Bianca menoleh ketika namanya dipanggil dengan suara keras. Ingin tahu siapa bajingan yang sedang mengganggu dirinya bekerja. Alisnya langsung naik sebelah ketika menemukan Ravindra sedang menatap dirinya tajam.
Mau apa lagi pria ini?
"Antri dulu kalau mau juga," kata wanita itu ketus.
Pria yang seharusnya dilayani oleh Bianca sepertinya juga merasa kesal karena kegiatan panasnya diganggu. Padahal dirinya sudah mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan kesenangan terbaik yang bisa ditawarkan club ini.
Meski begitu, sepertinya si pria masih enggan untuk bangkit dari posisi terlentangnya di atas kasur.
"Berani banget, sih, elo ganggu?"
Ravindra mengernyit, mengenal dengan baik suara siapa orang yang sedang kesal padanya itu. Tanpa ragu Ravindra berjalan mendekat.
"Mau apa?" ketus Bianca. Tangannya berusaha mendorong tubuh keras Ravindra, tapi, gagal.
"Bajingan gila lu," ujar Ravindra marah. Ia menendang kaki si pria yang sedang berbaring di atas ranjang itu.
Bianca yang akan kembali menarik Ravindra keluar mengurungkan niat ketika Reza bangun dari posisi terlentang di atas ranjang. Lalu adegan selanjutnya yang Bianca saksikan adalah kedua pria itu yang saling menatap dalam diam.
Ravindra dengan tatapan sengitnya sementara Reza dengan tatapan herannya.
"Ngapain anak berbudi luhur kayak elo ke tempat ini?" tanya Reza heran. Ia mengenal Ravindra dengan baik. Mereka sahabat dekat sejak SMA dan setahu Reza, Ravindra bukan tipe lelaki yang akan mengunjungi tempat seperti ini.
Ravindra tidak suka jajan perempuan.
"Keluar lu sana," balas Ravindra tidak sabar.
Reza menaruh kedua tangan dipinggang. Tidak terima ia disuruh keluar begitu saja padahal hasratnya belum terpuaskan. Ia juga tidak mau rugi dengan membuang uangnya percuma.
"Enak aja lu kalo ngomong, gue ogah rugi."
Bianca yang diabaikan oleh dua lelaki itu mendengus. Dengan tenang, tanpa berusaha menutupi tubuhnya yang hampir telanjang, Bianca berjalan santai menuju sofa.
Meminum seteguk wine sembari menyaksikan kedua lelaki itu selesai berbicara.
"Gue ganti uang lo. Pokoknya elo harus pergi." Ravindra dengan keras kepalanya memang luar biasa menyebalkan.
Reza melengos. "Kenapa?"
Ravindra mengetatkan rahang. Tangannya siap melayang kalau Reza tidak segera pergi dari sini. Maka, dengan usaha terakhirnya menahan kesabaran, Ravindra menunjuk Bianca.
Wanita itu menaikkan sebelah alis ketika Ravindra dan Reza menatapnya, lengkap dengan jari telunjuk Ravindra yang mengarah padanya.
"She's mine, dude."
Bianca hampir tersedak ketika pria itu seenaknya mengakui dirinya sebagai miliknya. Atas dasar apa? Seratus ribu yang tadi ditransfer?
Reza yang terkejut juga jadi menegakkan tubuh. Punggung tangan kanan ia letakkan di dahi Ravindra yang langsung ditepis kasar.
"Elo Ravindra? Bukan robot yang lagi ngeprank, 'kan?" tanya Reza heran. Karena sumpah dia baru kali ini melihat Ravindra mengakui seseorang sebagai miliknya.
Reza melihat setiap sudut kamar, barangkali ada kamera tersembunyi untuk merekam kelakuan bejadnya. Lalu akan Ravindra gunakan untuk memanfaatkan dirinya mungkin.
"Elo bilang apaan, sih? Mending keluar sana," ucap Bianca ketus.
Ravindra menggeleng. Mengambil baju Bianca di lantai lalu melemparkannya pada wanita itu. "Pakai baju cepetan."
