“Baang!”Inginnya kutangkap tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukan, tetapi sayang tak bisa terhalang luka yang menyakitkan. Yang bisa kulakukan hanyalah memandangnya berlari ke arahku dengan mata berkaca.“Vivi,” gumamku kembali memanggil namanya.Mataku mendadak panas. Segumpal cairan bening mulai terbendung di pelupuknya, dan aku masih berusaha menahan agar tak jatuh.Jika tak ingat ada mbak-ku, sudah luruh air mata ini.“Abang, masyaallah akhirnya abang sadarkan diri. Maafin Vivi, semua gara-gara Vivi,” sesalnya meraih jemariku. Dia menggenggam cukup erat. Dia menangis di sampingku tanpa peduli dengan keberadaan kakakku. Dasar.“Bukan salah siapa-siapa. Jangan menyalahkan diri sendiri, semua sudah takdir. Allah yang telah mengatur semua,” Aku berusaha meyakinkannya agar dia tak lagi menyalahkan diri lagi.Coba lihat saja betapa kasihan pacarku ini. Matanya sembab, wajahnya kusam. Pasti dia telah melewati tiga malam dengan tangisan. Pasti kurang istirahat karena aku. Dia pasti mend
Dua hari ke belakang aku sering merasa pusing sekali. Terkadang pandangan berputar layaknya seperti diri ini sedang naik wahana roaler coaster.Terkadang juga timbul rasa mual dibarengi dengan kilasan-kilasan kecelakaan malam itu amat menyiksa.Ketika aku mengadu kepada dokter, katanya wajar. Itu adalah bagian dari trauma yang kualami. Ya Allah, ada saja cobaan. Sudah pusing karena terus-terusan disuruh minum obat setiap hari, bahkan disuntik sesekali. Sekarang ditambah dengan trauma segala.Kuharap semua segera berlalu. Aku ingin kembali pada aktivitas biasaku. Menjalani hari-hari sibuk di kantor, lalu melewati waktu libur bersama Vivi.Dalam insiden itu, motor kesayanganku jadi korban. Dia harus berada di bengkel untuk beberapa waktu agar keadaannya kembali seperti semula.Jangan tanya aku rugi berapa, yang jelas tabunganku terkuras hampir habis untuk mengganti rugi pada pemilik minibus yang kendaraannya rusak gara-gara aku main pindah jalur sembarangan. Tak terbayang andai orang tu
Mentari mulai undur perlahan, tergantikan oleh pekatnya malam yang gersang.Aku duduk di teras depan sembari menikmati segelas susu putih. Kulihat bayangan diri dari cahaya lampu yang menyorot dari atas kepala. Sesekali memainkan kaki agar bayangan yang terlihat nampak lucu.Sudah hampir dua minggu aku terkungkung dalam sakit hasil kecelakaan. Hari ini keadaanku sudah terasa sangat baik, walau memar dan bekas luka goresan masih belum hilang, bahkan beberapa belum mengering.Keluargaku sudah pulang kembali ke kampung setelah benar-benar merepotkan Nyak Marni di sini. Aku merasa tidak enak, tetapi diri ini tak bisa berbuat apa.Ibu, bapak, serta mbak-ku merencanakan pulang kemarin malam dan pergi tadi pagi. Setelah memastikan aku baik-baik saja dan sudah bisa kembali pada aktivitas sehari-hariku, mereka pemitan.Tak ada yang bisa kuberi untuk mereka bawa pulang. Hanya doa setulus hati juga harapan agar keselamatan selalu menyertai.Malam ini aku kembali menghuni kamar kos sendiri. Rasan
Hampir tiga minggu diam di rumah membuat otot terasa dipaksa kerja keras ketika kembali aku memulai aktivitas seperti waktu-waktu yang telah berlalu.Pagi ini aku sudah siap kembali pada dunia sibuk kantor. Malu kalau lama-lama ambil cuti. Merepotkan orang lain saja. Beruntung bos-ku itu baik hati dan ekstra sabar.Selama aku tak bisa bekerja dahulu, ia memberi keringanan berupa cuti panjang. Bahkam diberi tunjangan kecelakaan. Padahal, itu murni kecelakaan di jalan, bukan di perusahaan. Pak Wahyu memang paling the best.Drrt! Drrt!Ponselku bergetar di meja. Saat kulihat pesan dari siapa, ternyata dari pujaan hati. Kuraih ponsel baru ini hati-hati, takut jatuh dan rusak. Kemarin malam setelah kejadian amuk-mengamuk Nyak Marni karena makanan, teman-teman kantor datang menjenguk untuk kedua kali. Tanpa kuduga mereka juga memberiku ponsel baru hasil patungan.Rasa haru malam itu tak dapat kubendung. Tanpa tahu malu menangis di hadapan mereka.Sela juga ikut. Aku menyarankannya untuk men
