Share

05. Klarifikasi

"Eh, Mbak Yuca. Baru mau pulang, Mbak?"

Yang dipanggil tersenyum ramah sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak, lembur. Bapak juga lembur?" tanya Yuca balik pada pria berseragam putih itu. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu, sebab tadi siang ia juga melihat bapak ini yang menjaga pintu.

"Iya, Mbak." Pak Satpam tersenyum semakin lebar. "Makasih ya, Mbak, makan siangnya. Nasi gorengnya enak, ada udangnya," ujarnya sambil mengacungkan kedua jempol.

Oh, nasi goreng seafood.

Tadi siang Yuca memang mengurungkan niatnya untuk membuang makanan pemberian Naja. Bukan sebab tidak tega karena diberikan oleh laki-laki yang membuat hidupnya uring-uringan, melainkan karena ia teringat bahwa di luar sana masih banyak orang yang kesulitan mencari makan. Dan, nasi goreng seafood, ya? Entah kebetulan atau karena ia masih ingat makanan kesukaan Yuca itu. Sudahlah, Yuca juga tidak mau sok diingat seperti itu.

"Sama-sama, Pak. Kalau gitu saya duluan, ya?"

"Iya-iya, Mbak. Silakan."

Setelah melempar senyum ramah sekali lagi, Yuca pun pergi ke parkiran. Ia mengecek jam tangannya, pukul delapan malam. Ia masih punya waktu untuk mampir ke toko buku.

Setelah perjalan empat puluh menit, Yuca sampai di parkiran toko buku yang letaknya di pinggir jalan. Sengaja ia tidak mencari yang di dalam mal agar lebih cepat.

Kalau musik dan film tidak mempan lagi mengalihkan pikirannya, kini Yuca butuh novel. Selama bekerja sama dengan NF Entertainment, ia lebih banyak membaca buku untuk kebutuhan riset. Maka kali ini ia akan membaca buku fantasi, agar pikirannya bisa keluar dari bumi sementara waktu.

Langkah santainya mengantarkan Yuca sampai pada rak deretan novel. Perempuan itu asyik menggerakkan telunjuk di deretan buku-buku seiring langkahnya ketika namanya dipanggil.

"Yuca!" seru suara itu lagi. "Beneran Kak Yuca?!" Dua remaja itu semakin histeris ketika Yuca menatap mereka.

"Ha-hai ...," sapa Yuca canggung. Seketika ia menyesal karena tidak memakai masker. Walaupun bukan artis yang sering lalu-lalang di televisi, tetapi tidak jarang dirinya bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Tentu saja sebagai seorang penulis Novel.

"Kak Yuca, aku suka banget, lho, sama cerita Kakak yang judulnya 'Help Me!'. Serius itu baguuus banget, Kak!" kata gadis yang berambut seleher.

Wait, novel 'Help Me!'? Seketika Yuca meringis, novel itu 'kan ada adegan dewasanya. Bertema pelakor—perebut laki orang—mengharuskan Yuca membuat adegan tersebut sebagai bumbu cerita.

Ini yang kadang membuat Yuca miris. Kesadaran diri pembaca kadang kurang. Sudah diberi peringatan batas usia, yang masih di bawah umur terkadang ada saja yang menerobos.

"Kalau aku sukanya yang 'The Twins', Kak. Gemes banget tokoh cowoknya tsundere gitu," timpal teman si rambut seleher. Saking gemas sendiri, ia sampai memukul-mukul lengan atas temannya. "Buku ketiga 'The Twins' kapan terbit, Kak? Aduh nggak sabar, deh!"

"Oh ... 'The Twins' sekitar tahun depan kali, ya, atau akhir tahun ini," jawab Yuca ramah.

"Yah ... lama banget, Kak ...."

Ya, lama. Karena diketiknya pakai jari dan sebelum itu harus mikir pakai otak. Belum lagi riset. Apalagi kalau ada halangan lain.

Rasanya Yuca ingin menjawab seperti itu, tetapi kesannya akan judes. Jadi ia menahan diri dan hanya membalas dengan senyuman.

"Ca, udah?"

Perempuan itu tersentak ketika bahunya disentuh. Ia mendongak, semakin terkejut saja ketika melihat siapa yang bertanya dengan nada seakrab itu. Sosok pria dengan senyum ramah hingga matanya menyipit berdiri menjulang di sampingnya.

