Selepas menandatangani dokumen, saatnya kami meminta restu pada orang tua kedua belah pihak. Orang tuaku berderai air mata, menyaksikan putrinya melepas masa lajang. Entah terharu atau sedih karena harus merelakan putri kesayangannya menjadi istri kedua. Mungkin juga malu pada para kerabat.
“Maafkan aku, Bu, Yah, aku telah membuat kalian malu,” ujarku sambil bersimpuh di hadapannya.
“Tidak, Za! Kamu tetap putri kebanggaan Ayah dan Ibu. Iya ‘kan, Bu?” Ayah melempar pertanyaan.
“Benar, apa pun keadaanmu, kami selalu bangga padamu, Zahira. Tetaplah tegak, tetaplah menjadi Zahira kami yang selalu tangguh. Ikhlaskan hatimu dan niatkan pernikahan ini untuk mencari rida ilahi. Lapangkan hatimu dan berusahalah menerima kalau Farhan bukan milikmu satu-satunya. Anak Ibu hebat, berani menyetujui pernikahan ini, berarti berani menanggung segala risikonya. Ibu percaya padamu, Za,” timpal ibu yang seketika membuatku terharu.
Ah, ibu, kata-katamu membuat air mata ini kembali luruh. Untung saja riasan yang kupakai ini waterproof, sehingga tidak mudah rusak. Aku tidak siap untuk lebih malu lagi hanya gara-gara eyeliner dan mascara yang luntur atau dempul yang longsor. Bisa-bisa aku benar viral dan jadi FYP di mana-mana. Malu.
“Farhan, titip Zahira! Jangan sakiti dia. Kalau kamu tidak sanggup lagi bersikap adil, membahagiakan, serta membuatnya nyaman, kembalikan saja pada Ayah, kami tidak akan menyalahkanmu,” pesan pria paruh baya itu kala Farhan bergantian bersimpuh di hadapannya.
Astaga ayah, naif sekali kalimatmu. Bahkan sekarang pun aku sudah tidak bahagia apalagi nyaman. Bolehkah aku langsung pulang saja ke pangkuanmu?
Aku rindu menjadi putri kecilmu yang selalu dielus rambutnya dan senantiasa membuatku tertawa, sementara jika bersama budak cinta istri pertama ini, tensi darahku mungkin akan dengan mudah naik.
Baiklah, aku akan mengonsumsi mentimun, semangka, serta kubis banyak-banyak mulai hari ini. Aku belum ingin mati muda.
“Insya Allah aku akan membahagiakan Ira, Bu, Yah! Maaf jika akhirnya harus seperti ini. Mohon doa restunya dan jangan ragu mengingatkanku jika aku mulai melenceng,” ungkap Farhan yang diiyakan begitu saja oleh ayah dan ibu.
Selesai dengan orang tuaku, kami berpindah pada mama papa Farhan. Dulu, dulu sekali kami sempat dekat saat aku dan Farhan masih menjadi sepasang kekasih. Bahkan saat itu pun aku sudah memanggil mereka mama dan papa.
Namun, hubungan itu ikut menjadi renggang setelah kami putus. Kini, entah apa yang mereka pikirkan setelah aku menjadi menantunya dengan cara yang sangat tidak wajar.
“Ma, Pa, kami mohon restu kalian, supaya bisa menjalani rumah tangga ini sebaik-baiknya. Maaf jika caranya tidak seperti yang Mama dan Papa harapkan,” ungkap Farhan di hadapan mama, sementara aku? Hanya bergeming, tak tahu harus berkata apa?
“Bagi waktumu dengan adil, jangan lupakan Nayla!” Peringat mama terdengar datar.
Jelas kulihat raut keberatan dari wajah paruh bayanya, begitu juga papa. Sungguh nikmat bukan nasibku kini? Hanya karena tak sengaja mengonsumsi segelas minuman laknat, duniaku harus jungkir balik seperti ini.
Tenang saja, Ma, putramu tak akan melupakan istri pertamanya. Justru akulah yang akan menjadi manekin dan mainan mereka.
“Maafkan aku, Ma, Pa,” ujarku masih menggunakan panggilan yang sama seperti dulu. Lagi pula, sekarang mereka benar-benar menjadi mertuaku, bukan?
“Kenapa dulu harus pergi kalau akhirnya Kamu malah menjadi orang ketiga?” sahut mama lirih serta sinis, sementara papa bungkam dan memilih membuang pandangan dariku.
Tak ada sambutan baik untukku. Menantu baru yang mungkin mereka anggap sebagai rayap yang menggerogoti keutuhan rumah tangga putra dan menantu kesayangannya. Jadi, seperti ini rasanya menjadi istri tak diinginkan serta menantu yang diabaikan. Istimewa.
Tak apa. Ini hanya sementara. Semoga tak sampai satu tahun, misi ini sudah bisa kuselesaikan dan ketika saat itu tiba, aku akan menghilang dari hidup mereka.
---o0o---
Tak ada pesta atau resepsi yang diadakan, hanya makan-makan antar kerabat terdekat saja yang diadakan di rumahku. Bahkan keluarga Farhan juga langsung pulang setelah ijab kabul dan foto keluarga.