Reza masih merasa kesal dengan tingkah Ravindra. Temannya itu sudah mirip seperti seorang ayah yang menemukan putrinya akan berbuat hal kotor. Benar-benar menyebalkan karena mengganggu kesenangan.
Bianca tetap tidak bergerak menuruti Ravindra untuk mengenakan pakaian. Dirinya kemari untuk melayani Reza, jadi, dia akan memakai pakaian jika pria yang membayarnya itu menyuruh.
Ravindra juga sepertinya cukup peka dengan keadaan Bianca. Jadi, dia dengan menekan amarahnya memberikan kode pada Reza. Meminta pengertian. Dan walaupun Reza sama sekali belum paham dengan sikap temannya, ia tetap mengalah.
"Gue butuh penjelasan yang jelas, ya!" peringat Reza sebelum dirinya memakai pakaiannya kembali. Ia berniat menghampiri Bianca sebentar untuk sekedar memberikan kecupan. Namun, Ravindra malah menarik kerah kemeja miliknya dari belakang.
Reza berdecak kesal. "Sorry, honey. Mungkin lain kali," ujar Reza penuh sesal.
Bianca hanya mengangguk sebagai jawaban, tatapannya mengikuti Reza yang keluar kamar.
Sekarang satu-satunya pria yang berada di dalam kamar itu mendekat pada Bianca. Namun, belum sampai menjatuhkan bokongnya pada kursi si wanita berdiri. Memakai pakaiannya dan merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Gue pergi," kata wanita itu dingin. Moodnya sudah rusak sekarang.
Ravindra menahan tangannya. "Ngapain pergi?"
"Reza udah pergi jadi gue gak dibutuhin lagi disini."
Ravindra menghela napas. "Kan ada aku."
Bianca menatap mata tajam Ravindra dengan aneh. Seriously? Pria ini bisa mengatakan seperti itu dengan mudah? Memangnya kenapa kalau ada dia di kamar ini?
"Gue hanya akan berada di kamar bareng cowok yang udah bayar gue," balas Bianca sarkas. "Jadi, lepasin tangan gue sekarang."
Ravindra tidak mendengarkan. Ia malah mencengkeram tangan Bianca lebih kuat. Sama sekali tidak ada niat untuk melepaskan Bianca malam ini. Karena itu akan membuat si wanita menemukan pria lain yang membayarnya, lalu mereka akan bercinta.
Membayangkannya saja sudah membuat Ravindra merasakan panas.
"Penggila uang sekali," ujar Ravindra tanpa sadar.
Bianca yang sedang badmood menjadi kehilangan kendali. Kaki yang sudah kembali memakai high heels itu menginjak kaki Ravindra dengan keras. Membuat si pria mengaduh dan spontan melepaskan tangan Bianca.
"Jangan berani muncul lagi di depan gue," kata Bianca tajam memperingati. Tapi sepertinya tidak berpengaruh sama sekali pada Ravindra. Terbukti dengan pria itu yang malah memasang wajah aneh lalu menggeleng.
"Aku engga suka dilarang, Bianca."
"Gue juga gak suka kalau elo ngerusuh kayak gini. Inget, ya. Kita tuh gak saling kenal, cuma sekedar tau nama masing-masing."
Wajah putih Bianca sangat merah sekali sekarang. Dadanya bergemuruh dan darahnya terasa panas sekali. Amarah sudah mencapai puncaknya. Kalau Ravindra tidak segera menghilang dari hadapannya, Bianca mungkin akan mendorong pria ini dari jendela.
Lumayan kan kalau terlempar dari lantai tujuh? Pria itu bisa patah tulang atau bahkan kehilangan nyawa.
"Kalau begitu ayo mulai saling mengenal," kata Ravindra dengan lembut. Berusaha mengambil hati Bianca tidak dengan kekerasan.
Bianca berdecih. Tidak sudi. Dia tidak akan menjalani hubungan yang tidak akan menguntungkan dirinya sama sekali.
"Gue gak tertarik," jawab Bianca cuek. Lalu wanita itu memilih berbalik, ingin segera pergi dari kamar itu. Tidak tahan kalau harus melihat Ravindra lama-lama.
