Share

3. So, be mine?

Bianca menoleh ketika namanya dipanggil dengan suara keras. Ingin tahu siapa bajingan yang sedang mengganggu dirinya bekerja. Alisnya langsung naik sebelah ketika menemukan Ravindra sedang menatap dirinya tajam.

Mau apa lagi pria ini?

"Antri dulu kalau mau juga," kata wanita itu ketus.

Pria yang seharusnya dilayani oleh Bianca sepertinya juga merasa kesal karena kegiatan panasnya diganggu. Padahal dirinya sudah mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan kesenangan terbaik yang bisa ditawarkan club ini.

Meski begitu, sepertinya si pria masih enggan untuk bangkit dari posisi terlentangnya di atas kasur.

"Berani banget, sih, elo ganggu?"

Ravindra mengernyit, mengenal dengan baik suara siapa orang yang sedang kesal padanya itu. Tanpa ragu Ravindra berjalan mendekat.

"Mau apa?" ketus Bianca. Tangannya berusaha mendorong tubuh keras Ravindra, tapi, gagal.

"Bajingan gila lu," ujar Ravindra marah. Ia menendang kaki si pria yang sedang berbaring di atas ranjang itu.

Bianca yang akan kembali menarik Ravindra keluar mengurungkan niat ketika Reza bangun dari posisi terlentang di atas ranjang. Lalu adegan selanjutnya yang Bianca saksikan adalah kedua pria itu yang saling menatap dalam diam.

Ravindra dengan tatapan sengitnya sementara Reza dengan tatapan herannya.

"Ngapain anak berbudi luhur kayak elo ke tempat ini?" tanya Reza heran. Ia mengenal Ravindra dengan baik. Mereka sahabat dekat sejak SMA dan setahu Reza, Ravindra bukan tipe lelaki yang akan mengunjungi tempat seperti ini.

Ravindra tidak suka jajan perempuan.

"Keluar lu sana," balas Ravindra tidak sabar.

Reza menaruh kedua tangan dipinggang. Tidak terima ia disuruh keluar begitu saja padahal hasratnya belum terpuaskan. Ia juga tidak mau rugi dengan membuang uangnya percuma.

"Enak aja lu kalo ngomong, gue ogah rugi."

Bianca yang diabaikan oleh dua lelaki itu mendengus. Dengan tenang, tanpa berusaha menutupi tubuhnya yang hampir telanjang, Bianca berjalan santai menuju sofa.

Meminum seteguk wine sembari menyaksikan kedua lelaki itu selesai berbicara.

"Gue ganti uang lo. Pokoknya elo harus pergi." Ravindra dengan keras kepalanya memang luar biasa menyebalkan.

Reza melengos. "Kenapa?"

Ravindra mengetatkan rahang. Tangannya siap melayang kalau Reza tidak segera pergi dari sini. Maka, dengan usaha terakhirnya menahan kesabaran, Ravindra menunjuk Bianca.

Wanita itu menaikkan sebelah alis ketika Ravindra dan Reza menatapnya, lengkap dengan jari telunjuk Ravindra yang mengarah padanya.

"She's mine, dude."

Bianca hampir tersedak ketika pria itu seenaknya mengakui dirinya sebagai miliknya. Atas dasar apa? Seratus ribu yang tadi ditransfer? 

Reza yang terkejut juga jadi menegakkan tubuh. Punggung tangan kanan ia letakkan di dahi Ravindra yang langsung ditepis kasar.

"Elo Ravindra? Bukan robot yang lagi ngeprank, 'kan?" tanya Reza heran. Karena sumpah dia baru kali ini melihat Ravindra mengakui seseorang sebagai miliknya.

Reza melihat setiap sudut kamar, barangkali ada kamera tersembunyi untuk merekam kelakuan bejadnya. Lalu akan Ravindra gunakan untuk memanfaatkan dirinya mungkin.

"Elo bilang apaan, sih? Mending keluar sana," ucap Bianca ketus.

Ravindra menggeleng. Mengambil baju Bianca di lantai lalu melemparkannya pada wanita itu. "Pakai baju cepetan."

Reza masih merasa kesal dengan tingkah Ravindra. Temannya itu sudah mirip seperti seorang ayah yang menemukan putrinya akan berbuat hal kotor. Benar-benar menyebalkan karena mengganggu kesenangan.

Bianca tetap tidak bergerak menuruti Ravindra untuk mengenakan pakaian. Dirinya kemari untuk melayani Reza, jadi, dia akan memakai pakaian jika pria yang membayarnya itu menyuruh.

Ravindra juga sepertinya cukup peka dengan keadaan Bianca. Jadi, dia dengan menekan amarahnya memberikan kode pada Reza. Meminta pengertian. Dan walaupun Reza sama sekali belum paham dengan sikap temannya, ia tetap mengalah.

