Ah, capeknya hari ini.” Aku menjatuhkan diri di atas ranjang.
Sekitar pukul lima sore baru sampai kosan. Pekerjaan yang sebelumnya kuperkirakan selesai dalam waktu dua belas menit pun malah selesai dalam waktu dua puluh menit. Benar-benar payah.
“Kerja udah kayak robot aja, ampun, dah. Kapan, ya, dipromosikan naik jabatan? Rasanya udah lama kerja, kok, nggak ada perkembangan sama sekali?” gumamku seraya menatap langit-langit kamar.
Yah, terkadang aku juga berada dalam fase lelah. Mengeluh sesekali boleh, kan? Entah juga, sebenarnya aku ini jenuh atau bagaimana? Tak biasanya, sih, kukeluhkan soal kerjaan.
Kali ini kupejam mata, berharap bisa melepas lelah walau hanya sebentar saja. Kubuka kancing kemeja yang membuat diri terasa gerah. Malas mandi, nanti saja sekalian sebelum magrib tiba.
Sayangnya, belum juga aku terlelap, pintu kosan diketuk kencang, disusul suara tak asing memanggil.
“Abaaang!
“Dandan?! Kamu pikir abang ini perempuan, apa?!” Jelas aku ketus dan protes soal ini. Dandan katanya? Yang benar saja, ck, ck.Aku masih duduk di atas ranjang, memerhatikan Vivi yang kini tengah mengobrak-abrik lemari pakaianku.Vivi menoleh, “Dih, kok, masih di situ, sih?! Sana cepetan ke kamar mandi! Gosok gigi! Mulut abang bau kambing!”“Buset, itu mulut lancar bener bilang kambing!” Aku lebih ingin marah lagi, tetapi sepertinya masih bisa kutahan, sih.“Buruaan, nanti telat, Bang!” Gadis itu mulai keterlaluan ngaturnya. Ia meninggalkan lemari sejenak hanya untuk menarik tanganku, memaksa agar aku segera masuk ke kamar mandi untuk gosok gigi. Yah, benar-benar payah! Nyebelin!Walau begitu, akhirnya aku mengalah. Ingat, janji harus ditepati. Ah, jadi teringat pesan bapak, kan, di kampung. Katanya sebagai laki-laki aku harus menjaga martabat diri dengan cara menepati j
Kebetulan malam ini sedikit mendung, tapi tak hujan. Kota ini semakin gerah saja rasanya.Akhirnya, setelah banyak drama ini dan itu, sampai si Vivi salah paham dan ngambek, aku pun mau juga pergi menemui Clara.Pesan Nyak Marni yang sebelumnya menitipkan dia tak hentinya berputar dalam rekaman otak.Janjiku takkan diingkari. Akan kujaga adikku ini sampai Yang Maha Kuasa memisahkan.“Bang, nonton film apa yang bagus, ya?” Vivi bertanya. Belum juga sampai ke gedung bioskop, dia sudah menanyakan hal itu padaku.Kuiintip sosoknya di kaca spion. “Lah, kamu dan kawan-kawan yang ngajak. Ya, terserah kalian saja.”Seperti biasa, semua kuserahkan pada yang punya vocal. Wong niatnya cuma menepati janji untuk bertemu si Clara itu. Ya, soal acara apa, mau ke mana, aku tak mau campur tangan. Cukup ikuti saja sesuai arahan.Yah, anggap saja sebagai ganti tak beri hadiah ulang tahun. Kan, begitu perja
Tak pernah disangka, Clara ini sungguh menyenangkan orangnya. Setelah berkenalan secara resmi, ternyata tak seburuk bayanganku kemarin.Buatku dia baik, ceria, dan ... sedikit cantik. Ah, agak lebih banyak, sih, sedikit. Semacam susu krimer. Ada manis-manisnya gitu—minuman mineral, kali, ah. Yah, pokoknya dia manis, apalagi kalau lagi memperlihatkan rekahan senyum diiringi smiling eyes.Ada kempot satu di pipi kirinya, lucu. Dan, yang paling membuatku senang memerhatikannya, ya, itu, bulu matanya yang sedikit lentik bergerak naik turun saat memesan minuman. Membuatku diam-diam mematri senyum tipis. Saaangat tipis.Jujur saja, kesan pertamaku terhadapnya sangat bagus. Clara asik orangnya dan lumayan nyambung kalo ngobrol.Takdir, kah? Maksudnya, apa dia reinkarnasi dari Gina? Ah, tak mungkin. Soalnya Gina masih hidup di dunia. Ada-ada saja otak sialan ini.Kami cukup bersenang-senang. Kukira bakal bosan, nyatanya tidak.