"I'll pay."
Langkah Bianca berhenti.
Ravindra berjalan mendekat. Berdiri di depan Bianca yang enggan menatapnya. Ravindra tidak keberatan. Ia malah mengeluarkan dompet, mengeluarkan sebuah kartu hitam, dan menaruhnya di telapak tangan Bianca.
Wanita itu jelas tahu benda apa itu.
Black Card.
"Be mine and i'll pay everything you want." Ravindra membawa wajah Bianca untuk mendongak. Mempertemukan mata mereka. "Termasuk hutang keluargamu. Aku akan membayar semuanya."
Mata Bianca membelalak, terkejut karena Ravindra mengetahui tentang hutang keluarganya. Padahal selama ini Bianca tidak pernah memberi tahu siapa pun kecuali Sarah.
Lalu bagaimana si pria kaya dan super sexy ini mengetahuinya?
"Hutangnya sangat banyak dan gue juga boros. Elo pasti akan bangkrut."
Ravindra tersenyum miring. Mengusap bibir menggoda Bianca dengan ibu jarinya.
"Akan butuh waktu lama untuk menghabiskan uangku, babe," balas Ravindra berbisik. Suaranya yang husky membuat Bianca merinding. Apalagi ketika pria itu dengan berani mengecup bibirnya singkat.
"So, be mine?"
Ravindra menggeram kesal sekaligus gemas. Merasakan tangan lembut Bianca meremas miliknya di bawah sana membut darah Ravindra berdesir. Sebagai pria normal jelas dia ingin melakukannya. Jika ingin mengikuti nafsu Ravindra pasti sekarang sudah menyeret Bianca dan membuatnya tak bisa menjauh dari tempat tidur. Hanya saja, jika Ravindra melakukan itu maka dia sama saja dengan pria berengsek lain yang memperlakukan Bianca sebagai wanita pemuas nafsu. "Jangan keterlaluan, Bi," peringat Ravindra dengan suara dalam. Namun, Bianca bukanlah tipe wanita penakut yang akan menuruti Ravindra begitu saja. Dia sudah terlanjur kesal dan malu. "Lo yang jangan keterlaluan," balas Bianca kesal. Lalu mendorong tubuh Ravindra menjauh sebelum akhirnya masuk ke dalam bar. Meninggalkan Ravindra yang menatap kepergiannya dengan wajah mengeras. "Bapak ada di sini?" Ketika mendengar suara tanya dalam Bahasa, Ravindra menoleh ke belakang. Menemukan Ilham, sekretarisnya, yang sedang berjalan ke arahnya. Ali
"Bi?" Bianca pura-pura tak dengar, dia lebih sibuk scroll beranda sosial medianya dengan tak minat. Masih kesal dengan Ravindra yang menghancurkan suasana begitu saja dengan kalimatnya yang ajaib. Ingin tapi tak bisa? Hah, dasar gila! Belum pernah Bianca menemui pria yang menolak melakukan hubungan sex padahal sudah turn on. Terlebih si wanita juga menginginkan hal yang sama. Bianca berdecak dan sedikit menjauh ketika tangan hangat Ravindra menyentuh pundaknya. Rasa kesal Bianca membuat kamar presiden suite ini terasa seperti kamar kos yang kecil. Sangat memuakkan. "Bi, jangan marah. Aku cuma nggak mau ngelakuin hal itu tanpa cinta," kata Ravindra menjelaskan. Lelaki dengan rambut hitam dan hidung bangir itu meringis. Tahu kalau jawabannya mungkin tidak masuk akal. Namun, sungguh. Dia benar-benar tidak mau menyatukan tubuh mereka sebelum ada cinta di hati Bianca. Karena Ravindra tidak mau hubungan mereka ke depannya hanya berbalut nafsu. "Bullshit! Kalau gitu kenapa nyari pelac
