Tin.. Tin!!
Gallen spontan berdiri. Ponsel ditangannya hampir terjatuh karena bunyi klakson. “An..” Umpatannya tertelan kembali. Matanya sontak membulat, melihat Navara diangkut oleh mobil sepupunya.
“NJING! BABI! BANGSAT!” Ia melanjutkan umpatan yang sempat tertunda. Hatinya mendadak panas. Sudah sepuluh menit ia menunggu Navara keluar dari ruang osis, gadis itu ternyata malah meninggalkannya.
“Berani-Beraninya lo bawa bini gue, Dipraja Jelek!!” Pisuhnya, menunjuk-nunjuk mobil sepupunya yang belum tertelan tikungan gerbang sekolahan.
“Ngapain lo ngamuk-ngamuk?” tanya Boy datang dengan seragam sepak bolanya. Pemuda itu mengernyitkan keningnya melihat aksi anarkis Gallen. “Nava belum selesai juga rapatnya?!”
“Bini gue diangkut sama Melvin.”
“Kejar Egeb! Ngapain lo malah misuh-misuh nggak jelas sih!” Omel Sahrul tak habis thinking dengan kedongoan Gallen.
“O-iya! Assalamualaikum!” Pamit Gallen lalu memasuki Civic hitamnya. Ia sempat menekan klakson, sebelum kepalanya menyembul keluar dari jendela. “Awas, Nyet! Gue tabrak lumpuh lo berdua!” Usirnya agar kedua sahabatnya tak menghalangi jalan.
Bak Sam Gelael yang beraksi mengalahkan lawan-lawannya, Gallen menginjak pedal gasnya dalam. Ia bertarung melawan pengemudi lain. Bermurah hati menggegerkan pengguna aspal dengan klakson beruntun-nya.
“Minggir, nggak minggir tabrak,” senandungnya di dalam mobil. Adrenalin Gallen berpacu dengan waktu.
“Gue bilangin bokap lo ntar, Mel.” Monolognya ingin mengadu jika Melvin kebut-kebutan di jalanan. Berhubung Omnya sangat patuh akan lalu-lintas, Gallen pastikan Melvin akan mendapatkan semburan maut. Hitung-Hitung bayaran atas kekesalannya.
“Bujug Buneng! Kok udah di depan komplek aja. Gue naik mobil apa burok?!” Gidiknya, mandiri. Gallen menggelengkan kepalanya, merasa takjub. “Weh, daftar jadi racer ketrima nih gue,” kekeh-nya semakin tak jelas.
“Ay, Ay!” Teriak Gallen melompat dari tunggangan. Ia biarkan pintu mobilnya tetap terbuka. “Lo apa-apaan sih! Kenapa baliknya sama dia?! Kan gue nungguin,” protesnya, meluapkan kekesalan. Puluhan kali dirinya mengirim pesan yang tak dibaca oleh kekasih hatinya. Sadar-Sadar, istri cantiknya diculik. Bagaimana mau tidak kesal coba.
“Gue cuman mempersingkat waktu. Lo bukannya mau nganterin ketua cheers nge-mall?!” Balas Navara berani. Maaf-Maaf saja, takut pada Gallen tak pernah ada di kamusnya. Gallen sendiri yang mengibarkan bendera perang untuk mereka.
“Loh! Loh! Mana ada?! Udah gue tolak. Lo nggak congek kan?!”
“Sebelumnya lo terima!” Pungkas Navara keras kepala. Pintu maafnya sedang tertutup hari ini. Gallen bukannya meminta maaf atas dosa-dosanya semalam, pria itu malah tambah mengucurkan bensin ditengah kobaran api miliknya.
“Kan diral..”
“Heh! Mundur lo!” Sentak Navara. “Batas suci! Kalau lo lupa, lo udah gue haramin nginjekin kaki di rumah gue!!” Peringatnya membahas ucapannya di kantin sekolah tadi siang.
“Mana bisa!”
“Bisa! Siapa bilang nggak bisa! Mundur nggak!”
“Nggak!!” Sahut Gallen, tak mau kalah. Pengharaman Navara tidaklah valid. Rumah gadis itu tak mengandung unsur najis, begitu pula dengan dirinya. Jadi tidak sah.
“Astaga, Pengantin Baru. Hot banget berantemnya.”
Telinga Gallen berdenyut. Ia seperti mendengar suara makhluk paling nista dimuka bumi.
“Berantem mulu perasaan. Kapan ahem-ahem-nya dong.”