Dunia terasa berhenti berputar sekarang. Aku bagai terperangkap dalam keterkejutan tak bertepi.Fadlan akan pulang? Percaya tak percaya aku berani memikirkan pertanyaan itu.Ini tidak benar. Harusnya aku senang mendengar kabarnya akan pulang ke tanah air. Tapi apa yang kulakukan? Malah mematung sempurna di hadapan komputer seperti orang bodoh begini.Setelah sekian lama pergi dan kadang memberi kabar kadang tidak, kenapa mendadak ada kabar yang ... jujur saja aku tak ingin tahu.“Ini terlalu kejam, bukan? Aku baru saja memulai kisah cinta bersama Vivi.” Diri ini bergumam egois.Dari sekian hal yang dipikirkan, kenapa masalah hubunganku menjadi beban paling berat sekarang? Apa kaitannya dengan kepulangan Fadlan?Harusnya aku sudah siap ini akan terjadi. Namun, tak pernah sekali pun mengangka waktunya akan secepat ini.Ya Allah, apa yang harus kulakukan ketika dia sudah puang nanti? Apa yang harus kukatakan nanti andai dia menanyakan soal Vivi? Bagaimana caraku memberitahu kalau perempu
Kalian tahu, sejak aku resmi berpacaran dengan anak ibu kosan, sedikit-sedikit ngaca. Sedikit-sedikit poles rambut. Sedikit-sedikit semprot parfum. Yah, pokoknya serba sedikit-sedikit lebay.Aku terdiam sekarang ketika sedang menghadap cermin. Pikiranku jauh melayang pada kenangan masa lalu ketika sebelum Fadlan pergi ke negri tirai bambu.Sisir warna biru masih lekat kupegang. Namun, benda itu hanya menganggur.Terpikir kata-katanya yang menurutku adalah sihir paling pamungkas. Tidak, lebih tepatnya sebuah sumpah yang dia ucapkan dengan nada riang.Saat itu dia sedang sibuk menulis list rencana PDKT. Persis duduk menghadap jendela di sampingku ini. Lalu, aku diam-diam mengintip kelakuan konyolnya dan nyeletuk mengatai Fadlan lebay.Yang paling membuatku ingat adalah tawa renyahnya. Dia sama sekali tak peduli dengan ejekanku, justru dengan bangga menunjukkan isi list itu tanpa ia tahu aku sudah melihatnya lebih dulu.Dengan lantang dia menyumpahiku. Katanya suatu saat aku juga akan me
“Maafin abang, Vi.” Entah mengapa rasa sedih ini kian mencuat dan membuat diri tak tahan lagi untuk segera mengutarakannya.Saat ini kami sudah duduk di bangku taman. Dengan perasaan yang tak bahagia tentunya.Vivi menggenggam tangaku.“Buat apa? Abang enggak ada salah.”Senyum miris ini tersungging. Di balik kata-kata Vivi itu aku tahu betul kalau dia hanya menghibur saja.“Maaf karena abang pengecut. Harusnya sebelum menjalani hubungan ini, alangkah bagusnya bilang ke Enyak dulu.”Kata sendu ini lolos begitu saja. Begitu mudah tanpa aku berusaha mencegahnya. Genggaman tangan Vivi tambah erat, tetapi aku berusaha untuk melepaskan.“Ini pasti gara-gara becandaan bang Arif, ya? Ih, udahlah lupain.” Dengan enteng dia berkata.Aku menghela napas berat. Jawabannya iya dan tidak.“Abang cuma kepikiran omongan Enyak. Abang merasa payah sebagai laki-laki. Enggak bisa jujur.”Hening beberapa saat.“Bang, maafin Enyak.” Ia berucap dengan raut cemasnya. Mungkin dia sungguh khawatir jika aku mem
Keringat dingin mulai berjatuhan. Mendengar Nyak Marni menelfon membuat jantungku terpacu cepat. Kira-kira kenapa, ya? Jangan-jangan Bang Arif ngomong macem-macem lagi sampai Enyak nelfon nyuruh pulang. Oh, ya ampun. Pikiran macam apa ini? Sungguh bodoh. Bang Arif sudah bilang jika dia hanya bercanda, tetapi aku merasa takut luar biasa. Bagaimana andai dia tahu yang sebenarnya? “Ck.” “Iya, Nyak. Iya, iya.” Vivi mematikan panggilan ketika aku belum sempat nguping. Dari tadi habiskan waktu untuk melamunkan hal-hal konyol. “Bang,” panggil Vivi menatapku lekat. Deg-degan. Itu yang kurasa sekarang menanti apa yang hendak dia sampaikan. “Ya, kenapa, Vi? Enyak bilang apa?” Demi apa pun, perasaan ingin tahu ini sudah menggunung bertingkat-tingkat. “Abang kenapa, sih? Orang Enyak suruh bawain nasi bungkus kalau pulang,” jawabnya diiringi senyum. Aku tahu. Dia pasti mengira diri ini gila karena terlalu banyak memikirkan problema hidup. Salah satunya ya ini, soal hubungan kami yang tak k