Share

7. Promenade Sentimentale.

"Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.

Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.

Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.

Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksudkannya adalah benar Patricia. Namun, yang betul saja, minta foto?

Zianne bahkan tak lagi merasa yakin dengan bagaimana nanti reaksinya apabila langsung dihadapkan dengan sosok Patricia. Seseorang yang telah lebih dari setahun ini, selalu coba diamatinya dari jauh.

Tanpa sadar Zianne malah jadi mengeluarkan sebentuk decakkan resah, yang membuat Usa di sampingnya, semakin gencar guna menuntut, "Tuh, kan! Mbak Ane mau istirahat?"

"Hm? Memang?"

"Mbak Ane pucat." Usa membeberkan. "Mau gandeng lengan saya?" susulnya menawarkan, lengkap dibarengi oleh sorot was-was dari kedua netranya yang kian kental.

Zianne sendiri refleks tersenyum ringan. Selain, dia hendak membuktikan pada Usa soal kondisinya, dia juga kerap merasa lucu.

Em, bagaimana, ya?

Usa itu sudah layaknya adik yang tidak pernah dimilikinya. Gadis itu di waktu-waktu tertentu, bisa berubah menjadi sangat protektif. Jauh. Teramat jauh sekali lebih protektif bahkan jika dibandingkan dengan Sarien. Contohnya, sekarang. Zianne tahu pasti kalau Usa tentu hanya bereaksi berlebihan saja. Seperti biasa saat jiwa Protektornya sedang kumat.

"It's okay, Sa. Saya baik," ujar Zianne menenangkan.

"Tapi, saya takut Mbak nanti limbung. Pucat banget gitu. Atau, mau balik ke atas aja? Biar saya panggilin dokter?"

"Serius. Saya baik." Zianne makin memperlebar tarikkan otot-otot di sekitar bibirnya. "Eh, boleh nggak sih kamu ntar hubungi Pak Yugas? Minta kalau bisa, ketemuannya jangan di Cengkareng, ya?"

Usa mengangguk. "Siap, Mbak. Buat rapat bareng Tim Export mau saya batalkan sekalian?"

"Eh, jangan dong! Kayaknya, mereka ada perkara yang urgent buat dibahas. Nggak apa. Saya cuma pengen ketemuan di dekat-dekat sini supaya bisa sambil mampir ke tempat Bu Rien, kok," jelas Zianne yang lantas kembali diangguki Usa secara patuh.

"Lewat sebelah sini, Mbak." Tak berselang lama, Usa lalu menunjuk sebuah lorong. Membimbing perjalanan dalam jarak sekitar lima meter, Usa kemudian membukakan sebuah pintu kayu jati berpelitur rumit—satu-satunya ruangan berpintu kayu di VER—untuk Zianne.

Dan, tepat pada saat pintu pelan-pelan terdorong, ruangan serba putih di dalam sana pun kian jelas terlihat. Bersamaan dengan itu, seberkas suara mulai berbondong-bondong menyerbu, menyusup ke curamnya lembah telinga Zianne.

Itu ... sungguhan.

Tampak secara nyata. Nun, di depan sana, persis di atas wooden bench, menghadap sebuah grand piano—yang Zianne tahu memang sejak dulu, selalu tersimpan di sana untuk keperluan VER—terduduklah sesosok perempuan.

Rambutnya berkibar halus, mungkin karena terkena embusan blower di sudut ruangan yang dibiarkan menyala. Sedang, sepasang netranya pun memejam ringan. Namun, kesepuluh jemarinya terus bergerak lihai ke kiri dan kanan, sesekali mereka bahkan melayang di udara. Sebelum, kembali cekatan mendarat, menyentuh tuts, merangkai melodi-melodi klasik yang bahkan sanggup to remind you of something going on in your life at the moment.

Jujur. Zianne tidak benar-benar dapat meyakini musik apa kiranya yang tengah Patricia mainkan. Dia buta nada. Akan tetapi, walau dia tidaklah mengerti apakah itu an alto third, deep bass atau bahkan mezzo-soprano. Namun, Zianne tahu bahwa ada keindahan yang terpancar dari musik yang sedang Patricia pertontonkan.

Itu ... boleh jadi sudah nyaris satu menit lewat. Sewaktu nada-nada halus yang Patricia ciptakan mendadak berubah menjadi sedikit memburu dengan nada-nada yang seperti patah-patah di setiap ujungnya.