Benar saja— ketika Gallen membalikan tubuhnya, anak itu menyaksikan wajah tengil ketua rukun tetangga. Demi megalodon yang keberadaannya sudah punah, Gallen membenci tetangga tepat di depan rumah Navara. Kalau saja bisa membunuh tanpa menyentuh, Pak RT-nya adalah orang pertama yang ingin Gallen habisi.
“Masuk, Nav. Orang gila! Kita nggak boleh sering-sering ketemu dia. Bisa tipis mental ntar.” Gallen menarik lengan Navara, setengah menyeret tubuh si cantik agar memasuki rumahnya.
Rumah ibu mertuanya, maksudnya.
“Ih, jangan pegang-pegang! Lepas!”
“Ah, sok jual mahal lo! Biasa juga gue remes-remes!”
Mbak Surti— Asisten rumah tangga yang setiap sorenya pulang ke rumah, menatap keduanya dengan bibir terbuka. Kalau tidak salah, ia baru saja mendengar gaya berpacaran ekstrim anak majikannya.
“Astagfirullah, Mas Gallen!” Pekiknya lalu menutup mulutnya dengan tangan.
“Halo Mbak Sur.. Kenawhy, Mbak? Kok kayak orang yang kaget gitu?!”
Plak!!
“Ya lo yang bikin! Mbak Sur pasti ngiranya beneran!” Amuk Navara. Usai memukul kepala Gallen, Navara lantas menjelaskan jika mulut sampah Gallen itu tak perlu dipercayai. “Biasa Mbak, anaknya asal jeplak,” timpal Navara agar tak terjadi kesalahpahaman part 2.
“Mbak bikinin es teh dong. Panas nih abis liat istri selengki sama sepupu sendiri.”
Navara memutar bola matanya. Pulang bersama rekan dianggap selingkuh, apa kabar Gallen yang ingin mengantarkan gadis lain berbelanja?! Kurang sajen memang Gallen.
“yang manis ya, Mbak. Semanis wajah Ayang Gallen,” ucapnya menaik-turunkan alisnya. Ia melirik Navara, berharap kekasihnya itu luluh lantah ter-Gallen-Gallen. Namun bukan kabar baik yang dirinya dapat, melainkan pose ingin muntah lengkap dengan ekspresi jijik istrinya.
Dia doang yang digombalin nggak kecantol, Babik!!
“Durhaka lo sama suami, Nav!” Sengit Gallen sembari menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. “Dosa tauk! Nggak boleh gitu.”
“Su-Suami?!”
Gallen tersenyum ke arah Mbah Surti. “Iya loh, Mbak. Semalem kan kita digrebek, terus dinikahin deh sama warga. Gallen sekarang jadi suaminya Navara. Kaget ya?”
Navara menepuk keningnya. Bisa-Bisanya Gallen berbangga ria menceritakan aib mereka. Sungguh langka manusia spek seperti Gallen ini. Sosoknya patut dicatat di rekor muri dunia.
“Ibu belum ada bilang, Mas. Saya berangkat Ibu udah nggak ada.”
“Ya ini saya kasih tahu. Jadi nanti kalau siang Mbak Surti denger ah-ah-ah,” Gallen benar-benar mempraktekkan suara desahan, “Mbak Surti nggak perlu kaget lagi.”
“Ah-Ah-Ah?” Bodohnya, Mbak Surti menanyakan maksud dari desahan Gallen.
“Itu loh, main gencet-gencetan yang bikin en..”
Buagh!!
“Anjim!” Raung Gallen. Kepalanya terdorong ke belakang karena hantaman sepatu Navara, “Ay, sakit!” Terhitung sudah dua kali ia mendapatkan tindak KDRT selama mereka menikah.
“Diem lo, Babi! Balik sono ke rumah lo sendiri!!”
Kesal karena ulah tidak tahu malu Gallen, Navara memilih angkat kaki. Ia berlari menaiki anak tangga rumahnya. Stok kesabarannya hari ini telah mendekati limit. Urusan Gallen yang ingin kembali berselingkuh saja belum selesai, sekarang ditambah dengan sikap menghilangnya urat malu anak itu.
“Dih ngambekan jadi cewek. Heran deh!” Decak Gallen.
“Mas ini es tehnya.” Mbak Surti menyodorkan gelas ditangannya.
“Makasih, Mbak. Ngomong-Ngomong ini tanggal berapa sih?! Navara perasaan gampang banget emosi.”
“Enam belas, Mas.”
