Bara bangun kembali. "Sakit parah ini, mah!" keluhnya kesal bersama ringisan, tangannya mengusap-usap kepala yang sepertinya akan timbul benjolan.
Tak lama ia membalikkan badan sedikit menghentakkan, menyingkirkan semua bantal dengan brutal, dan menemukan benda yang menjadi penyebab kepalanya sakit.
Rupanya sebuah cermin. "Cih! Cermin aja banyak tingkah, segala bikin gue hampir benjol, eh bakal benjol." Ia memungut cermin berbentuk oval dengan hiasan berwarna emas di pinggirnya.
"Bentukannya jadul gini pasti cermin kakek, nih," gumamnya. "Yang bener aja, masa kakek ngaca dulu sebelum tidur." Ia tertawa terkikik, membayangkan apa yang diucapkannya benar terjadi, pasti akan sangat menggemaskan.
Puas tertawa, ia berdehem. "Maaf, ya, Kek." Ia mendongak takut kakeknya memperhatikan tingkah konyolnya.
"Coba gue liat." Ia kembali fokus pada cermin itu, membolak-balikannya secara perlahan, mengamati secara terperinci bentuk cermin itu.
"Menarik juga," ungkapnya. "Kek cermin emak tirinya si Snow White. Eh, emang gini, ya, bentuknya?" Sekali lagi ia membolak-balikkan cermin itu.
"Cih! Si Cantik yang tak berakhlak!" sarkasnya mengingat bagaimana buruknya perilaku ibu tiri dari Snow White, kemudian dengan santai ia melayangkan cermin di genggamannya ke sembarang arah dan kembali berbaring, menganggap tidak penting cermin cantik tersebut.
Untung saja cermin itu tidak menyentuh lantai, terjatuh tepat di bibir kasur membuatnya sedikit aman dari benturan dan pecah.
Mata Bara mulai tertutup, rasa kantuknya tiba-tiba terasa setelah berkhayal Lily jalan bersamanya dan menerima cintanya. Tapi, dalam sekejap kantuk itu buyar tergantikan rasa merinding yang mendadak tanpa disadari sudah menyentuh sekujur badannya.
Suara gemericik seperti pecahan kristal atau beling yang menyentuh benda sama bentuknya terdengar, membuat sensasi horor kembali terasa. Matanya waspada mengabsen sisi ruangan perlahan, berjaga-jaga jika ada makhluk menakutkan di dekatnya.
Dari ujung kanan sampai ujung kiri, dari atas hingga bawah, tidak ada tanda-tanda keluarnya makhluk. Tapi suara itu masih terdengar, dan sepertinya berasal tepat dari belakangnya.
Perlahan, dengan keberanian yang masih tersisa ia menoleh dengan gaya slow mantion dibarengi cucuran keringat yang memenuhi wajah tampannya sampai ke leher membuat kerah bajunya basah. Matanya sampai terpejam karena tak berani untuk melihat apa yang ada di hadapannya.
Karena rasa penasaran yang besar, ia membuka matanya pelan-pelan, satu demi satu. Dan, terkejut! Itulah yang pertama kali ia rasakan. Menyaksikan asap hitam berkilauan seperti taburan glitter, keluar dari cermin yang tadi ia temui.
Mulutnya menganga dan keterkejutannya semakin bertambah, rasanya jantungnya akan lompat dari tempatnya saat ini juga. Bagaimana tidak, bukan hanya asap hitam yang hendak keluar, tapi juga siluet seorang wanita!
Refleks Bara melompat dan terguling ke lantai, setelah siluet itu menjadi jelas dan benar-benar membentuk wanita sungguhan. Bara menahan tubuhnya dengan siku.
Mulutnya hanya bisa menganga tanpa bersuara, sementara itu hatinya ingin sekali berteriak meminta tolong, tapi sia-sia karena seperti ada yang menahan, sampai akhirnya suara itu hanya berhenti di tenggorokan.
