Share

06. Semoga Bahagia

"Laura sialan! Lo dikasih makan apa lagi, sih, Naj?!"

Bentakan itu sontak menarik perhatian seluruh pengunjung food court, termasuk Yuca yang sedang duduk di meja tengah bersama Rika. Ia mencari arah sumber suara, ternyata dari seorang wanita yang duduk memunggunginya.  Tanpa melihat wajahnya pun Yuca tahu siapa perempuan itu. Ia adalah Dara. Di samping Dara ada Naja, dan di depan keduanya ada Renra. Yuca langsung mengalihkan muka ketika bertemu pandang dengan Renra.

"Belum, Rik? Balik, yuk," ajak Yuca pelan, agar hanya Rika yang mendengar. Bersyukur, kehadirannya tidak disadari Dara dan Naja. Tampaknya Renra juga tidak ada niat untuk memberitahukan kedua temannya itu.

"Bentar. Dikit lagi," jawab Rika. Buru-buru ia menghabisi kuah sotonya.

"Roti bungkusan gitu yang ada selainya. Nggak merhatikan, ternyata kacang." Terdengar jawaban Naja. Pria itu berbicara dengan santai.

Telinga Yuca panas. Rasanya ia ingin tutup telinga jika saja tidak akan terlihat aneh.

"Lo juga bego, sih. Mau aja!" omel Dara lagi sambil meninju lengan Naja, gemas karena kesal.

"Laura lupa, jadinya nggak merhatikan. Gue juga pas udah ketelan baru merasa," ujar Naja lagi. Ia terkekeh. "Satu gigitan kecil doang, tapi mulai nggak enak, nih, perut gue."

"Dan lo langsung ke sini? Nggak bawa obat?"

Gelengan Naja membuat Dara berdecak. "Sejak kapan, sih, lo nggak hati-hati begini soal makanan? Biasanya juga ada kacang dikit lo langsung merasa. Terus juga bawa obat ke mana-mana," kata Dara. Dari suaranya, perempuan itu terdengar tulus bahwa ia peduli. "Otak lo kenapa, sih, Naj?"

Yang ditanya tidak menjawab. Ia hanya mengedikkan bahu santai sebelum meminum air mineral di hadapannya.

"Biasanya kan makanananya Naja ada yang perhatikan, Dar. Obatnya juga ada yang bawain." Renra ikut menimpali. "Dua bulan ada yang ngurusin, Naja jadi nyaman. Lupa caranya mandiri."

Oke, cukup. Bisa-bisa telinga Yuca terbakar kalau ia masih di sini. Apalagi kalimat Renra barusan jelas-jelas ditujukan untuk menyindir dirinya. Renra bahkan menatapnya saat mengatakan hal tersebut.

"Rik, gue duluan, deh," bisik Yuca.

"Ih, gue abisin minum dulu." Rika menahan tangan Yuca yang sudah berdiri.

"Beli obat gih, Naj. Sebelum lo mual-mual," suruh Dara.

"Yuca mungkin masih nyimpan stoknya." Dengan lebih terang-terangan, kali ini Renra memusatkan pandangannya pada Yuca. "Bawa nggak, Ca?"

Renra sialan!

Kini Dara dan Naja menoleh ke arahnya. Kedua orang tersebut tampak terkejut melihat keberadaan Yuca. Terbukti dari sepasang mata mereka yang membulat.

Tanpa memedulikan tiga pasang mata itu, Yuca mengambil tasnya di atas meja lalu menarik Rika pergi dari sana. Setelah membayar makanannya, Yuca pergi dari area food court. Ia bahkan enggan menoleh pada meja di mana Naja berada.

Terserah Naja mau ngapain. Makan kacang sekilo, kek. Alergi sampai sekarat, kek. Yuca sudah tidak peduli lagi. Ya, setidaknya itulah yang ingin Yuca lakukan. Ia ingin menghilangkan perasaan simpatinya pada Naja. Melupakan segala hal tentang Naja, mulai dari mereka yang pernah berpacaran sampai sebuah fakta yang terkuak yang membuat mereka putus. Begitu pula tentang Naja yang tinggal sendirian di apartemen dan tidak punya siapa-siapa serta masalah alergi pria itu, Yuca ingin melupakannya.

