Setelah berhasil dengan mudah membujuk Rose, Bara gegas menutup lemari dan berjalan cepat ke arah pintu yang terus digedor.
"Bentar, Ma!" lontarnya seraya berjalan mendekati pintu. Tangannya sengaja mengacak surai hitam miliknya untuk bahan beralibi pada sang mama.
Ia membuka kuncinya terlebih dahulu sambil berusaha menetralkan perasaannya agar tak gugup, barulah setelah itu tangannya memutar knop dan menariknya hingga muncullah sosok yang selalu memanjakannya.
"Iya, Ma?" Bara berpura-pura menggaruk kepalanya dengan mulut yang menguap sehingga terlihat khas orang yang baru bangun tidur.
"Astaghfirullah, si Ganteng!" Bella meringis melihat anaknya baru bangun tidur, yang pada kenyataannya tidak benar. "Tadi, kan, Mama minta dibantuin angkat meja, kenapa malah tidur."
"Hehehe. Maaf, Ma. Abisnya udara dari luar sejuk banget, tadi niatnya cuma rebahan bentar, eh malah tergoda sama buaian angin. Jadi tidur, deh," ucapnya berbohong dengan cengiran yang dibuat-buat.
"Kamu, nih, kebiasaan baru aja angkat beberapa barang udah rebahan aja. Yaudah sanah cepetan cuci muka, abis itu keluar bantu Mama sama yang lain," perintah Bella sedikit kesal, tapi terlihat jelas bahwa ia tidak bisa marah dengan anak kesayangannya itu.
"Oke, siap, Ma!"
Setelah itu, Bella berbalik meninggalkan Bara. Napas lega Bara hembuskan, untung saja Bella tidak curiga sedikitpun.
Memastikan mamanya sudah tak terlihat dari balik dinding, Bara buru-buru masuk kembali ke dalam kamar dan mengunci kembali pintunya, berjalan cepat kemudian membuka pintu lemari.
Tampak gadis imut masih setia berjongkok menatap Bara dengan tatapan polos sebagai ciri khasnya, bagaikan anak yang terbuang. Bara bernapas lega, tersenyum merasa geli dengan tingkahnya.
Sebenarnya Bella harus mengetahui masalah ini, tapi bagaimana cara ia menjelaskannya? Tidak mungkin, kan, ia langsung mengatakan bahwa Rose adalah seorang gadis yang keluar dari cermin. Sudah pasti langsung disangkal dan dikomentari telah mengada-ngada.
Apalagi jika ia memberi tahu Bisma, papanya itu pasti akan langsung mengatakan ia tidak waras. Hanya ada satu orang yang mempercayainya, sudah tentu Rico.
Ya, meski terkadang menyebalkan hingga rasanya Bara ingin mengempiskan perutnya, tetap saja si Bohay adalah sahabat terbaiknya yang selalu ada untuk dirinya, baik senang maupun susah, sudah dijamin kesetiaannya. So sweet.
Tapi, sebelum memberitahu Bohay mengenai Rose, Bara harus menyelidiki tentang latar belakang Rose lebih lanjut.
Rasa takutnya kini tergantikan dengan rasa penasaran yang begitu melekat di hatinya, terlebih saat ia mengetahui bahwa Rose adalah gadis baik-baik. Tidak ada rasa curiga sedikitpun, karena bisa jadi semua yang disaksikannya itu benar tanpa rekayasa.
Sebab tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, setiap hal yang kadang sering dianggap mustahil, tapi nyatanya bisa saja terjadi. Itulah salah satu alasan kenapa Bara mempercayai Rose.
"Ayo." Beberapa detik hanya saling menatap dan di selimuti kesunyian, Bara tersadar dan langsung mengulurkan tangannya untuk membantu Rose berdiri.
Tanpa ragu, Rose menggapainya perlahan lalu Bara menariknya dengan hati-hati. Rose berdiri kemudian melangkah keluar dari lemari, sekilas bersamaan Rose keluar ada suatu bayangan kecil juga ikut bergerak ke pojok dalam lemari.
Bara menyipit, memperjelas apa yang barusan ia lihat. Rose yang semula hanya menatap Bara kini juga ikut mengalihkan pandangan ke titik fokus Bara.