Kepala Gallen manggut-manggut, “pantesan,” gumamnya. “What?!” Tersadar akan jawaban yang merujuk pada palang merahnya sang istri, Gallen kontan berdiri.
“Kenapa Mas?” Heran Mbak Surti.
“Huwaaa, Mbak Sur! Gallen nggak bisa ena-ena! Navaranya berdarah-darah!” Jeritnya dengan tampang terbodoh sepanjang masa.
“Mamaaa!!! Malem pertama Gallen!”
Mimpi apa Gallen semalam. Setelah berhasil menikahi Navara, kenapa ia justru disiksa begini?!
Niat menikah kan agar bisa goyang dombret sambil uh-ah-uh-ah di atas ranjang. Kalau period begini, siapa lawan mainnya?!
“Ayaaaang!! Kamu kok tega banget! Usir tamu bulanan kamu!” Gallen berteriak sembari menyambangi kamar Navara. Ia tidak terima penderitaan ini terjadi padanya.
“Ay..” Kelopak mata Gallen terbuka lebar, “wii gedong, Cyin,” cicitnya mendapatkan durian runtuh saat membuka pintu kamar sang kekasih.
“Gallen tutup mata! Gue lagi ganti baju, Gallen!!”
Ya kali rejeki nomplok dilewatkan. Ya emohlah. Kapan lagi lihat buah semangka segar ada di dada.
“Mantap jiwa!”
“Gallen!”
Gallen misuh-misuh. Pemuda itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan kencang, menyalip beberapa kendaraan lagi yang ia rasa menghalangi jalannya ketika membelah jalan tol.Mamanya tak membuat soal tidak mengizinkannya menginjak lantai rumah. Ia sudah mencoba sampai lebih dulu di kediamannya, tapi ternyata wanita itu menelepon satpam. Melarangnya untuk masuk. Alhasil ia harus rela diusir dari rumahnya sendiri.Parah, kan?!“Bisa-Bisanya gue nggak boleh ketemu Navara!” Dumel Gallen, memukul stir mobilnya. Ck! Seumur-umur hidup Gallen, ia berpisah dengan Navara hanya ketika pulang dari rumah ibu mertuanya. Itu pun sesaat saja— karena setelahnya, Gallen akan mencoba terus mencari segala cara agar mereka berduaan. Makanya mereka dinikahkan oleh tetangga.Sampai di depan gerbang tinggi kediaman sang opa, Gallen menekan klaksonnya. Ia terlihat tidak sabaran. Menekannya panjang membuat penjaga lari tergopoh-gopoh.“Lama banget sih lo,” teriak Gallen sambil melongokkan kepalanya. Ia sedang ke
Mulut laknat Gallen menimbulkan petaka. Di Hari pertama keduanya kembali bersekolah, teman satu angkatan menghujat kebocoran informasi yang mereka dapatkan. Pihak sekolah pun bereaksi keras terhadap aduan yang mereka terima. Setelah jam ujian selesai, Navara serta Gallen dipanggil menghadap, guna memberikan klarifikasi terkait pergaulan bebas keduanya.“Nav, tenang. Kamu mending fokus ke ujian kita.”“Tenang kamu bilang, Len?”Sungguh Navara tak habis pikir. Bagaimana dirinya bisa fokus, jika kedatangannya untuk melaksanakan ujian pertama, justru disambut hujatan teman-teman seangkatan mereka. Semua karena Gallen. Pria itu tak ada habisnya membuat ulah.“Lagian kamu ngapain pake cerita ke Boy sama Sahrul sih, Len?! Apa pentingnya ngasih tau mereka kalau kita udah ke tahap itu?!” bentak Navara, tak lagi dapat mengendalikan kontrol dirinya.Ia kecewa— sangat kecewa. Gallen seperti anak kecil. Pemuda itu tak pernah bisa dewasa dalam menyikapi apa pun. Seharusnya dia tahu jika tidak semua
