Share

ZORA Pupus Sebelum Mekar
ZORA Pupus Sebelum Mekar
Penulis: Binar Kekasih

Pupus Sebelum Mekar

Bab.1 Pupus Sebelum Mekar

 

“Bayi kita butuh ASI dari ibunya. Aku mohon.” Ryan menggendong bayi perempuan mereka dalam buaian. Untuk ke sekian kali ia meminta.

Nisa masih terbaring di atas brankar. Ketika Ryan menaruh bayi itu di sampingnya, Nisa memalingkan wajah ke dinding. Rasanya tidak sudi melihat bayi mungil itu.

Dia tidak pernah menginginkan bayi itu lahir. Bahkan jika bisa, dia ingin bayi itu tiada sejak dalam kandungan. Namun segala upaya yang dilakukan, tak ada yang berhasil. Janin itu malah tumbuh subur di rahimnya.

“Nis, kamu ibunya. Tolong, berikan dia ASI,” bujuk Ryan sembari mengelus pipi bayi perempuan yang cantik itu.

“Sekali aku bilang enggak. Itu berarti enggak,” tolak Nisa.

“Dia butuh kamu, ibunya.”

“Tapi aku enggak butuh dia. Aku enggak pernah ingin dia hadir di hidupku.”

“Kamu boleh membenciku, tapi tidak dengan Zohrah.”

Nisa menoleh. Sudut bibirnya terangkat. Bahkan nama bayinya saja, dia baru tahu detik itu. Delapan belas jam sudah bayi perempuan itu lahir di dunia. Hadir di tengah-tengah pernikahan yang tak pernah diinginkan sebelumnya.

“Kenapa? Kamu lupa siapa nama bayi kita?” Ryan bertanya setengah mengejek.

“Kapan kamu kasih tahu nama bayi ini sama aku?” Nisa bangun. Duduk di samping bayi itu.

Ryan mengepalkan tangan. Sejak awal kelahiran bayi itu, dia sudah memberi tahu pada Nisa. Benar, mungkin rasa benci telah menutupi hati istrinya. Hingga mudah bagi wanita berparas cantik itu melupakan nama bayi mereka.

Zohrah Kirana nama yang diberikan Ryan untuk bayi perempuan itu. Cahaya dari Venus begitulah kira-kira artinya. Ryan ingin kelak bayi itu menjadi penerang, pembuka jalan untuk hubungannya dengan Nisa.

Memberi terang kala senja membayang. Memancarkan cahaya kala malam menjemput. Serta menjadi pelita ketika badan tertimbun tanah.

“Zohrah Kirana. Jangan lupa nama itu!” Ryan menatap lekat ke dalam manik mata Nisa. “Zohrah. Planet Venus. Bintang kejora, kesukaan kamu.”

Mata itu berembun. Dengan gerakan cepat, tangan Nisa menghapusnya. Pandangannya beralih pada sosok tubuh mungil di sampingnya. Mengelus lembut dan penuh perasaan setiap bagian tubuh bayinya.

Bohong, jika dia bilang tidak mencintai bayi itu. Bagaimana pun Zohrah terlahir dalam keadaan suci. Meskipun kehadirannya karena kekhilafan antara dua insan yang tengah terbuai rayuan dosa.

“Kamu bisa kasih dia susu formula,” saran Nisa. Walau bajunya basah karena ASI yang terus keluar, dia tetap tidak ingin memberikan pada Zohrah. Setetes pun tidak.

“Tidak. Susu terbaik untuknya adalah ASI dari kamu, Nis.”

Nisa menggeleng cepat. Mereka sudah sepakat akan berpisah setelah Nisa melahirkan. Lagi pula, pernikahan yang dijalani juga tidak atas dasar cinta. Jika sampai memberikan ASI, mungkin dia akan terikat selamanya dengan bayi itu. Dan dengan Ryan pastinya.

“Aku akan balik ke Jogjakarta dalam waktu dekat.” Nisa mengangkat tubuh mungil Zohrah. Menyerahkan lagi pada Ryan.

“Tunggu sampai masa nifas kamu selesai. Bertahanlah sebentar lagi. Demi Zohrah. Mau kan?”

“Enggak.” Nisa menolak. “Bilang saja sama anak kamu, ibunya sudah tiada.”

“Sebentar saja. Perbaiki hubungan kita. Perbaiki pernikahan kita.”

“Dari awal hubungan kita sudah salah. Apa yang harus diperbaiki?”

Sejak masuk fakultas yang sama dan bertemu secara tidak sengaja. Keduanya menjadi dekat. Mereka menasbihkan hubungan yang terjalin dengan nama persahabatan.

“Harusnya kita enggak pergi malam itu,” sesal Nisa. Pikirannya terbang pada kejadian ulang tahun Ryan sembilan bulan yang lalu. Mereka merayakan di Puncak bersama teman-teman satu geng.

“Jangan menyesali apa yang sudah terjadi.”