“Maaf, ya. Aku jadi tak bisa belikan boneka itu.” Walau malu setengah mati, kukatakan juga akhirnya.Sebagai laki-laki, harga diriku sungguh terluka dibuatnya. Tapi berkat itu, beban pikiran serta rasa maluku sedikit berkurang. Cuma ya tetap saja aku tak enak. Apalagi saat dia berkata,“Duh, nggak apa-apa. Aku bisa bayar sendiri. Tenang aja. Ikut prihatin, ya, untuk kehilangan dompetnya.” Clara yang sangat baik hati, tapi juga kata-katanya begitu menyakiti. Hmm.Selain itu aku cukup terharu. Disangka dia akan mencibir atau apalah. Tapi nyatanya dia sangat pengertian.***“Kamu yakin nggak mau kuantar pulang?” tanyaku untuk kedua kali.Yah, sebenarnya tadi kami sempat sedikit berdebat soal ini. Clara yang akan pulang ke kosannya lebih awal—karena mau masak untuk adiknya yang kelaparan—menolak kuantar pulang. Alasannya karena kami beda arah dan tujuan. Dia bilang boros b
Pagi ini sungguh cerah, tapi aku melihat Vivi begitu mendung. Sudah seperti ada awan hitam di atas kepalanya saja.Entah perasaanku atau bukan, sebenarnya dari kemarin itu dia begitu padaku. Katakanlah aku memang sedikit terganggu, akhir-akhir ini sikapnya tak menentu.Sikapnya berubah-ubah. Kadang marah-marah nggak jelas, kadang ketawa-ketiwi kayak kunti, kadang cuek dan judes nauzubillah. Yah nano-nano rasanya. Apakah mungkin aku terlalu banyak melakukan kesalahan? Sepertinya tidak. Soalnya beberapa hari ke belakang aku selalu mengikuti apa kemauan dia.Bahkan pagi ini sapaanku diabaikan olehnya. Dia juga lebih memilih naik angkutan umum ketimbang naik motor denganku yang gratisan. Vivi itu kan menjunjung tinggi filosofi hemat.“Gam, malah ngelamun di jam kerja!”Aku tersentak kaget kala sekretaris Pak Wahyu menegurku. Terpaksa aku sunggingkan senyum walau enggan.“I-ya. Seperti
Ini sudah mau mulai masuk musim penghujan, tak heran polusi udara kota ini semakin gersang saja.Niat hati aku mau curhat dan minta solusi pada Vivi, eh dia malah begitu respons-nya. Seperti tak mendukungku sama sekali. Padahal, sejak kemarin perasaanku sudah dibuat ketar-ketir soal Clara.“Lah, jangan?! Kok, jangan, sih?” Aku menautkan alis heran. Bukannya harusnya senang, ya? Kan, dia yang menjodohkan aku kemarin-kemarin.Vivi membuang muka masam. Aku semakin kesal, apa maksud dari memperlihatkan raut jelek itu?“Ya, po-pokoknya ... udah, lah, Vivi mau lipat baju dulu. Takut enyak marah!”“Eh, tunggu dulu!”Aku sudah mencoba mencegahnya, tapi Vivi masih saja tak peduli. Dia lebih memilih pergi dan menggantung pertanyaan di kepalaku. Vivi mulai menyimpan misteri, dan aku tak mengerti mengapa dia jadi semisterius itu.[Gam, maaf baru kasih kabar. Beneran sibuk di sini. Ini
Apa-apaan ini? Suka?! Sukanya perempuan ke laki-laki? Cinta?! Aku sungguh tak habis fikir mengapa Vivi bisa berkata begitu kepadaku.Dia memejam mata seraya berkata, “Vivi enggak mau lagi jadi adik Abang. Vi-vivi ....” Perkataannya terpotong. Tampaknya dia gugup dan ... aku juga heran harus jelaskan bagaimana. Perempuan memang aneh. Kadang sangat sulit bagi kita kaum laki-laki mengartikan setiap sirat yang ditunjukkannya. “Vivi cinta Abang.” Begitulah akhir katanya, dan dia menunduk, kemudian dengan berani mengarahkan tatapannya padaku.‘Cinta?’Aku melongo mendengar apa yang dikatakan Vivi. Cinta katanya?‘Cinta bagaimana maksudnya?’Aku beradu tatap secara serius dengan Vivi. Mata bulatnya seolah tersenyum padaku. Seumur-umur baru kali ini aku melihat tatapan itu. Kenapa tiba-tiba mengatakan kata ‘Cinta'?Bagaimanapun aku berusaha mencoba menerawang lewat pelupuk mat
Aku masih belum bisa memejam mata setelah hari ini dibuat patah oleh dua orang perempuan yang sangat berarti dalam hidupku. Clara, wanita yang baru saja kuyakini jodohku itu akhirnya harus kurelakan demi kebahagiaannya. Lalu ada Vivi, perempuan bau kencur yang selalu kuanggap adik kandung mendadak menyatakan cinta. Dan itu sangat membuatku syok berat.Kubaringkan badan di kasur. Langit-langit kamar kutatap bagaikan layar bioskop itu seolah sedang menampilkan sosok Vivi yang sebelumnya berkata, “Vivi Cinta Abang.”Aku tak habis pikir, seagresif itukah Vivi yang kukenal? Aku mulai takut dengannya. Sungguh. Sebab, bagiku Vivi hanyalah seorang adik, tidak lebih. Lalu, hal yang membebaniku kini semakin besar kala ingat temanku, Fadlan.‘Gimana jelasin ini semua sama Fadlan? Dia mencintai Vivi, lalu Vivi malah bilang cinta padaku. Dan, parahnya, dia bilang itu saat Fadlan memercayakan aku untuk menjaganya. Aku harus gimana?&