Bulu halus disekujur tubuh Navara bangkit berdiri. Gadis muda itu terus memejamkan mata, dengan gidikkan yang tak pernah berhenti.Gallen memang sudah tidak waras. Bisa-Bisanya pemuda itu mengajaknya menonton film dewasa. Seumur hidupnya, baru kali ini Navara melihat bagaimana proses bercinta seseorang. Benar-Benar menjijikan. Terlebih ketika dua alat reproduksi manusia dipampangkan tanpa sensor.Astaga! Navara ingin menangis rasanya.“Ay, buka dong matanya. Kita belajar bareng.”Bisikan ditelinga kanannya membuat Navara meremang. Suara berat Gallen semakin membuatnya merinding disko. Ia tahu kalau Gallen sudah berhasrat setelah dua film porno mereka saksikan. Namun mentalnya yang semula siap, justru menguap begitu saja. Ia jijik dengan proses tersebut.“Kamu harus ikutan belajar, Ay. Biar kita pro, terus nggak salah-salah.” Menggigit bibir bawahnya, Navara merasakan sensasi berbeda ketika tangan Gallen meremas salah satu bukit kembarnya. Darah di dalam tubuhnya seakan mengalir begit
“Selamat datang di Indongapert, Mas!” Pekik petugas minimarket ketika pelanggan yang baru saja memasuki kiosnya, menyambar barang belanjaan orang lain. Pelanggan tersebut adalah Gallen. Ia berniat membeli seluruh persediaan alat pengaman dan tak berniat membaginya kepada siapa pun.“Punya gue ini!” Seru Gallen mengamankan salah satu brand pengaman, yang akan diserahkan pembelinya pada kasir minimarket. “Apaan-Apaan lo?! Gue duluan! Lagian itu masih banyak!” tunjuk orang itu ke arah rak display. Dia berusaha mengambil kembali barang belanjaannya. “Ck! Lo aja pindah Indomaret laen, Bro! Semua yang ada disini mau gue borong!” Ucap Gallen terdengar sangat mengesalkan. “Mbak bungkus, kalau masih ada stok di gudang sekalian aja,” titahnya membuat semua mata terbelalak. “Woy, Mas! Mau lo apain dah kondom sebanyak itu?” “Ya buat ena-ena sama bini gue-lah! Ya kali gue tiupin satu-satu biar jadi balon,” sengit Gallen. Pertanyaan yang cukup bodoh menurutnya. Kontrasepsi dibuat apa kalau buk
“Ay,” panggil Gallen. Pemuda itu ingin mengadu sekaligus membahas mengenai masalah rumah tangga mereka.“Cacingnya tabrakin dulu ke tembok dong!” Pintanya agar Navara tak lagi bermain. Gallen heran, ada banyak permainan seru, tapi kenapa istrinya masih bertahan memainkan cacing yang tidak bisa berubah jadi naga itu.“Apa?!”Gallen tersenyum saat ponsel Navara diturunkan. Gimana dirinya mau tidak cinta setengah mati, sedang mode serius pun, Navara tetap memprioritaskan dirinya. Definisi nggak salah jatuh cinta sih ini.Sebelum membuka sesi curhat dong mah-nya, Gallen terlebih dahulu mencari posisi enak. Pemuda itu membaringkan tubuhnya melintang melawan arah ranjang dengan berbantalkan paha Navara.“Masa ya, Ay. Tadi Abang tuh sempet nanya, kita udah ML apa belum.” Gallen memulainya. Berharap setelah ini dirinya dapat mendapatkan haknya yang tertunda.“Main Mobile Legend? Kan aku nggak bisa, Len.”Gemas akan jawaban sang istri yang berbeda server dengan maksud kalimatnya, Gallen mengu
“Gimana kabar kamu?!”Gallen menjawabnya singkat. Seperti apa yang abangnya lihat, ia baik-baik saja. Lubang telinga, mata, hidung sampai ubun-ubunnya tetap utuh. Tidak berkurang walau kakak lelakinya itu jarang pulang.Jawaban singkat sang adik membuat Sergio mendengus. Ia tahu adiknya memang manusia baperan tingkat dewa, apalagi kalau itu menyangkut Navara. Gallen selalu takut kalah saing. Padahal apa yang perlu ditakutkan, Navara saja sudah dia nikahin.Ck! Bocil memang meresahkan. Pikirannya yang rumit merepotkan diri sendiri. Seperti kasus Gallen contohnya.“Masih ngambek gara-gara omongan Abang tadi?!”‘Pake nanya segala! Percuma kuliah di Harvard kalau IQ-nya tetep jongkok!’ Dumel Gallen dalam hati. Jari-Jarinya tetap fokus, menggulirkan aplikasi hiburan yang ramai digunakan oleh masyarakat Indonesia saat ini— yang jelas aplikasi tersebut bukan OnlyFans.“Kamu udah gede, Gallen. Masa yang begituan aja ngambek, sampai nggak mau diajak ngomong..”“B aja tuh. Gallen nggak ngambek.