Haruskah dia tidak menyesal setelah menyerahkan diri kepada Ryan? Bujuk rayu nan syahdu terlalu memabukkan pada malam dingin itu. Tunduk pada jebakan yang membuatnya tersungkur dalam limbah kenistaan. Ketika iman tak kuasa menahan gejolak yang membuncah, akhirnya lepas sudah mahkota itu. Yang dijaga sepanjang waktu, untuk suaminya kelak.

“Kamu enggak nyesal membuat hubungan kita jadi begini? Dulu kita dekat, sangat dekat, Ryan. Tapi kamu hancurin persahabatan kita.”

“Berapa kali aku harus minta maaf?”

“Enggak perlu. Sudah cukup permintaan maaf kamu. Aku bosan.”

“Kamu membenciku?”

“Aku benci dengan keadaan kita. Tujuh bulan kita tinggal satu atap. Tapi kita bagai dua orang asing. Aku benci dengan kehamilan aku. Aku benci dengan bayi kita.” Nisa meniupkan udara kering ke matanya yang berair. Berharap agar genangan itu tak turun membelah pipi. Namun percuma, air mata luruh sudah dan menganak sungai.

Ryan tak kalah menyesal. Selama ini dia menghindar karena merasa bersalah. Sengaja tak mengacuhkan Nisa, agar wanita itu membencinya. Berharap Nisa bisa kembali pada tunangannya yang sedang meraih pendidikan di Singapura.

“Maaf sudah membuat masa depan kamu hancur,” sesal Ryan. Dielus lembut puncak kepala Nisa.

“Kamu tahu masa depan aku apa?” Nisa menangkis tangan Ryan.

“Agung. Menikah dengan pria itu adalah impian kamu. Kalian akan punya anak-anak yang lucu. Yang terlahir karena memang diinginkan oleh kedua orang tua mereka.” Ryan mencium pipi Zohrah dalam gendongannya. “Maafkan Papa ya, Nak.”

“Ya benar! Tepat sekali. Masa depanku adalah Agung. Oleh sebab itu, kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan?” Nisa menunjuk ke arah pintu, “pintu keluar di sana, Yan.”

Sakit Nisa harus berdusta. Dia menginginkan Ryan dan Zohrah di masa depannya. Namun bersama dengan mereka pasti akan menyakiti banyak orang. Agung, orang tuanya dan orang tua Agung.

Bimbang harus memilih di antara dua pilihan yang sulit itu. Dia hamil dan menikah dengan Ryan juga tanpa sepengetahuan Agung. Maka kembali pada Agung mungkin jalan terakhir untuknya, jika pria itu bersedia.

“Oke. Pergi saja kamu ke Agung. Pergi saja ke masa depan kamu. Lupakan kami. Jangan kembali. Dan jangan pernah mencari kami kalau Agung pergi dari kamu.”

Ryan meninggalkan Nisa sendirian ruang rawat inap rumah sakit khusus ibu dan anak. Dia tidak mampu mengatakan itu. Dalam hati, dia menginginkan Nisa menjadi masa depannya. Membangun rumah tangga harmonis bersama  sahabat sekaligus cintanya.

Benar bahwasanya cinta telah hadir sejak awal perjumpaan. Namun semua sudah terlambat. Ryan menyesal tidak menyatakan sejak dulu. Kini layu sudah bunga di tangan.

Pupus sebelum mekar.

♧♧♧

Ryan memandangi Zohrah dari luar ruang. Melalui dinding kaca dia bisa melihat bayi perempuan itu tertidur. Sembilan belas jam sudah bayi itu lahir. Dan selama itu pula, Nisa belum bersedia memberikan ASI untuk Zohrah.

Tidak mau bayinya diberi susu formula. Maka jalan satu-satunya yang Ryan tempuh adalah mencari Ibu susu untuk Zohrah. Meski harus membayar mahal pun tak masalah. Dia masih punya tabungan yang cukup untuk membayar Ibu susu selama enam bulan.

“Permisi Ibu,” kata Ryan pada salah seorang wanita di salah satu ruang rawat inap. “Ibu punya bayi? Apakah ibu bersedia membagi ASI ibu untuk bayi saya?”

“ASI saya belum keluar.”

Dari satu wanita ke wanita lain Ryan bertanya. Tidak ada satu pun yang bersedia menolong. Bukan, bukan tidak bersedia. Mereka yang Ryan temui punya alasan yang logis.

ASI belum keluar sampai alasan punya bayi kembar. Tidak diizinkan suami sampai tempat tinggalnya jauh dari rumah Ryan. Dan sederet alasan lain.

Putus asa, Ryan kembali ke depan ruang bayi. Di sana dia menjumpai seorang ibu muda yang sedang menangis di depan dinding kaca.

Berjalan mendekat, Ryan berdiri di samping tubuh kurus itu. Memandangnya sekilas lalu sama-sama menatap ke dalam ruang bayi.

“Kamu kenapa menangis?” tanya Ryan. Di yakin usia wanita itu lebih muda dari Nisa. Hanya saja wajahnya terlihat sendu. Seperti tengah menyimpan kesedihan.

“Saya harus meninggalkan bayi saya di rumah sakit karena belum bisa membayar biaya persalinan.”

“Saya bisa membantu kamu. Asal kamu mau membagi ASI untuk bayi saya.”

♧♧♧

 

next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status