Kedatangan Ravindra ke Korea Selatan sebenarnya karena ada urusan hotel yang harus dia selesaikan. Hanya saja, dia pikir untuk liburan setelah menyelesaikan pekerjaan bukan lah sesuatu yang buruk. Karena itu, Ravindra membawa Bianca juga untuk ikut dengannya. "Berapa lama kita di Korea nanti?" tanya Bianca setelah menyesap wine dari gelas dengan gagang tinggi yang cantik. Wanita dua puluh delapan tahun itu melihat ke jendela, tersenyum bahagia. Tak menyangka kalau dia bisa meniki pesawat dan bepergian ke luar negeri dalam hidupnya. Mana pakai pesawat pribadi keluarga Adiwijaya lagi. Ravindra menggulung lengan kaos putihnya yang panjang sampai siku. Kaca mata yang sejak tadi ia kenakan dilepas. Melihat Bianca dengan mata telanjang jauh lebih memuaskan. Lelaki itu merentangkan tangan ke belakang tubuh Bianca. Telapaknya mengusap lembut pundak Bianca yang terbuka. "Satu minggu, aku akan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat biar kita bisa jalan-jalan." Bianca menoleh, menatap lelaki
"Yang pink coba, Mel. Kayaknya cantik buat kamu." Melodi mengangguk, kembali masuk ke dalam ruang ganti. Mengganti pakaian yang sudah entah sudah keberapa kali, dia sendiri sudah pusing karena sudah hampir dua jam terus mencoba baju di butik langganan mamanya. Tapi, sebagai anak penurut yang tak pernah membantah tentu saja Melodi hanya bisa menyanggupi. Tak berani protes sama sekali. Melodi kembali muncul di depan mamanya dengan midi dress satin berwarna baby pink. Dia tidak terlalu menyukai warna pink yang menurut mamanya cantik ini. "Tuh, kan, cantik. Beli itu aja buat kencan sama Ravindra kapan-kapan." Meski sudah mengatakan cantik pada beberapa gaun, nampaknya mama Melodi tak berniat untuk berhenti melihat-lihat. Terbukti dari wanita paruh baya itu yang kembali melangkah menyusuri deretan baju. "Mama udah, hampir tiga jam kita di sini." Melodi berkata lembut, mencoba menghentikan mamanya. "Ravindra kayaknya bakalan bosen kalau kamu pakek yang sopan terus," balas wanita itu
Bianca membuka matanya perlahan, tangannya terangkat mengusap sudut mata yang terasa risih. Berniat segera bangun dan menemui Kuku, namun ia merasakan sesuatu yang berat di perutnya. Wanita itu menoleh dan langsung menemukan Ravindra yang tertidur pulas. Bianca mengerjap perlahan, kemudian menghela napas setelah mengingat alasan Ravindra tidur di sebelahnya. Lelaki itu tidak ingin tidur terpisah dengannya. Wajah pulas Ravindra yang imut membuat Bianca menyunggingkan senyum. Tangan lentiknya mengusap rambut si pria, dengan lembut. Merasa semakin tertarik untuk memperhatikan lebih, Bianca merubah posisinya miring menatap Ravindra. "Lucu banget, sih," ujarnya pelan lalu terkikik. Bianca gemas sendiri melihat wajah Ravindra yang polos. Tidak ada raut wajah berengsek atau pun dingin, yang ada hanya wajah bayi yang lucu dan seakan menarik Bianca untuk menciumnya. Wanita itu menggigit bibir bawah sembari tangannya menusuk dada si lelaki beberapa kali. Merasa kalau Ravindra tak akan bangu
Bianca termenung di sudut lift, memikirkan semua kalimat Mila. Tentang bagaimana jadinya hubungan dia dengan Ravindra. Bianca memang tidak berharap lebih, lelaki itu cukup memberikan dia hidup yang layak saja sudah cukup. Tapi, perasaan manusia bisa saja berubah, right? Lihatlah dirinya. Dulu begitu gigih menolak semua tawaran Ravindra. Dengan yakin mampu berdiri dibawah kakinya sendiri dan tidak membutuhkan bantuan siapapun. Tapi, sekarang Bianca menjilat ludahnya sendiri. Dia menjadi simpanan, selingkuhan atau apapun itu sebutannya bagi Ravindra. Dia juga tidak lagi bekerja, pengeluarannya ditanggung oleh bungsu Adiwijaya itu. Dentingan pintu lift membuat Bianca menegakkan tubuh, bersiap keluar. Langkahnya melambat menuju satu-satunya pintu di lantai tertinggi gedung apartemen ini. Masih belum menyangka kalau sekarang di sini lah tempat dia tinggal. Bianca menaruh sidik jarinya sebelum membuka pintu. "Udah pulang?"Ravindra langsung keluar dari dapur ketika mendengar pintu terb
