Share

Hari Baru

Kelopak mata ini mengerjap saat sayup-sayup terdengar suara azan dari surau terdekat. Kukumpulkan semua kesadaran sebelum beranjak dari atas ranjang. Namun, bibirku lekas mencebik sesaat setelah earphone yang terpasang di telinga terlepas. Suara aiueo manja dari kamar sebelah masih terdengar.

 “Apa mereka tidak tidur sepanjang malam? Hebat sekali,” cibirku seraya menyibak selimut dan beranjak.

 Aku tak peduli meski mereka melakukan hal itu sepanjang malam, sepanjang hari, atau kapan pun dan di mana pun selama mataku tak terkontaminasi. Saat ini, kewajiban dua rakaatku lebih utama. Hanya saja, supaya ibadah tidak terganggu, lebih baik aku menunggu mereka selesai sembari membersihkan diri. Syukurlah kamar mandi ini memiliki water heater, sehingga aku tak perlu menggigil kedinginan.

 Dua puluh menit kemudian, aku kembali masuk ke dalam kamar. Tepat seperti dugaan, suara pertempuran Subuh itu sudah tak lagi terdengar. Segera kuambil mukena serta sajadah dan memulai ibadah pagi ini tanpa memedulikan apa pun. 

 Sekitar pukul enam pagi, aku keluar kamar dengan pakaian yang telah rapi. Blouse sifon dengan aksen pita berwarna merah muda yang dipadukan celana panjang hitam membuatku terlihat segar. Setidaknya pakaian ini cukup menolong wajahku yang pas-pasan dan hanya terpoles riasan tipis.

 Rumah masih begitu sepi, belum ada yang keluar. Kuletakkan tas kantor di atas meja makan lalu membuka lemari es. Makanan yang semalam ibu bawakan masih sangat layak, hanya perlu dihangatkan untuk sarapan.

 Beberapa menit setelah menikmati makanan, barulah kudengar ada aktivitas orang lain di rumah bertipe enam puluh ini. Suami dan maduku keluar kamar bersamaan. Tampak Nayla menyisir rambut basahnya dengan jari, sementara Farhan menyunggingkan senyum padaku sembari mengucapkan selamat pagi. Aku kembali menunduk, menikmati sarapan tanpa membalas sapaan itu.

 “Sarapan apa?” tanya Farhan sembari menarik kursi di seberang yang segera diduduki Nayla. Pria itu kemudian duduk di sebelahnya.

 “Kamu bisa lihat sendiri,” jawabku tanpa menatap.

 “Ya ampun, Mbak, bukannya itu makanan kemarin? Kenapa masih dimakan?” pekik Nayla terkesiap setelah memastikan isi piringku.

 “Masih enak,” sahutku tak acuh.

 “Yang benar saja?” wanita itu berdecak seraya beranjak. “Tunggu sebentar, Mas, aku masakin. Kamu jangan makan itu! Lagian Mbak Zahira apa gak kepikiran kalau Mas Farhan gak suka makanan yang sudah menginap? Harusnya sebagai istri peka, dong, masakin juga buat suaminya.”

 Kuputar bola mataku malas. Bergeming enggan menanggapi. Memangnya aku tahu bagaimana kebiasaan mereka?

 “Sudahlah, Dek, Ira ‘kan baru hari ini sarapan bersama kita, dia belum tahu,” timpal Farhan memberikan pembelaan yang tak kuperlukan.

 “Oh, ya? Waktu kalian pacaran dulu memangnya Mbak Zahira gak pernah Mas kasih tahu? Atau memang Mbak saja yang tidak peduli?” cecar wanita itu sembari memecahkan telur ke dalam mangkuk.

 “Kenapa malah bahas waktu kami pacaran?” tanya Farhan dengan dahi terlipat.

 Asyik, pertunjukan opera sabun gratis pagi-pagi.

 “Lah, ‘kan memang bener. Kalian dulu pacaran lama memangnya gak pernah saling bahas kebiasaan dan kesukaan masing-masing?” Nayla balik bertanya.