Namun, bagaimana bisa Yuca setega itu kalau ia tahu sesungguhnya Naja tidak setegar yang dikira banyak orang? Bagaimana mimpi buruk sering menghampirinya dan Naja yang kesepian tanpa keluarga. Bagaimana Yuca bisa lupa betapa berseleranya Naja makan setiap ia masakkan sambal udang, betapa Naja suka pijatan Yuca di punggungnya, serta kesukaan-kesukaan Naja lainnya. Untuk itu, kali ini saja Yuca mengalah dengan egonya.

"Eh, Ca, mau ngapain?" Rika yang tangannya tiba-tiba dilepas oleh Yuca menatap perempuan itu bingung. Yuca berbalik, berjalan cepat ke arah Naja tanpa menjawab pertanyaan Rika.

Langkah demi langkah lebar Yuca tak butuh waktu lama untuk mengantarnya pada tempat tujuannya. Ia merogoh tas, mengambil tablet obat yang selama tiga bulan terakhir selalu menjadi penghuni wajib tasnya.

Tanpa bicara, Yuca meletakkan dengan keras satu tablet obat yang sama sekali belum dimakan ke hadapan Naja. Tidak ada keramahan di wajah Yuca sampai ia kembali melangkah pergi. Namun, rasanya ada yang mengganjal di hati Yuca. Pada akhirnya ia berbalik lagi menatap Naja.

"Kayaknya lo menggampangkan penyakit lo itu, ya! Terserah aja, sih. Tapi kalau kambuh masih ngerepotin orang lain, mending tau diri!"

Yuca tidak tahu apa yang ia lakukan sekarang. Karena kini ia sudah seperti orang bodoh yang bolak-balik ke meja Naja. Sambil marah-marah pula. Dan saat ini ia sudah pergi lagi tanpa peduli dengan pandangan penuh tanya dari Naja. Dan jangan lupakan pula keberadaan Dara dan Renra yang terlihat syok dengan tingkahnya.

Ya, Yuca memang marah. Jika memang Naja hanya menjadikan dirinya taruhan dan tidak benar-benar tulus dengannya selama dua bulan itu, setidaknya selepas putus Naja bisa menjaga dirinya dengan baik.

Harusnya begitu ... karena itulah yang Yuca inginkan. Sebab Yuca tahu seberapa lengahnya Naja terhadap hidupnya sendiri.

"Ca, kok nangis?" tanya Rika bingung. Ia mengusap-ngusap lengan Yuca.

"Nggak tau! Gue keh-sel, kesel banget!" jawab Yuca sambil terisak. Ia mengusap air matanya dengan kasar. Kini mereka menepi di balik pilar besar. "Seenggaknya kalau emang di-dia mau makan apa aja yang pacarnya kasih, dia harus siapin obat! Dia itu nggak ada yang nemenin di rumah dan nggak banyak yang bisa dia mintain tolong. Harusnya dia bisa jaga diri baik-baik, Rik. Nggak bodo ... amat sam-ma kesehatannya sendiri kayak gini!" Isakan Yuca malah semakin menjadi.

"Dia ... siapa? Pak Naja maksudnya?"

"Bukan!" kilah Yuca, "cuma orang berumur yang kelakuannya masih kekanakan."

Rika tidak membalas lagi. Ia meringis, menunduk sopan pada seseorang yang menjulang di belakang Yuca. "Selamat siang, Pak Naja," sapa Rika yang berhasil membuat air mata Yuca seperti membeku. Begitu pula tubuhnya.

****

Sesuatu yang dilalui dengan cara jahat, maka yang kelihatan pasti jahatnya sekali pun tujuannya baik. Kacamata manusia memang selalu melihat apa yang bisa mata mereka tangkap dan telinga mereka dengar. Tanpa mau tahu terlebih dahulu apa tujuan orang tersebut berlaku seperti itu. Begitu pula Yuca, ketika menatap Naja yang kini duduk di sebelahnya dengan jarak setengah meter.

Memangnya, apa susahnya menerima obat yang Yuca kasih? Pria itu tinggal meminumnya lalu menyimpan sisanya dalam dompet. Sungguh sangat mudah. Atau kalau memang Naja terlalu malas melakukannya, maka biar Yuca yang mengambil dompet pria itu dan memasukkan obat tersebut ke sana. Bukan malah seperti ini—mengembalikan tablet obat itu padanya.

Setelah menyeret—oke, itu terlalu kasar, Naja mengajaknya ke rooftop untuk bicara. Kini mereka duduk berdampingan di atas kursi kayu panjang walau jelas ada jarak di antara mereka. Kedua tangan Yuca yang meremas rok sepan selutunya mengepal dan bergetar.