"Ada apa?" tanya Rose ikut memperjelas pandangannya.
"Ada sesuatu tadi," jawab Bara enggan mengalihkan pandangan.
"Oh, mungkin Paman Tikus," balas Rose enteng.
"Oh ... Paman Tikus, kirain ap--" Ucapan Bara terpotong, menoleh ke arah Rose yang sudah menatapnya terlebih dahulu dengan bola mata yang hampir keluar. "Apa?! Paman Tikus?"
Rose mengangguk bersamaan senyum manisnya.
"Ma-maksud lo tikus beneran?"
Rose mengangguk lagi tetap menyunggingkan senyum.
"Astaghfirullah!" Dengan sigap Bara menutup kembali pintu lemari, tak sampai di situ ia pun menguncinya.
"Kenapa dikunci, Pangeran?" Tatapan Rose kini sendu, menatap sedih pintu lemari yang terkunci rapat. Ia memikirkan paman tikusnya yang baru ia temui dan berkenalan di dalam sana, paman tikus tidak memiliki teman dan tinggal di dalam lemari gelap nan pengap, sungguh menyedihkan.
"Karena tikuslah!" kesalnya, Bara berbalik melempar kunci lemari ke atas kasur dan mendaratkan tubuh di sana.
Rose menghampiri Bara, kemudian ikut duduk di sampingnya. Merasa terus-terusan ditatap, Bara sedikit risih.
"Kok jahat," cetus Rose berhasil mengalihkan pandangan Bara sepenuhnya.
"Siapa yang lo maksud?" Bara merasa tersindir dengan ucapan Rose.
"Pangeran."
"Gue?" Bara menunjuk dirinya sendiri. "Kok gue?"
"Karena Pangeran telah mengunci Paman Tikus di dalam lemari. Itu jahat, Pangeran!" Rose berucap penuh penekanan di akhir kalimat, dengan tatapan yang menghunus tajam tepat di manik mata Bara.
"Cuma gara-gara tikus gue dibilang jahat?" gumamnya tak percaya.
"Memang seperti itu," balas Rose yang ternyata mendengarnya.
"Hah!" Bara menghembuskan napas beratnya bertambah pusing dengan sikap Rose. Sebentar ia merubah posisinya menghadap Rose. "Lo diam di sini, ya, jangan kemana-mana, jangan bersuara apalagi buat keributan. Gue mau keluar sebentar bantu-bantu Mama sama yang lain."
"Mama?" Rose memotong ucapan Bara setelah mendengar kata 'Mama'. Senyumannya kembali mengembang, rasa rindu hadir begitu saja tanpa ada yang mengundang.
"Iya, kenapa?"
"Boleh aku bertemu dengan Mama?"
Bara melotot terkejut, tadi susah payah ia menyembunyikan dirinya, dan sekarang gadis itu ingin bertemu dengan mamanya? Jelas tidak boleh, untuk apa coba? Dan belum waktunya.
"Nggak!" Spontan Bara menolak. Mendengar itu tatapan Rose menurun, kembali sendu dan terpancar kesedihan di sana. Bara mengatur napasnya sebentar, sulit juga menghadapi gadis polos ini, agaknya Bara harus menambah stok sabarnya.
"Nanti gue balik lagi buat lanjut nginterogasi lo. Oke?" Bukannya membujuk Rose, Bara malah mengatakan itu tanpa memperdulikan perasaan Rose, Bara beranjak dari duduknya lalu berdiri sambil menatap Rose yang masih menunduk.
"Inget pesan gue tadi, oke?"
Tidak ada respon, gadis itu membisu dan Bara menganggap itu sebagai persetujuan, lantas meninggalkan Rose keluar kamar. Sengaja Bara mengunci kamarnya dan membawa kunci tersebut.