 “Jangan bahas ini lagi! Semua sudah masa lalu,” Farhan enggan menanggapi.

 Sarapanku telah tandas. Tanpa basa-basi kuangkat alat makan dan membawanya ke wastafel. Sudah biasa setelah makan langsung mencuci alat makan sendiri. Begitulah budaya yang diterapkan oleh keluargaku.

 “Loh, Mbak? Kok udah aja? Kami ‘kan belum mulai,” protes Nayla sambil membuka microwave. Nasi instan mereka telah matang.

 “Lalu aku harus menunggu kalian?” tanyaku yang sedang menjadi seorang DJ. “Maaf, tidak bisa! Rumah ini jauh dari kantor, aku bisa terlambat kalau harus menunggu kalian.”

 “Kamu sudah mau masuk kerja, Ra?” tanya Farhan menyahut.

 “Tidak ada alasan aku harus libur ‘kan?” kubalik pertanyaannya.

 Kudengar Nayla berdecak seraya membawa sarapan sederhananya ke meja makan, menghidangkan untuk Farhan dan dirinya sendiri. Entah apa masalahnya sampai memberikan tatapan kurang enak itu.

 Kuambil tas kerjaku lalu meninggalkan sejoli itu. Sayangnya, langkah ini harus terhenti saat Farhan mencekal lenganku. Kutatap matanya yang juga menatapku tajam dengan pandangan heran.

 “Apa lagi?” tanyaku.

 “Tunggulah sebentar, kuantarkan ke kantor,” ujar Farhan meminta.

 “Tidak bisa, hari ini kita mau ke dokter ‘kan, Mas?” cegah Nayla yang menatap tajam genggaman tangan Farhan pada pergelangan tanganku.

 Tak ingin menambah masalah, segera kulepaskan cengkeraman yang ternyata tak mudah dilepas itu. Tatapan Farhan masih lekat padaku. Mungkin benar jika aku tidak peka, karena aku sama sekali tak bisa membaca maksud dari tatapan itu.

 “Tuh, kalian punya agenda yang lebih penting ‘kan? Segera realisasikan rencana kalian supaya aku juga bisa segera bebas!” seruku setelah berhasil melepaskan tangan Farhan. “ Kalau begitu aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”

 “Waalaikumsalam,” sahut keduanya berbarengan.

 Hari baru yang terasa sama saja ini resmi dimulai setelah diawali dengan menonton opera sabun secara langsung. Ini baru hari pertama, entah warna-warni apa lagi yang akan kusaksikan ke depannya.

 Sekitar dua jam berdesakan di transportasi umum hingga diantarkan ojek online, akhirnya sampai juga di kantor. Bukan tak memiliki kendaraan pribadi, aku punya sebuah mobil yang hampir tak pernah kugunakan untuk bekerja. Siapa pun tahu betapa macetnya ibukota di jam sibuk, sehingga kendaraan umum massal seperti TJ, KRL atau MRT lebih kusukai. Tak masalah berjubel dengan pekerja lainnya, paling tidak aku terhindar dari stressnya kemacetan jalanan.

 Sejak belum lulus kuliah, aku sudah bekerja di sini, perusahaan periklanan dan sudah bekerjasama dengan banyak brand baik yang berskala kecil maupun besar. Termasuk perusahaan kosmetik tempat Farhan mengais rupiah. 

 Awalnya aku hanya anak magang, lalu performaku diakui atasan hingga ditawari menjadi pegawai kontrak. Tentu aku tak melewatkan kesempatan di saat mendapat pekerjaan sudah begitu sulit.

 Pagi ini, entah kenapa kantor terasa begitu menyenangkan. Langkahku bahkan begitu ringan untuk menuju kubikel. Jabatanku saat ini adalah seorang senior digital strategist atau istilah awamnya adalah orang yang membuat strategi iklan di dunia maya, termasuk sosial media. Aku menyukai pekerjaan ini.

 “Mbak Za, dipanggil bu Shasa ke ruangannya,” ujar salah satu rekan saat aku tengah fokus dengan pekerjaan.

 “Ada apa?” tanyaku.