"Pangeran?"
***
Dengan sekuat tenaga Bara menelan salivanya yang terasa begitu sulit. Bukan terkejut lagi, sepertinya ia ingin mati sekarang juga.
Bagaimana tidak? Asap hitam berbunyi layaknya pecahan kristal yang saling berbenturan, bersamaan dengan kerlip nampak seperti glitter diiringi kemunculan seorang gadis, ditambah pula gadis itu mengetahui nama tengahnya.
Sudah cukup untuk membuat seluruh persendiannya kaku hingga mati rasa.
"Si-siapa lo?" Sekuat tenaga Bara mencoba melafalkan dua kata itu.
Seorang Bara yang petakilan, kini menjadi lelaki paling calm karena mati gaya.
Sosok gadis itu masih belum terlihat nyata, karena tertutup gelapnya ruangan di samping kanan kasur, sebab cahaya matahari tidak sampai ke situ.
"Aku Roseline, Pangeran." Suara gadis itu kembali terdengar begitu lembut.
Dahi Bara mengernyit dan ditemani peluh yang membasahinya. "Roseline?" gumamnya.
"Panggil saja Rose," lanjut gadis itu sambil berjalan perlahan mengitari ranjang.
Bara menelan saliva untuk merespon perkenalan gadis itu. Sampai langkah Rose tepat di ujung kaki ranjang yang terkena sinar matahari, barulah sosok itu terlihat nyata.
Bara merasa tidak kuat melihat dengan jelas sosok asing tersebut, ia lebih memilih menunduk menatap ujung sepatu gadis itu. Namun, Bara tidak kuat menahan rasa keingintahuan yang dilapisi rasa takut, karena itu meski ragu perlahan kepalanya mulai terangkat.
Terpaku.
Satu kata itulah yang dapat mendeskripsikan perasaan Bara saat ini. Dirinya terpikat dengan gadis yang diketahui bernama Rose itu, ia tak menyangka sosok yang dipikirnya menyeramkan ternyata adalah seorang gadis berparas cantik.
Ia memiliki wajah bak boneka, dengan bibir tipis dan mata besar, rambutnya berwarna dark grey digulung serta kepang yang menjadi bandana di atas poni. Ia memakai vintage dress berwarna navy berenda putih di bagian atasnya, tak lupa satu tangkai bunga mawar hitam yang digenggamnya erat, memancarkan kesan dark yang memukai.
Meski begitu, tetap saja, Bara merasa takut dengan kenyataan bahwa gadis itu keluar dari cermin. Bagaimana jika dia adalah sejenis hantu? Monster? Jin? Siluman? Atau ... apa mungkin bidadari? Tapi, bidadari itu turun dari langit, bukan malah muncul dari dalam cermin dan menyakitinya.
Detik dalam jam terasa begitu lambat, pun langkah Rose yang menurut Bara seperti keong, menambah sensasi panas dingin dalam dirinya. "Jangan mendekat!" Dengan sigap, saat Rose sudah berada tepat satu langkah dari tempatnya tersungkur, Bara menarik dirinya agar mundur dengan menggunakan satu siku, satu tangannya yang lain memberi gestur untuk Rose agar berhenti. Tapi, Rose tak mau menurut, ia tetap melangkah mengikis jarak di antara dirinya dan Bara, bahkan tak sungkan ia berjongkok tepat di samping Bara tanpa perduli perasaannya yang kini tengah berkecamuk. Bibir Bara gemetar, terlebih ia tak kuat menggerakkan badannya agar dapat bangkit dan kabur secepat mungkin dari hadapan gadis asing itu. Tak henti di dalam hatinya, Bara merapalkan do'a pada Tuhan untuk memberikannya kesempatan hidup, setidaknya sampai ia mendapatkan cinta dari Lily. Ayolah, Bara tidak mau mati muda! Apalagi mati dalam keadaan konyol seperti ini, ketakutan karena sosok
Memiringkan kepala terlebih dahulu, barulah Rose menjawab, "Kenapa tidak menanyakan sosok manusia padaku?" Ia malah balik bertanya, membuat Bara semakin bingung. "Mana ada manusia keluar dari cermin?" timpal Bara, sambil menyenderkan tubuh pada ranjang yang kebetulan tepat berada di belakangnya. "Ada," balas si gadis berbulu mata lentik itu yang tengah diinterogasi oleh Bara. "Siapa?" "Aku," jawabnya cepat penuh keyakinan. Mata Bara terbelalak sempurna diikuti tubuhnya yang kembali bangkit sampai duduk tegap, terkejut dengan jawaban yang sama sekali tidak ia pertanyakan bahkan tidak terlintas sedikitpun dalam benaknya.