"Gue butuh penjelasan yang jelas, ya!" peringat Reza sebelum dirinya memakai pakaiannya kembali. Ia berniat menghampiri Bianca sebentar untuk sekedar memberikan kecupan. Namun, Ravindra malah menarik kerah kemeja miliknya dari belakang.

Reza berdecak kesal. "Sorry, honey. Mungkin lain kali," ujar Reza penuh sesal.

Bianca hanya mengangguk sebagai jawaban, tatapannya mengikuti Reza yang keluar kamar.

Sekarang satu-satunya pria yang berada di dalam kamar itu mendekat pada Bianca. Namun, belum sampai menjatuhkan bokongnya pada kursi si wanita berdiri. Memakai pakaiannya dan merapikan rambutnya yang acak-acakan.

"Gue pergi," kata wanita itu dingin. Moodnya sudah rusak sekarang.

Ravindra menahan tangannya. "Ngapain pergi?"

"Reza udah pergi jadi gue gak dibutuhin lagi disini."

Ravindra menghela napas. "Kan ada aku."

Bianca menatap mata tajam Ravindra dengan aneh. Seriously? Pria ini bisa mengatakan seperti itu dengan mudah? Memangnya kenapa kalau ada dia di kamar ini?

"Gue hanya akan berada di kamar bareng cowok yang udah bayar gue," balas Bianca sarkas. "Jadi, lepasin tangan gue sekarang."

Ravindra tidak mendengarkan. Ia malah mencengkeram tangan Bianca lebih kuat. Sama sekali tidak ada niat untuk melepaskan Bianca malam ini. Karena itu akan membuat si wanita menemukan pria lain yang membayarnya, lalu mereka akan bercinta.

Membayangkannya saja sudah membuat Ravindra merasakan panas.

"Penggila uang sekali," ujar Ravindra tanpa sadar.

Bianca yang sedang badmood menjadi kehilangan kendali. Kaki yang sudah kembali memakai high heels itu menginjak kaki Ravindra dengan keras. Membuat si pria mengaduh dan spontan melepaskan tangan Bianca.

"Jangan berani muncul lagi di depan gue," kata Bianca tajam memperingati. Tapi sepertinya tidak berpengaruh sama sekali pada Ravindra. Terbukti dengan pria itu yang malah memasang wajah aneh lalu menggeleng.

"Aku engga suka dilarang, Bianca."

"Gue juga gak suka kalau elo ngerusuh kayak gini. Inget, ya. Kita tuh gak saling kenal, cuma sekedar tau nama masing-masing."

Wajah putih Bianca sangat merah sekali sekarang. Dadanya bergemuruh dan darahnya terasa panas sekali. Amarah sudah mencapai puncaknya. Kalau Ravindra tidak segera menghilang dari hadapannya, Bianca mungkin akan mendorong pria ini dari jendela.

Lumayan kan kalau terlempar dari lantai tujuh? Pria itu bisa patah tulang atau bahkan kehilangan nyawa.

"Kalau begitu ayo mulai saling mengenal," kata Ravindra dengan lembut. Berusaha mengambil hati Bianca tidak dengan kekerasan.

Bianca berdecih. Tidak sudi. Dia tidak akan menjalani hubungan yang tidak akan menguntungkan dirinya sama sekali.

"Gue gak tertarik," jawab Bianca cuek. Lalu wanita itu memilih berbalik, ingin segera pergi dari kamar itu. Tidak tahan kalau harus melihat Ravindra lama-lama.

"I'll pay."

Langkah Bianca berhenti.

Ravindra berjalan mendekat. Berdiri di depan Bianca yang enggan menatapnya. Ravindra tidak keberatan. Ia malah mengeluarkan dompet, mengeluarkan sebuah kartu hitam, dan menaruhnya di telapak tangan Bianca.

Wanita itu jelas tahu benda apa itu.

Black Card.

"Be mine and i'll pay everything you want." Ravindra membawa wajah Bianca untuk mendongak. Mempertemukan mata mereka. "Termasuk hutang keluargamu. Aku akan membayar semuanya."

Mata Bianca membelalak, terkejut karena Ravindra mengetahui tentang hutang keluarganya. Padahal selama ini Bianca tidak pernah memberi tahu siapa pun kecuali Sarah.

Lalu bagaimana si pria kaya dan super sexy ini mengetahuinya?

"Hutangnya sangat banyak dan gue juga boros. Elo pasti akan bangkrut."

Ravindra tersenyum miring. Mengusap bibir menggoda Bianca dengan ibu jarinya.

"Akan butuh waktu lama untuk menghabiskan uangku, babe," balas Ravindra berbisik. Suaranya yang husky membuat Bianca merinding. Apalagi ketika pria itu dengan berani mengecup bibirnya singkat.

"So, be mine?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status