"Kok bengong?" Pria itu terkekeh. "Udah dapat buku yang dicari?"

Yuca mengalihkan pandangan pada dua gadis remaja di hadapannya. "O-oh, bukunya nggak ada, Ren," jawab Yuca akhirnya.

"Pulang?"

Bola mata Yuca bergantian menatap Renra dan kedua gadis di hadapannya. "Iya. Mau pulang."

"Kak Yuca, foto dulu dooong," pinta gadis berambut seleher.

"Maaf, ya, Adek-Adek. Kak Yuca-nya buru-buru baru pulang kerja. Makasih, ya, udah pada suka sama karyanya Kak Yuca."

Bukan .... Bukan Yuca yang menjawab, melainkan Renra. Pria itu dengan sangat manis mengucapkan kalimat tersebut pada dua gadis di hadapan mereka.

Sontak kedua gadis itu tampak kecewa mendengarnya. Namun, pada akhirnya mereka tersenyum. "Sukses terus, ya, Kak Yuca. Ditunggu, lho, buku ketiga novel trilogi 'The Twins'-nya."

Yuca tertawa kecil, tetapi sialnya terdengar tidak lucu bahkan di telinganya sendiri. "Iya. Semoga bisa cepat, ya ...."

"Yuk," ajak Renra. Tanpa diskusi atau kode kecil, pria itu menggandeng tangan Yuca dan menariknya keluar toko buku. Kejadian itu terasa begitu tiba-tiba hingga Yuca tak tahu benar apa maksud pria itu.

Sesampainya di parkiran yang tepat berada di depan toko buku, Yuca menarik tangannya dari genggaman Renra. "Maksud Bapak apa, ya?" tanya Yuca formal. Walaupun Renra maupun Naja masih berumur tiga puluh tiga tahun, yang berarti delapan tahun di atasnya, tetapi semua karyawan memanggil mereka dengan sebutan bapak ketika di kantor.

"Don't bapak me. Kita di luar kantor, Ca." Kedua tangan Renra menelusup ke kantong celana kainnya. "Gue lihat lo nggak nyaman. Jadi gue bantu lo pergi dari mereka."

"Mereka cuma penggemar karya saya."

"Penggemar yang buat lo nggak nyaman," tekan Renra.

Memutar bola mata sambil melengos, Yuca memilih tidak mendebatkan hal itu lagi. "Oke, thanks karena sudah meloloskan gue dari penggemar-yang-buat-gue-nggak-nyaman," tekan Yuca sarat akan sindiran. Bicaranya sudah tak terkontrol agar formal seperti sebelumnya.

Ia memang sangat sensi dengan lingkaran orang-orang yang menjadikannya taruhan, jadi sekali pun dugaan Renra benar—bahwa Yuca tidak nyaman—tetap saja kalau bisa memilih, Yuca akan menolak bantuan Renra.

Bukannya kesal karena ucapan terima kasih Yuca terdengar tidak tulus, Renra malah terkekeh.

Merasa ditertawakan, Yuca memelotot. Pria ini pasti satu spesies dengan Naja. Ia harus berhati-hati. Tujuan Naja mendekatinya karena taruhan. Sekadar itu. Dan lagi, ide itu datangnya bukan dari Naja sendirian, melainkan dari Dara dan pria di hadapannya ini juga. Yuca mundur selangkah, menjaga jarak.

"Lo bawa mobil?" Mata Renra memindai sekitar, mencari-cari mobil Yuca yang beberapa kali ia temui saat di basemant kantor.

"Bawa."

"Ada waktu buat ngopi? Gue mau ngomong sesuatu. Waktu di rooftop lo langsung pergi."

Rasa curiga muncul di kepala Yuca. Ia menatap Renra dengan mata sedikit menyipit, seolah menganalisa keseriusan ucapan pria itu. Ya, siapa yang tahu bahwa ajakan Renra ini adalah sebuah jebakan yang entah untuk apa. Yuca hanya ingin berhati-hati.

"Ngomong di sini aja," jawab Yuca akhirnya.

"Berdiri di tengah kesibukan kendaraan keluar-masuk parkiran begini?" ucap Renra sambil memandangi kendaraan yang keluar dan masuk, seperti yang ia ucapkan.