Setelah berhasil dengan mudah membujuk Rose, Bara gegas menutup lemari dan berjalan cepat ke arah pintu yang terus digedor. "Bentar, Ma!" lontarnya seraya berjalan mendekati pintu. Tangannya sengaja mengacak surai hitam miliknya untuk bahan beralibi pada sang mama. Ia membuka kuncinya terlebih dahulu sambil berusaha menetralkan perasaannya agar tak gugup, barulah setelah itu tangannya memutar knop dan menariknya hingga muncullah sosok yang selalu memanjakannya. "Iya, Ma?" Bara berpura-pura menggaruk kepalanya dengan mulut yang menguap sehingga terlihat khas orang yang baru bangun tidur. "Astaghfirullah, si Ganteng!" Bella meringis melihat anaknya baru bangun tidur, yang pada kenyataannya tidak benar. "Tadi, kan, Mama minta dibantuin angkat meja, kenapa malah tidur." "Hehehe. Maaf, Ma. Abisnya udara dari luar sejuk banget, tadi niatnya cuma rebahan bentar, eh malah tergoda sama buaian angin. Jadi tidur, deh," ucapnya berbohong dengan cengiran y
Di dalam kamar Rose merasa kecewa, karena pangerannya tidak mengijinkan ia bertemu mama, Rose pikir mama yang disebut Bara ada mamanya sehingga ia begitu antusias ingin bertemu. "Aku merindukan Mama, mengapa Pangeran tidak memperbolehkanku untuk bertemu? Jika aku memaksa, sama saja aku melanggar perintah dari Pangeran, aku tidak ingin melakukan itu," lirihnya, ada satu tetes air mata yang jatuh dari matanya. Rose masih saja menganggap Bara sebagai pangeran putra mahkota. "Baiklah, mungkin belum waktunya." Rose menghapus jejak air mata itu dan mencoba memahami serta menghibur diri. Ia melirik ke belakang melihat kunci yang tergelatak di sana. Bibirnya kembali tersenyum, penuh semangat tangannya meraih kunci itu, menatapnya sebentar dengan binar, setidaknya ada sesuatu yang membuat kesepiannya hilang. "Mari kita bebaskan Paman Tikus!" *** Berjalan sambil terus berpikir mengenai kejadian hari ini dan Rose, ingatannya ter
Belum lama ia merasa lega, namun rupanya sang mama kembali membuatnya tersiksa dengan ancamannya itu. "Si Bohay bohong, Ma," sergahnya seraya memelototi Rico agar diam. "Aku udah nggak ngedeketin Lily lagi, kok, sumpah," lanjutnya berbohong. Rico yang duduk di samping dengan leluasa menggigit kedua jari telunjuk dan tengah Bara yang membentuk V. Bara kembali memelototinya, sahabatnya ini memang tidak bisa diajak kompromi. "Jangan bohong kamu." Lily yang tengah melilit jempol Bara dengan kasa menginterupsi. "Beneran, Ma. Aku nggak bohong, si Bohay emang asal jeplak aja. Mana tau, sih, dia tentang hubungan aku sama Lily, yang dia tau, tuh, cuma ... makanan!" ucap Bara sengaja mengeraskan kata 'makanan' tepat di telinga Rico. Bella hanya menggelengkan kepalanya, melihat anak semata wayangnya itu masih bersikap kekanak-kanakan. Astaga, salahkan dia yang sering memanjakan Bara. "Sudah selesai." Bella kembali merapikan peralatan P3K ke dalam