“Walaupun tidak meriah, tapi terasa sekali sakralnya ya, Bu, Yah,” ujar Nayla yang ikut tinggal.
Wanita itu ikut-ikutan memanggil orang tuaku dengan ibu dan ayah. Sikapnya pun begitu santai, seolah tangisan selama menyaksikan ijab kabul tadi tak pernah terjadi.
Ayah dan ibu hanya bergeming dengan senyum kecil menghiasi wajah. Mereka pun masih bingung bagaimana harus bersikap pada istri pertama menantunya tersebut. Aku hanya bersyukur karena tak terjadi keributan di sini.
“Gimana, Mbak? Sudah siap? Kita pulang sekarang saja sebelum terlalu malam, ya?” ajak Nayla kemudian.
“Dek, apa gak mendingan menginap dulu semalam di sini? Ira juga mungkin masih ingin dekat sama keluarganya,” timpal Farhan mencegah. Sok perhatian sekali pria itu. Sayangnya kini dia suamiku.
“Di sini? Ramai begini?” Nayla mengangkat sebelah alisnya. “Yakin kita bakalan nyaman?”
Satu hal yang kini kupahami dari karakter Nayla adalah dia tipe perempuan alfa yang suka mendominasi. Kata-katanya tak boleh dibantah, harus dituruti. Keinginannya harus tercapai, bagaimanapun caranya. Bahkan jika cara itu akan menyakiti orang lain, seperti saat ini.
Tak mampu membantah, malam itu pula aku diboyong Farhan menuju rumah mereka. Kami akan tinggal bertiga dalam satu atap sesuai perjanjian. Hanya satu doaku, semoga aku tetap kuat menghadapi apa pun yang terjadi di depan nanti.
Sebelumnya mereka telah melapor pada ketua RT setempat, sehingga kehadiranku di rumah itu tak menjadi pertanyaan. Meski tetap saja pandangan miring itu masih ada, bahkan kami terutama aku akan menjadi topik utama pergunjingan ibu-ibu di kompleks ini.
Saatnya melatih telinga dan muka supaya lebih tebal, demi kebahagiaan dan kenyamananku sendiri.
“Kamar Mbak di sini, kami di sebelah,” ujar Nayla menunjukkan ruangan berpintu coklat.
“Oke,” sahutku tanpa banyak basa-basi atau bertanya macam-macam, bahkan kuabaikan suami dan maduku itu.
“Semoga betah ya, Mbak! Anggap seperti rumah sendiri,” ujar Nayla dari ambang pintu yang kuabaikan.
Kudorong koper berukuran dua puluh empat inci berwarna hijau itu masuk ke dalam. Kamar ini tak besar, hanya tiga kali empat meter, tetapi sudah dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Keberadaan kasur single selebar seratus dua puluh senti itu cukup membuat lengang.
Tak sebesar kasurku di rumah, tetapi mungkin Nayla memiliki maksud tersendiri dengan memberiku kasur kecil. Apalagi jika bukan menegaskan supaya Farhan tidak tidur di sini? Aku tak akan lupa larangannya yang tak mengizinkan suaminya itu tidur dengan istri keduanya.
Sungguh, aku tidak keberatan. Terima kasih, karena aku juga enggan menyerahkan diriku setelah Farhan mereguk madu dengannya, atau sebaliknya. Membayangkannya saja sudah membuatku mual, meski aku tahu jika perasaan itu tak seharusnya ada di saat status kami telah berubah menjadi istri-istri Farhan.
“Alhamdulillah, selesai juga. Waktunya istirahat,” gumamku.
Jarum jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku selesai memindahkan barangku ke lemari. Makanan yang ibu bawakan juga sudah kuletakkan di dalam kulkas.
Setelah mencuci muka dan memakai skincare supaya wajah ini gak buluk-buluk amat dan lebih enak dilihat, aku bersiap untuk tidur. Menikmati malam pertama pernikahan tak diinginkan seorang diri. Indah sekali.
“Akh, Mas!”
Baru saja kujatuhkan tubuh di atas ranjang, merebahkan diri setelah semua ritual selesai dilakukan, sayup-sayup telingaku mendengar suara merdu dari kamar sebelah.
“Astaghfirullah haladzim.”
Kuhela napas kasar saat suara pertempuran pasangan suami istri itu semakin terdengar kencang, seperti ada mikrofon saja di kamar mereka. Malam pertamaku semakin indah, bukan?
Kusibak selimut yang sudah setengah menutupi kaki. Alunan merdu suara surga dari kamar sebelah terus mengiringi saat kubuka tas sembari mencari earphone. Bukan aku cemburu atau merasa tersakiti oleh suara-suara itu, aku hanya muak. Nayla seolah tengah memamerkan serta menegaskan bahwa Farhan memang hanya miliknya.
Earphone telah terpasang, begitu juga podcast acak mulai melantun indah di telinga. Kembali aku merebah di atas ranjang, menarik selimut setinggi-tingginya hingga menutup kepala, meringkuk memeluk guling yang terasa hangat.
Selamat malam kawan! Kuharap mimpiku lebih indah dari kenyataan.
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak