambat jam sepuluh, istirahat boleh sampai dua jam, yang penting pekerjaan tetap selesai sesuai deadline. Kalau di awal hari datangnya jam sepuluh dan langsung mengambil istirahat dua jam, maka masuk kerja jam dua belas, tengah hari. Akan tetapi, risikonya akan lembur. Dan hari ini, risiko itulah yang Yuca ambil.

Setelah pulang sarapan dan bertemu Naja di lift, pikiran Yuca buyar. Pasalnya pria itu tidak sendirian, melainkan dengan seorang perempuan bertubuh bak model, rambut panjang berwarna cokelat gelap, dan berkulit putih. Kesimpulannya, perempuan itu sangat cantik.

Memang tidak seharusnya Yuca merasakan ini,  tetapi daripada cemburu, ia lebih merasa tidak pantas. Dirinya terpental jauh daripada perempuan itu. Seperti itulah tipe ideal Naja, bukan seperti dirinya yang berlemak di mana-mana. Oke, berlebihan memang karena Yuca sebenarnya tidak gendut, hanya berisi.

Saat di lift itu juga, pertanyaan yang tidak ia tanyakan pada Naja sebelumnya mendapat jawaban.

"Maaf ya, By, aku nggak tau kalau kamu alergi kacang. Kenapa kamu makan kuenya kalau emang alergi?" kata perempuan itu merasa bersalah.

Yuca dan Rika yang berada di belakang Naja dan perempuan itu mau tidak mau dengar juga. Saat itu Yuca tahu Rika tidak enak berada di sana, karena secara langsung ia melihat bagaimana buruknya ekspresi Yuca. Namun, pada akhirnya Rika hanya mengelus-elus pundak Yuca yang hanya mampu menunduk.

"Aku mau menghargai kue buatan kamu, Laura. Jangan merasa bersalah begitu, aku sudah sembuh sekarang," jawab Naja sambil mengusap lembut puncak kepala Laura.

Maka saat pintu lift terbuka sebelum tujuan Yuca dan beberapa orang masuk, Yuca memilih keluar dan pergi ke rooftop, di mana ia berada sekarang. Demi apa pun, Yuca juga tidak mau merasa seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi, hatinya tidak bisa berbohong bahwa ia terluka.

Dengan bodohnya ia membawa Naja ke rumah sakit setelah bersenang-senang dengan perempuan idamannya itu. Pasti Naja sedang menertawakan kebodohannya sekarang.

Yuca membersitkan hidungnya dengan tisu. Ia mengambil cermin kecil di tasnya. Perempuan itu melengos melihat penampilannya sendiri. Ia harus touch up make up.

Merasa lebih baik, jam tangannya sudah menunjukkan pukul dua belas. Yuca menarik napas dalam, ia harus siap menghadapi kenyataan.

Yuca menepuk kedua pipinya pelan agar bangun dari mimpi panjangnya. "Demi Tuhan, Yuna, ini sudah sebulan lebih lo putus sama laki-laki berengsek itu. Kalian cuma pacaran dua bulan yang dilandasi taruhan. Lo nggak seharusnya sedih berlarut-larut begini. Naja memang ganteng, tinggi, tipe ideal lo, tapi ganteng aja nggak cukup buat bahagia. Lo berhak bahagia!" monolog Yuca pada dirinya sendiri. Ia mengentakkan kakinya sebelum melangkah keluar rooftop.

Namun, betapa terkejutnya Yuca saat membuka pintu rooftop, di saat yang sama seseorang masuk. Mereka hampir bertabrakan kalau saja Yuca tidak punya rem otomatis di kakinya. Ya ... refleks yang bagus maksudnya.

"Eh, Ca?"

Melirik sekilas, Yuca mengangguk kecil tanpa tersenyum. Ia melewati pria itu begitu saja.

"Ca ... Yuca!"

Mendengkus, akhirnya Yuca balik badan. "Ada apa, Pak Renra?" tanya Yuca penuh penekanan. Selain Naja, Renda dan Dara juga menjadi alasan Naja ingin segera angkat kaki dari perusahaan ini. Ketiga orang itu seperti lingkaran setan yang wajib Yuca hindari.

"Mau ke mana, Ca?" tanya Renra setelah hening yang cukup panjang. Ia mengusap tengkuknya, canggung.

"Mau kerja, Pak," jawab Yuca sesingkat yang ia bisa. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Bisa kita bicara sebentar?"

Kedua alis Yuca terangkat rendah. "Mau bicara apa? Kalau ini soal taruhan yang Bapak dan teman-teman Bapak rancang, maka sebaiknya saya pergi sekarang," ujar Yuca terang-terangan.

"Memang soal itu, tapi ada yang mau saya jelaskan," jawab Renra, ikut bicara formal seperti yang Yuca lakukan.

"Semuanya sudah jelas. Saya permisi dulu," tolak Yuca. Lantas ia berbalik, meninggalkan Renra yang masih menatap punggungnya hingga turun tangga.

****

Perasaan bersalah tidak bisa dihindarkan saat Yuca baru masuk ruangan. Ia berusaha tersenyum saat ketiga partner kerjanya itu spontan berdiri serempak menyambutnya. Dapat ia tebak bahwa Rika sudah bercerita semuanya.

Saat sudah duduk di kursinya pun, ketiga orang di sana masih memperhatikannya dalam diam. Yuca mengembuskan napas perlahan lantas menatap ketiganya bergantian.

"Sori," ucap Yuca akhirnya. "Kesannya gue nggak bertanggung jawab sama sekali padahal kita kerjanya tim. Sori juga udah buat suasana jadi nggak nyaman."

"Justru kita khawatir karena lo nggak ada kabar, Ca." Rika adalah orang pertama yang menjawab. "Lo dari mana aja?"