Mendengarnya, Zianne bahkan sampai dibuatnya terpaku. Angannya seolah terlempar begitu saja ke sebuah hari, di mana dirinya masih berusia lima tahunan.

Di kediamannya yang luar biasa megah. Pada kawasan taman di belakang rumahnya yang mungkin hampir setara luasnya dengan setengah lebar lapangan sepak bola. Di balik rimbunnya dedaunan juga warna-warni bunga. Ada sebuah ayunan kayu. Zianne tak terlalu ingat siapa gerangan yang membuatnya dan menaruhnya di sana. Tapi, dia masih sangat ingat jika dia memang pernah duduk di atasnya.

Tidak sendiri. Dulu, di kiri serta kanannya hadir pula sosok Ibu pun Ayahnya. Mereka bersama-sama mendorong ayunan yang Zianne duduki hingga terayun dengan tinggi, membuat Zianne sontak tertawa-tawa kencang. Sesekali tawa itu bahkan mampu membubarkan kawanan burung-burung gereja yang kerap sengaja hinggap di dahan-dahan.

Serta, itu bisa dibilang merupakan salah satu akhir pekan terbaik dalam perjalanan hidup Zianne yang sampai hari ini, Zianne masih percaya bakal sulit untuk dapat tergerus atau pun tertandingi oleh momen-momen lain.

Kemudian, ketika melodi-melodi Patricia mulai terdengar sayup-sayup saja, saat itulah Zianne seperti bisa menangkap kembali gambar senyum rekah milik Ayah dan Ibunya. Senyum yang terakhir diulas—yang saking lamanya sudah tak pernah Zianne saksikan, kadang ia jadi lupa seperti apa wujud persisnya—bersama sebuah pesan, bahwa Zianne haruslah hidup sesuai dengan apa yang Zianne inginkan.

Lalu, benarkah hidup seperti ini yang sungguh Zianne inginkan?

Hidup di mana di depan matanya, kini Patricia sudah tertangkap berdiri. Jaraknya mungkin dua langkah saja dari arahnya.

Zianne belum mempersiapkan diri. Dia juga belum tahu harus memajang raut macam apa pada permukaan wajahnya. Namun, perempuan di hadapannya justru keburu menyodorkan sebelah telapak tangannya ke sisi Zianne.

"Patricia," sebutnya kemudian, lengkap bersama selukis senyum di bibir.

Zianne tak otomatis menyambut. Dia malah larut untuk termangu memerhatikan tangan itu, sepersekian detik.

Tangan itu ....

Yah. Tangan itu adalah tangan yang sama dengan tangan yang bukan sekali-dua kali saja acap dilihatnya berada dalam genggaman erat Tama. Sesuatu yang hingga detik ini, nyaris tak pernah tangan Zianne rasakan.

Tangan itu juga adalah tangan yang sering kali digunakan untuk menyisir surai Tama. Sesuatu yang Zianne bahkan tak ingat, pernahkah dia melakukannya secara sadar pada Tama?

Tangan itu pun adalah tangan yang tak pernah lupa untuk Tama simpan di atas dadanya, dikecupinya dengan berjuta perasaan. Sesuatu yang Zianne bahkan tak berani untuk coba-coba membayangkan seperti apa rasanya.

Zianne sontak melepaskan keterguguannya, tentu bersama segala bayang-bayang sosok Tama dan patricia yang seakan begitu saja pecah berhamburan bagai kaca dalam benaknya.

Mengangkat pandangan, dia tataplah lurus-lurus sosok Patricia.

Tinggi mereka tak terpaut terlalu jauh. Zianne mungkin unggul satu-dua sentian. Surainya hitam legam, jatuh membentuk tirai dengan sempurna hingga sebatas pinggulnya yang ramping.

Dia cantik. Mata pun hati Argatama memang jeli.

Pelan-pelan menjulurkan tangan, Zianne lantas merangkum jari-jari Patricia menggunakan jari-jemarinya. Mereka saling bersalaman—bersentuhan untuk pertama kalinya—tak lama, bibir Zianne berujar, "Salam kenal."

Sayangnya, gejolak itu tiba-tiba datang menyerang. Zianne tak kuasa menahannya. Dan, Zianne tahu bersamaan dengan itu, dia baru saja sukses menabuh genderang perang pada Patricia.

Oh, apakah itu hidup yang diinginkannya—atau, malah oleh calon buah hatinya?

Entahlah.

***

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status