Selama membelah padatnya kota, Bianca tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Wajahnya yang cantik menjadi sangat cerah, dengan kepala bergerak menikmati kesenangan ini. Ia memang ingin memiliki mobil, tetapi, tidak menyangka kalau akan memilikinya secepat ini. Ditambah lagi ini adalah mini cooper. Mobil impian Bianca. Sepertinya Ravindra menyelidikinya dengan baik. Lelaki itu tahu mobil apa yang dia inginkan tanpa bertanya. "Na na na na na Ice on my wrist, yeah, I like it like this. Get the bag with the cream. If you know what i mean." Binca bernyanyi dengan riang sampai tanpa sadar sudah sampai di tempat yang ia tuju. "Ravindra memang yang terbaik," ucapnya dengan riang. Bianca memarkirkan mobilnya di halaman rumah Mila. "Ya ampun, ternyata lo, Bi. Gue kira siapa numpang parkir," seru Mila ketika Bianca sudah keluar dari mini cooper merahnya. Kedua wanita yang adalah sahabat itu berpelukan. Kemudian beriringan masuk ke dalam rumah Mila. "Mobil baru, cuy. Sugar daddy gue ya
Ravindra keluar dari mobil sport yang setiap hari ia gunakan. Lelaki dengan setelan rapi itu mendongak, menatap kamar Melodi yang jendela balkonnya baru saja ditutup saat mobilnya tiba. Sepertinya gadis dua puluh tiga tahun itu menunggu kehadirannya sejak tadi. Kaki panjang Ravindra melangkah memasuki halaman rumah mewah keluarga Rahadi. Ia langsung disambut dengan pemandangan Melodi yang berlari turun melewati tangga. Tubuh mungil gadis itu langsung menabrak Ravindra sampai membuatnya mundur satu langkah. "Kirain bukan Kakak yang jemput," ucap Melodi. "Aku nggak ada kerjaan yang penting hari ini." Ravindra melepaskan pelukan Melodi. "Mana Mama?" Melodi menggenggam kedua tangan tunangannya. Kepalanya mendongak untuk menatap wajah Ravindra yang sempurna tanpa kekurangan. "Sudah pergi, tadinya mau nunggu Kakak tapi aku bilang nggak usah. Mama bakalan tanya macam-macam nanti," balas Melodi. Meski berkata demikian, tapi Ravindra tahu kalau dia masih harus menjelaskan suara Bianca tad
Bianca membentuk huruf O dengan mulutnya ketika tahu Ravindra sedang menerima telepon. Wanita itu kemudian berlalu pergi dengan membiarkan pintu kamar Ravindra terbuka. "Nanti aku jemput jam sepuluh. Udah dulu, ya." Ravindra tidak tahu siapa yang mendengarkan suaranya di telepon, tapi rasanya dia ingin mengubur diri sendiri sekarang. Bisa panjang urusannya kalau sampai hal ini terdengar di telinga Mamanya. Ada beberapa notif pesan beruntun yang muncul ketika Ravindra sudah mematikan smbungan telepon. Mungkin itu adalah Melodi, tapi Ravindra enggan untuk langsung membalas. Maka, lelaki itu memilih turun ke bawah dan mengantarkan koper Bianca ke kamarnya. "Ini pakaiannya, semalam lupa mau ngangkat ke sini." Bianca yang sedang sibuk bermain ponsel mengangguk dan langsung menghampiri. Membuka koper dan memilih pakaian mana yang ingin dia kenakan. "Sorry untuk tadi, gue nggak tau kalau lo lagi telponan. Gue ketuk pintu nggak dibuka-buka, sih." Ravindra menatap arah walk in closet yang