"Ya ... kenapa nggak?"

Kini pandangan Renra bergerak pada kedua kaki Yuca, di mana alas kaki perempuan itu adalah sepatu ber-heels lima senti yang hanya serukuran jari kelingking anak balita.

"Oke, cari tempat lain," putus Yuca akhirnya. Ia mendengkus kecil.

"Dalam mobil?"

Berduaan di ruang sempit? Oh, no!

"Tadi lo bilang ngopi, di mana?" tanya Yuca. Bermaksud bahwa ia memilih tempat itu untuk mengobrol.

"Tuh." Renra memajukan dagunya, menunjuk kafe kecil di samping toko buku.

Jarak antara toko buku dan kafe yang cukup dekat membuat Yuca sempat bingung. Mereka bisa saja berjalan kaki, tetapi bagaimana dengan mobil?

"Mobil tinggal di sini aja. Nggak masalah. Lagian gue ngomongnya singkat aja," ucap Renra, seolah paham apa yang dipikirkan perempuan di hadapnnya. "Kecuali lo pengen ngobrol lama."

Kedua alis Yuca terangkat rendah. Tak suka dengan bicara Renra yang terlalu akrab.

****

Dua gelas kopi terhidang di atas meja. Keduanya sama-sama rasa americano. Awalnya Renra sempat takjub dengan selera kopi Yuca. Namun, buru-buru perempuan itu mengkonfirmasi bahwa dirinya adalah penikmat kopi.

"Jadi?" tanya Yuca ketika melihat Renra meletakan gelasnya di meja.

"Gue cuma nggak mau ada kesalahpahaman aja sebenarnya. Walau bagaimana pun, lo kerja sama dengan NF saat ini." Mulai menjelaskan, Renra benar-benar serius. "Soal taruhan, gue nggak ikut campur. Itu urusan Naja dan Dara. Gue emang tau adanya taruhan itu, tapi gue sama sekali nggak dukung," jelas Renra.

Yuca hanya diam. Menerka-nerka apa tujuan Renra membeberkan hal tidak penting seperti itu. Ya, maksud Yuca, harusnya Renra tidak perlu repot menjelaskan, karena ia kira sikapnya pada Renra tak sampai membuat pria itu terusik. Namun, sepertinya ia salah.

"Ya, walau bagaimana pun Naja dan Dara teman gue. Gue bukan mau mendorong mereka berdua sedangkan gue lepas tangan, tapi ya ... memang begitulah adanya, Ca. Gue nggak mau lo mengira gue ikut mendorong adanya taruhan itu. Tapi kayaknya lo udah mengira begitu, sih." Renra terkekeh kecil.

"Iya, bener. Gue emang mengiranya begitu," kata Yuca. Ia merasa tidak perlu pura-pura tidak mencurigai Renra. "Terlepas dari lo ikut campur atau nggak, tapi lo ada di sana. Lo tau semua, tapi nggak mencoba menghentikan rencana konyol ... tapi konyol sepertinya terlalu lembut untuk dijadikan sebutan dari tindakan kalian. Oh, Naja dan Dara saja, ya?" Ada nada sarkasme yang tidak repot-repot Yuca tutup-tutupi. "Mungkin terdengar egois atau nggak tau diri, tapi setelah mendengar apa yang lo sampaikan, gue nggak merasa lebih baik. Dan gue nggak merasa harus merubah sikap gue selama ini."

Renra manggut-manggut. "Gue paham. Setidaknya gue udah bilang itu."

"Hm." Yuca beranjak. "Kalau begitu gue pergi duluan," pamitnya lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban Renra.

Pandangan Renra terpaku pada punggung Yuca yang dimakan daun pintu kaca. Pria itu menghela napas berat sambil menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi.

Sikap perempuan itu sekarang sangat jauh berbeda ketika ia masih berpacaran dengan Naja. Saat dengan temannya itu, Yuca sangat manis dan ramah. Namun, kini ia berubah. Jangankan ramah, membalas sapaannya dengan senyum saja tidak pernah. Akan tetapi, entah perasaan ini datang dari mana, Renra lebih suka Yuca yang sekarang.

Yuca tanpa embel-embel 'pacar Naja'.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status