Di dalam kamar Rose merasa kecewa, karena pangerannya tidak mengijinkan ia bertemu mama, Rose pikir mama yang disebut Bara ada mamanya sehingga ia begitu antusias ingin bertemu. "Aku merindukan Mama, mengapa Pangeran tidak memperbolehkanku untuk bertemu? Jika aku memaksa, sama saja aku melanggar perintah dari Pangeran, aku tidak ingin melakukan itu," lirihnya, ada satu tetes air mata yang jatuh dari matanya. Rose masih saja menganggap Bara sebagai pangeran putra mahkota. "Baiklah, mungkin belum waktunya." Rose menghapus jejak air mata itu dan mencoba memahami serta menghibur diri. Ia melirik ke belakang melihat kunci yang tergelatak di sana. Bibirnya kembali tersenyum, penuh semangat tangannya meraih kunci itu, menatapnya sebentar dengan binar, setidaknya ada sesuatu yang membuat kesepiannya hilang. "Mari kita bebaskan Paman Tikus!" *** Berjalan sambil terus berpikir mengenai kejadian hari ini dan Rose, ingatannya ter
Belum lama ia merasa lega, namun rupanya sang mama kembali membuatnya tersiksa dengan ancamannya itu. "Si Bohay bohong, Ma," sergahnya seraya memelototi Rico agar diam. "Aku udah nggak ngedeketin Lily lagi, kok, sumpah," lanjutnya berbohong. Rico yang duduk di samping dengan leluasa menggigit kedua jari telunjuk dan tengah Bara yang membentuk V. Bara kembali memelototinya, sahabatnya ini memang tidak bisa diajak kompromi. "Jangan bohong kamu." Lily yang tengah melilit jempol Bara dengan kasa menginterupsi. "Beneran, Ma. Aku nggak bohong, si Bohay emang asal jeplak aja. Mana tau, sih, dia tentang hubungan aku sama Lily, yang dia tau, tuh, cuma ... makanan!" ucap Bara sengaja mengeraskan kata 'makanan' tepat di telinga Rico. Bella hanya menggelengkan kepalanya, melihat anak semata wayangnya itu masih bersikap kekanak-kanakan. Astaga, salahkan dia yang sering memanjakan Bara. "Sudah selesai." Bella kembali merapikan peralatan P3K ke dalam
Anehnya gadis itu tidak tampak di mana-mana, Bara terus mengabsen setiap sudut kamarnya, tapi tetap saja tidak terlihat sosoknya. Ah, benar ia harus berjalan lagi. Terpaksa Bara kembali memijakkan kakinya dan berjalan mendekati ranjang, barulah sosok yang dicarinya terlihat. Rupanya sosok itu tengah berjongkok di sebrang ranjang. Samar-samar Bara mendengar gumaman gadis aneh itu yang ucapannya tidak jelas. Tepaksa lagi Bara mendekatinya, kembali berjalan lagi untuk melihat apa yang tengah Rose lakukan. "Kasihan sekali kau Paman Tikus, aku turut berduka cita untuk itu," gumam Rose yang baru terdengar jelas saat Bara hampir sampai di dekatnya. Ternyata gadis ajaib itu tengah berinteraksi, sayangnya Bara tidak tahu dia berinteraksi dengan siapa. Karena rasa ingin tahu yang membuncah, perlahan Bara mengintip melihat sosok apa yang tengah diajaknya berinteraksi. "Rose?" Kini Bara harus membulatkan matanya jauh lebih lebar. I
Hey! Mengapa Rose hadir dan merecoki hidupnya? Menciptakan segala kejadian yang membuat Bara terasa amat tersiksa. Apakah mulai detik ini gadis itu akan menetap dan menciptakan hal-hal yang lebih mengejutkan dari ini? Mungkinkah? Mantra keparat! Mulut yang tidak bisa dijaga! Seenaknya mengucapkan sesuatu yang tidak berfaedah hingga merumitkan hidupnya sendiri. Sebenarnya mantra apa yang diucapkan Bara? Ayolah otak yang berkapasitas minimum, bekerjalah barang sedikit, sungguh Bara amat tersiksa. Setidaknya, jika ia menemukan mantra yang membuat gadis di hadapannya ini dapat keluar dari cermin, mungkin saja ada mantra lain yang bisa membuat gadis imut itu kembali ke sarangnya, agar dirinya terlepas dari neraka kehidupan bersamanya. Bara sepertinya akan gila bila bayangan tentang Rose hadir memenuhi hari-harinya. Sebab, jika tidak tahu cara mengembalikan gadis ini ke habitat aslinya, sudah pasti Rose akan menetap. Gi