Anehnya gadis itu tidak tampak di mana-mana, Bara terus mengabsen setiap sudut kamarnya, tapi tetap saja tidak terlihat sosoknya. Ah, benar ia harus berjalan lagi. Terpaksa Bara kembali memijakkan kakinya dan berjalan mendekati ranjang, barulah sosok yang dicarinya terlihat. Rupanya sosok itu tengah berjongkok di sebrang ranjang. Samar-samar Bara mendengar gumaman gadis aneh itu yang ucapannya tidak jelas. Tepaksa lagi Bara mendekatinya, kembali berjalan lagi untuk melihat apa yang tengah Rose lakukan. "Kasihan sekali kau Paman Tikus, aku turut berduka cita untuk itu," gumam Rose yang baru terdengar jelas saat Bara hampir sampai di dekatnya. Ternyata gadis ajaib itu tengah berinteraksi, sayangnya Bara tidak tahu dia berinteraksi dengan siapa. Karena rasa ingin tahu yang membuncah, perlahan Bara mengintip melihat sosok apa yang tengah diajaknya berinteraksi. "Rose?" Kini Bara harus membulatkan matanya jauh lebih lebar. I
Hey! Mengapa Rose hadir dan merecoki hidupnya? Menciptakan segala kejadian yang membuat Bara terasa amat tersiksa. Apakah mulai detik ini gadis itu akan menetap dan menciptakan hal-hal yang lebih mengejutkan dari ini? Mungkinkah? Mantra keparat! Mulut yang tidak bisa dijaga! Seenaknya mengucapkan sesuatu yang tidak berfaedah hingga merumitkan hidupnya sendiri. Sebenarnya mantra apa yang diucapkan Bara? Ayolah otak yang berkapasitas minimum, bekerjalah barang sedikit, sungguh Bara amat tersiksa. Setidaknya, jika ia menemukan mantra yang membuat gadis di hadapannya ini dapat keluar dari cermin, mungkin saja ada mantra lain yang bisa membuat gadis imut itu kembali ke sarangnya, agar dirinya terlepas dari neraka kehidupan bersamanya. Bara sepertinya akan gila bila bayangan tentang Rose hadir memenuhi hari-harinya. Sebab, jika tidak tahu cara mengembalikan gadis ini ke habitat aslinya, sudah pasti Rose akan menetap. Gi
"Dikurung dalam cermin sebagai kutukan?" "Hmm." "Kekuatan sihir jahat itu juga termasuk?" "Hmm." "Lalu bunga mawar hitam itu, sebagai apa?" Bara melirik bunga mawar berwarna hitam yang tidak pernah Rose lepas dari tangannya, seakan memiliki arti yang begitu besar. Sejenak Rose ikut melirik bunga mawar itu, kemudian membawanya lebih dekat ke hadapan wajah untuk ditatapnya lebih lekat. Senyum getir terukir di bibir tipisnya, namun pancaran nertranya terlihat sendu. Helaan nafas pun terdengar amat berat. Kini rupanya Bara memiliki kesempatan untuk lanjut menginterogasi gadis itu kembal. Sekuat tenaga ia hilangkan rasa takutnya, mengajak Rose bercengkrama setelah gadis itu usai menangis sebab terhimpit sesal yang begitu besar. "Papa yang memberikan, sebagai hadiah ulang tahunku sebab diriku teramat menyukainya." Ingatan Rose menerawang pada titik saat detik di mana papanya memberikan satu tangkai bunga mawar berwarna hi