"Ca—"

"Kenapa cuma minum obat dari gue aja lo nggak mau?" tanya Yuca. Ia menatap Naja tatar. Ada luka di iris cokelatnya yang tergambar sangat jelas. "Kasih gue alasan yang masuk akal, Naja! Setelah lo jadiin gue taruhan, setelah semua niat buruk lo ke gue, dan permintaan maaf lo yang nggak pernah benar-benar tulus, kenapa sekarang cuma obat dari gue lo nggak mau nerima?" Sebagai wanita, ego Yuca tentu terluka. Merasa tidak diinginkan, itu pasti. Dan Naja yang menjadikannya berpikir seperti itu.

"Gue udah jelasin tadi. Karena menurut gue lo nggak harus lakuin ini lagi," jawab Naja tanpa penekanan. Seolah ia benar-benar lelah mengungkapkan penjelasan pendek itu untuk kedua kalinya. "Gue udah minum satu. Gue udah nggak kenapa-kenapa. Gejalanya juga nggak parah. Gue tau kondisi gue."

Yuca menelan ludahnya yang terasa alot. Ia mengalihkan wajah, menatap ke arah bangunan pencakar langit yang menjadi pemandangan rooftop. Jawaban Naja itu, seolah penolakannya bertujuan baik. Seolah dengan menolak obat yang Yuca kasih adalah sebuah kebaikan yang bisa ia lakukan. Dan kebaikan itu dengan cara menyakiti Yuca.

"Lo nggak mau gue berharap sama lo," gumam Yuca, memperjelas maksud Naja yang tidak pria itu utarakan secara gamblang. Yuca manggut-manggut sambil mengusap kedua pipinya yang tiba-tiba basah. "Oke, buang aja obatnya kalau lo nggak mau nerima. Gue juga nggak butuh obat itu."

Menunduk, Naja menatap obat yang masih berada di tangannya. Lantas pria itu berdiri, berjalan ke dekat pintu rooftop di mana tempat sampah berada. Dengan jelas Yuca melihat Naja menjatuhkan obat itu di sana tanpa pikir panjang. Yuca menahan napas saat Naja kembali mendekat.

"Jangan kayak gini lagi, Ca. Gue harap lo bisa bahagia sama laki-laki yang tulus sama lo. Gue nggak bisa ngasih itu, jadi jangan nangisin gue lagi. Serius, gue nggak tau harus gimana ngadepin kesedihan lo dan ... perasaan lo ke gue," kata Naja. Pria itu berdiri di depan Yuca. "Kalau lo bukan penulis yang dibutuhkan NF saat ini, mungkin gue nggak akan terganggu. Tapi lo dan gue nyaris ketemu setiap hari, lihat wajah lo yang selalu sedih berdampak buat gue. Gue nggak pernah merasa jahat cuma karena one night stand sama perempuan, tapi sama lo gue mikir 'apa gue keterlaluan?'. Tapi gue rasa nggak, karena bahkan gue nggak pernah nidurin lo ... karena lo selalu nolak."

Tapi lo berniat untuk itu, Naj.

Yuca menelan kembali kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya itu. Ia mengangguk paham. "Perasaan gue, itu punya gue. Gue sendiri nggak bisa mengontrolnya. Tapi gue rasa, sekali pun gue masih terganggu sama taruhan lo dan teman-teman lo, atau bahkan gue masih ada rasa sama lo, gue nggak pernah kan, Naj, mohon-mohon ke lo buat balikan? Harusnya lo nggak perlu terganggu. Kalau soal reaksi gue ke lo dan Dara, ya itu emang akibat dari tindakan kalian." Mendongak menatap Naja lekat, Yuca menarik napasnya dalam. "Lagian gue juga tau diri kalau gue bukan tipe lo. Lo udah bilang itu. Gue juga nggak bego buat minta balikan sama laki-laki berengsek kayak lo, Naj. Terlepas dari rasa suka gue ke lo, gue sayang sama diri gue sendiri," lanjut Yuca. Lantas ia ikut berdiri. "Mulai sekarang, ayo kita hidup damai di sisa kontrak gue di NF. Anggap kita nggak pernah kenal dan gue cuma hantu di kantor lo."

Setelah itu Yuca melewati Naja, meninggalkan pria itu tanpa menunggu reaksinya. Naja benar-benar pria jahat yang tidak pantas menerima perasaannya yang tulus.

"Semoga bahagia sama cewek yang buat alergi lo muncul terus!" monolog Yuca dengan suara serak. Ia mengusap kasar pipinya dengan punggung tangan. "Air mata sialan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status