"Dikurung dalam cermin sebagai kutukan?" "Hmm." "Kekuatan sihir jahat itu juga termasuk?" "Hmm." "Lalu bunga mawar hitam itu, sebagai apa?" Bara melirik bunga mawar berwarna hitam yang tidak pernah Rose lepas dari tangannya, seakan memiliki arti yang begitu besar. Sejenak Rose ikut melirik bunga mawar itu, kemudian membawanya lebih dekat ke hadapan wajah untuk ditatapnya lebih lekat. Senyum getir terukir di bibir tipisnya, namun pancaran nertranya terlihat sendu. Helaan nafas pun terdengar amat berat. Kini rupanya Bara memiliki kesempatan untuk lanjut menginterogasi gadis itu kembal. Sekuat tenaga ia hilangkan rasa takutnya, mengajak Rose bercengkrama setelah gadis itu usai menangis sebab terhimpit sesal yang begitu besar. "Papa yang memberikan, sebagai hadiah ulang tahunku sebab diriku teramat menyukainya." Ingatan Rose menerawang pada titik saat detik di mana papanya memberikan satu tangkai bunga mawar berwarna hi
TV LED 32 inch menyala, menampilkan film kartun Malaysia dengan tokoh utama kembar yang tak berambut. Volume suaranya dibiarkan meninggi. Manusia berbobot kurang lebih 100 kg enggan mengecilkan suaranya, saking asiknya ia sesekali tertawa meski mulutnya tersumpal tahu bulat yang kata penjualnya digoreng dadakan. Seperti tidak bertulang, Rico malas bergeser sedikitpun dari tempatnya, masih bersender di penyangga sofa berwarna kuning. Mumpung di rumah sendiri, karena anggota keluarganya tengah sibuk melakukan aktivitas masing-masing, jadi ia bebas untuk saat ini, tidak ada yang merecoki ataupun mengomeli. Merasa haus, tangan Rico menyusuri meja yang sangat berantakan dengan berbagai sampah plastik snack hingga berceceran di atas lantai. Entah mengapa kepalanya juga merasa malas hanya sekedar menoleh untuk melihat di mana gelas minum itu terletak. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Rico langsung meneguk air tersebut hingga tanda
Si Bohay sempat tertawa mendengar cerita Bara pada poin Rose memiliki sihir yang menjadikan ia sebagai korban, bukan hanya pada poin tersebut, tapi juga ia dibuat terbahak setelah mendengar bahwa Bara loncat ke atas kasur dan mengabaikan luka di jempolnya hanya karena takut dengan seekor tikus. Perlu diketahui! Sebelumnya pun, Rico sulit percaya dengan semua penjelasan yang Bara susun, tapi setelah mendapati gadis pemakai kostum unik, pemilik rambut yang berwarna dark grey, pahatan wajah seperti boneka, dan naungan tatapan polos itu membuktikan segalanya dengan cara menjungkirbalikkan tubuh kelebihan lemak miliknya menggunakan perantara sihir yang sama, hingga menimbulkan gempa kecil di dalam rumah Bara, barulah Rico dapat mempercayai penjelasan Bara seratus persen. Di tambah cermin antik dan bunga mawar hitam yang memiliki umur kurang lebih sebelas tahun, namun masih tetap hidup walaupun tanpa air, yang sengaja Bara tunjukkan sebagai bukti tambahan. 
"Hanya berbicara melalui cermin." Bara memejam sejenak, mencari energi lebih banyak. Terlihat jelas melalui raut wajahnya yang berubah drastis, ia menjadi sangat ambisius setelah mendengar Rose mengenal kakeknya. "Apa aja yang udah lo bicarain sama Kakek?" "Banyak hal." "Salah satunya?" Bara mencondongkan tubuhnya dengan kening berkerut, menunggu bibir Rose bergerak untuk memberikan jawaban. "Suatu cara untuk membebaskan kutukan." Sontak Rico menoleh ke arah Bara dengan mata yang melebar, sedangkan Bara saking tidak mampu mengekspresikan rasa terkejutnya hanya dapat menampilkan raut datar sambil menganga lebar. "Se-seriusan?" "Sangat serius," balas Rose dengan yakin. "Bagaimana caranya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Bara, seakan ia ingin membebaskan Rose dari kutukan. "Aku tidak bisa memberi tahu, cara itu rahasia. Hanya seseorang berhati tulus yan