Share

6. Kontradiksi

Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir.

"Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.

Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.

Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.

Oh, tentu mereka wajib memanfaatkan peluang lah. Bagaimanapun juga mereka lagi naik daun. Terlebih, di sepanjang tahun kemarin rapor penjualan mereka terbilang gemilang bersama raupan nyaris dua belas juta penonton untuk total empat film yang dirilis—tiga di antaranya box office dan Tama produseri sendiri sedang satu sisanya, pria itu hanya menyandang tanggung jawab sebagai Executive Producer. Di mana, kesemuanya itu benar-benar dijalani Tama dengan penuh jungkir balik.

Serius.

Masih segar kok dalam benak Patricia hari ketika Tama datang bersama wajahnya yang super-keruh akibat gagal memperoleh pendanaan dari investor, atau hari sewaktu kedua netra Tama yang sehitam arang itu seolah berkobar sarat akan semangat gara-gara baru saja berhasil meng-hire salah seorang Sutradara incarannya. Juga, ratusan hari-hari lainnya yang tak kalah kaya akan cerita.

Dan, bagaimana Patricia bisa tau hingga sedetail itu?

Oh, masihkah harus ditanya?

Jelas, sebab Patricia bukanlah Zianne. Sehingga Tama tak harus menyimpan rahasia darinya. Seremeh apa pun itu.

Lalu, yang satu ini mungkin adalah salah satu contoh kecilnya.

"Ada janji ketemuan bareng orang dari BPI, harusnya sih nanti agak sorean, tapi katanya mumpung siang ini dia masih di Palmerah, bentar lagi mau terbang ke Jogja soalnya," beber Tama jujur seperti biasa. Yang mana Patricia sih yakin, yah, kendati pun dengan kalimat tanya serupa, jawaban yang sama belum tentu akan Tama berikan jika pelontarnya merupakan orang lain—sekalipun itu seorang Zianne.

Ah, perlukah Patricia merasa sedikit berbangga diri akan keunggulan yang berhasil diraihnya tersebut?

Sebuah senyum sukses ditelannya bulat-bulat persis saat dia memutuskan untuk berujar tenang, "Ya udah. Gih, berangkat!"

Dua detik Tama seperti tengah dipaksa guna berpikir keras—yang entah apa itu gerangan—sampai-sampai pria itu menyeletukkan sesuatu yang lekas dihalau dengan sempurna oleh Patricia, "Tapi—"

"Nggak mungkin kan kamu serius mau ikut naik?"

Tama mengernyit. Entah dia terkejut, bingung, atau tak setuju. Entahlah, Patricia sedang tak ingin mengira-ngiranya.

Perempuan itu lantas melambai asal ke udara. "Ini VER loh," tuturnya seolah Tama tak tau di mana kiranya mereka tengah berada. "Yang di setiap penjuru gedungnya, teramat tau kalau kamu itu, ya, Argatama. Pasangannya Zianne. Nggak mungkin kan kamu lupa?

"Dan, yakin mau bikin kegaduhan sekarang? Nggak cukup sama kemungkinan kita di sini yang bisa aja lagi ketangkep kamera CCTV?"

"Aku nggak apa-apa," ucap Tama yang sialnya terdengar cukup sungguh-sungguh, "tapi ... kamu?" imbuhnya tak berselang lama.

Patricia lurus-lurus menatap sepasang mata milik Tama yang seandainya dia memaksa untuk ikut larut tak berkedip, layaknya apa yang saat ini sedang Tama lakukan, boleh jadi dialah yang bakal lebih dulu tersesat dalam jeratan pandangan super-intens pria itu.

"Aku ... jelas apa-apa lah." Patricia akhirnya kuasa mengutarakannya selepas mengehela sepenggal napas berat.

"Oke." Pria itu mengangguk—tanpa menyudahi kontak yang ada—mengerti. Mengerti bila apa yang Patricia butuhkan, apa yang Patricia rasakan juga apa yang Patricia pentingkan, kedudukannya terang lebih utama dari apa pun untuk saat ini. "Aku tinggal?" usul Tama setelahnya.

"Sure."

"Aku jemput pulangnya?"

"Nggak usah. Aku bukan anak SD yang  bakal kehilangan arah buat pulang cuma gara-gara nggak ada yang ngejemput."

Tama nyaris saja menerbitkan segaris senyum gelinya demi merespons perkataan konyol Patricia. Namun, toh, nyatanya perempuan itu memang selalunya mampu bertindak lebih gesit guna memupus segala euforia dalam hati Tama—melalui sebuah pembahasan yang terus-menerus sama, khususnya di beberapa waktu belakangan ini—dengan berujar, "Dan, enggak kah kamu pengen biasain diri? Coba deh, sesekali jemput lah Zianne. Apalagi, udah ada calon anak kamu juga loh sekarang!"

Tama berdecak. Entah apa sebenarnya niat Patricia mengkonfrontasinya macam begitu. Yang pasti, Tama tak suka.

"Patricia, enough, oke?" gumam Tama, memperingatkan.

"Oke. Kalau gitu, mau titip salam buat Zianne ... mungkin?"

"Patricia ...?"

"Iya, Tama?" Perempuan itu menelengkan kepalanya ringan dengan sengaja—menggoda.

"Jangan bercanda!"

"Katanya tadi, nggak takut." Kali ini perempuan itu sukses melipat lengannya di bawah dada seakan sibuk menantang.

Dan, Tama memang tertantang. Terbukti detik berselang pria itu lalu menyergah, "Memang nggak."

"Terus?"

"Denger!" Argatama mengambil jeda nyaris lima detik untuk menyetabilkan arus respirasi. "Jika ada yang bikin aku cemas itu cuma satu. Yaitu, kalau gara-gara aku justru kamu lah yang jadi harus kena masalah. Kamu lah yang bakal nanggung banyak luka. Itu yang paling aku khawatirkan. Jadi, berhenti ngomongin soal Zianne dengan cara kayak gini!"

"Cara kayak apa?"

"Cara seolah kamu baik-baik aja. Faktanya, kamu nggak begitu. Berhenti pura-pura! Karena, kamu nggak harus merasakan semua luka-luka itu."

"Terus, siapa yang pantas ngerasain semua itu?" todong Patricia, suaranya sama sekali tak terdengar memburu meski hatinya tiada henti menggebu.

"Zianne?" sebutnya lagi sewaktu Tama hanya diam. "Kamu yakin nanti bisa ngelepas dia walau sekarang kondisinya udah beda?"

Lalu, itu mungkin belum genap satu detik ketika Tama menjawab dalam gumaman, "Iya."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status