 “Gak tahu, langsung ke sana aja!”

 Tanpa babibu, kusimpan lembar kerjaku lalu bergegas menghampiri manager divisi kreatif. Bu Shasa adalah orang yang membimbingku sejak pertama kali bergabung dengan perusahaan ini, sehingga aku sangat menghormatinya. Jasanya begitu besar dalam perjalanan karirku.

 “Bu Shasa memanggil saya?” tanyaku begitu dipersilakan masuk ke ruangan khusus direksi tersebut.

 “Eh, Za, sini duduk dulu!” perintah bu Shasa sambil menunjuk kursi dibalik meja kerja.

 Di kantor ini aku memang lebih dikenal engan panggil Za daripada Zahira apalagi Ira. Katanya lebih singkat dan mudah dihafal. Terserah sajalah, asal tidak memanggilku madu atau pelakor, tak masalah.

 Ah, kenapa tiba-tiba malah teringat akan hal itu? Menyebalkan. 

 “Gimana kabar pagi ini?” tanya wanita berusia empat puluhan itu memulai.

 “Secerah matahari pagi, Bu,” selorohku yang disambut kekehan atasanku itu.

 “Kelihatan sih memang,” sambutnya. “Ya begitulah kalau pengantin baru. Iya ‘kan?”

 Senyumku luntur. Dari mana bu Shasa tahu aku baru saja menikah? Padahal tak satu pun rekan kantor yang kuundang pada acara kemarin, diberitahu pun tidak. Mana mungkin aku mau mengundang, kalau akhirnya malah akan membuatku malu sendiri?

 “Kamu mah gitu, nikah diem-diem, gak mau ngundang. Untung Farhan ngabarin saya,” lanjutnya yang sekali lagi membuatku terkesiap. “Tapi maaf banget kemarin gak bisa datang, anak lagi demam.”

 Kuulas senyum terpaksa untuk menghiasi bibir tebal ini. Justru aku senang jika bu Shasa berhalangan hadir. Lagi pula, kenapa Farhan harus memberitahu bu Shasa? Memangnya dia tidak malu? Ah, mungkin laki-laki itu justru bangga bisa memiliki dua istri, meskipun yang satu tak boleh dan tak bersedia dijamah.

 “Dan ngomong-ngomong soal suamimu,” bu Shasa menjeda kalimat dan memberikan map biru padaku.

 “Apa ini, Bu?” tanyaku sembari membuka map tersebut.

 “Akhirnya saya tahu kenapa kamu memilih mundur dari proyek ini. Karena mau menikah dengan Farhan, jadi kamu takut tidak profesional saat mengerjakannya. Begitu ‘kan? Saya memaklumi, Za, tapi saya juga tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Kembalilah menjadi penanggung jawab proyek iklan Glazed Grup!”

 “Tapi, Bu,” segera kulayangkan protes tanpa menunggu nanti-nanti.

 “Karena ada Farhan?” tanya bu Shasa yang segera kuangguki. “Kenapa? Bukannya malah lebih enak kerjasamanya kalau bareng suami? Di rumah pun bisa saling diskusi ‘kan? Ambillah, Za, toh suamimu sendiri yang minta saya bujukin kamu.”

 “Farhan yang minta?” tanyaku tak percaya.

 “Ya. Katanya kamu terlalu profesional sampai susah dibujuk, makanya minta bantuan saya,” kekeh bu Shasa. “Enak loh kerja sama suami. Apa lagi nanti kalian juga bisa sering-sering tugas bareng ke luar kota. Kamu bisa ada yang jagain, sekaligus liburan juga. Paket hemat.”

 Justru itu yang kuhindari, Bu Shasa! Aku sudah berjanji pada Nayla untuk tidak berhubungan dengan Farhan kecuali mengenai proyek bayi tabung mereka. Lagi pula, apa-apaan Farhan memintaku kembali menangani proyek ini tanpa bicara terlebih dahulu? Menyebalkan. Sayangnya pria menyebalkan itu adalah suamiku.

"Jadi gimana? Ambil proyek ini lagi ya, Za?” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status