Terkekeh pelan, Yuca menjawab. "Rooftop doang, sih. Cari angin plus berjemur."

"Nggak mau cerita aja biar plong? Toh, udah jadi rahasia umum juga kalau—"

Gulungan kertas mendarat di hidung Beni membuat ucapannya terpotong. Lingling, si pelaku, memelotot, menatapnya sengit sebagai peringatan.

"Ya itu ...." Beni menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maksud gue biar lo lega aja gitu, Ca."

"Kesannya kayak gue punya masalah besar aja." Yuca mengibaskan tangannya, berusaha terlihat santai. "Eh, kalian udah makan siang belum, sih? Makan siang aja dulu abis itu lanjut lagi. Riset yang kemarin udah, Ben?"

"Udah. Gue print atau kirim ke e-mail?"

"Hm ... e-mail aja deh."

"Ah, harusnya print aja, Ca," celetuk Rika, "gunakan aja kertas-kertas di kantor ini sebelum lo angkat kaki. Habisin, kalau bisa bikin bangkrut!"

"Eh, Kari Ayam, lo kerja di mana kalau NF bangkrut? Mana ada yang mau adopsi lo jadi karyawan. Novel solo lo aja nggak selesai-selesai!" kata Beni.

"Yeee ... itu kan karena gue lebih nyaman kerja tim!"

"Alah, ngeles!" balas Beni lagi.

"Udah," lerai Yuca. "Ben, cepet kirim ke gue terus kalian istirahat."

"Lo nggak ikut istirahat?" tanya Lingling.

Yuca menggeleng. "Gue kan baru datang."

"Nggak apa-apalah, Ca. Nggak mungkin juga lo dipecat. Yuk, maksi bareng?"

"Nggak deh," tolak Yuca. Ia mengambil naskah di sudut mejanya. "Kerjaan gue juga numpuk."

Beni, Lingling, dan Rika saling pandang. Mereka tahu bahwa mood Yuca belum baik. Akhirnya mereka memilih makan siang bersama sekaligus memberi ruang sendiri untuk Yuca.

Sepeninggalan tiga orang itu, Yuca mengembuskan napasnya panjang sebelum membuka e-mail. Dokumen yang dikirim oleh Beni itu berupa deretan huruf-huruf berwarna hitam, font Times New Roman, size 12, dan kertas A4. Detail itu lebih bisa Yuca tangkap daripada isi dokumen tersebut.

Yuca mengerang karena ia tidak bisa fokus. Perempun itu menunduk sambil menekan pangkal hidungnya. Mata Yuca terpejam, berusaha meredam riuh di kepalanya. Namun, itu tidak bekerja. Yang ada malah bayangan Naja mengelus puncak kepala Laura dengan lembut yang muncul di pikirannya.

Sialan!

Menjatuhkan pipi di atas meja, Yuca memilih mengabaikan pekerjaan yang meminta diperhatikan. Ia merenung lagi, memikirkan segala sikap Naja saat mereka masih pacaran. Begitu manis hingga akhirnya Yuca tahu itu semua hanya sandiwara.

Tok tok

Refleks Yuca mengangkat kepala mendengar ketukan yang begitu dekat dengan telinganya. Bagaimana tidak kaget kalau sedang melamun tiba-tiba meja di mana ia menjatuhkan kepala diketuk dua kali.

Sepasang matanya membulat, tetapi hanya dalam dua detik setelahnya ia sudah bisa mengontrol ekspresi menjadi datar.

"Sori, tadi gue udah ketuk pintu. Tapi kayaknya lo nggak dengar."

Hanya mengangguk, Yuca seperti tak punya cukup suara untuk menjawab. Bahkan sekadar menanyakan tujuan pria itu datang saja rasanya begitu berat.

"Ini, buat lo. Tadi gue beli makan ternyata buy one free one." Naja meletakkan kotak makan di atas meja Yuca. Ia berdiri tepat di samping meja perempuan itu.

Kalimat Naja barusan begitu mengganjal di telinga Yuca. Buy one free one? Yuca terkekeh sumbang sambil menatap kotak makanan itu.

"Apa tujuan Bapak sebenarnya ke sini? Nggak mungkin cuma buat ngantar makanan gratis, 'kan?"

Selapas kalimat itu meluncur dari mulutnya, Yuca langsung menyesal. Hei, ini perusahaan milik Naja! Di mana pun pria itu berada, selagi di dalam kantor ini, sudah jelas itu haknya.

"Thanks buat yang waktu itu. Kalau nggak ada lo, nggak tau lagi gimana nasib gue."

Inilah poinnya, makanan gratis pastilah hanya alasan.

Mengangguk, Yuca berdeham. "Nggak perlu bilang makasih, Pak. Karena sebenarnya saya menyesal sudah datang." Ia mendorong 'gratisan' pemberian Naja ke ujung meja. "Dan ini. Lebih baik Bapak kasih karyawan lain aja."

"Makan aja." Naja mendorongnya lagi ke depan Yuca. "Gue nggak mau berutang budi. Jadi lo terima aja."

"Bapak tidak berutang apa pun. Berikan makanan free Bapak ini ke orang yang lebih butuh saja karena saya—"

"Thanks sekali lagi, Ca," potong Naja.

Tanpa sempat Yuca menjawab, pria itu sudah berbalik pergi. Kaki jenjangnya hanya butuh beberapa langkah untuk sampai ke pintu keluar. Bahkan dari belakang, sosok Naja tidak bisa ditolak pesonanya.

Bahu Yuca menurun. Ia memandangi kotak makan yang ditinggalkan Naja sambil mendengkus. Tanpa pikir panjang, diambilnya pemberian Naja itu. Yuca beranjak, berjalan ke sudut ruangan sisi kanan mejanya di mana tempat sampah berada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status