Share

Hari Baru

Author: atavya
last update Last Updated: 2023-01-16 16:56:42

Kelopak mata ini mengerjap saat sayup-sayup terdengar suara azan dari surau terdekat. Kukumpulkan semua kesadaran sebelum beranjak dari atas ranjang. Namun, bibirku lekas mencebik sesaat setelah earphone yang terpasang di telinga terlepas. Suara aiueo manja dari kamar sebelah masih terdengar.

 “Apa mereka tidak tidur sepanjang malam? Hebat sekali,” cibirku seraya menyibak selimut dan beranjak.

 Aku tak peduli meski mereka melakukan hal itu sepanjang malam, sepanjang hari, atau kapan pun dan di mana pun selama mataku tak terkontaminasi. Saat ini, kewajiban dua rakaatku lebih utama. Hanya saja, supaya ibadah tidak terganggu, lebih baik aku menunggu mereka selesai sembari membersihkan diri. Syukurlah kamar mandi ini memiliki water heater, sehingga aku tak perlu menggigil kedinginan.

 Dua puluh menit kemudian, aku kembali masuk ke dalam kamar. Tepat seperti dugaan, suara pertempuran Subuh itu sudah tak lagi terdengar. Segera kuambil mukena serta sajadah dan memulai ibadah pagi ini tanpa memedulikan apa pun. 

 Sekitar pukul enam pagi, aku keluar kamar dengan pakaian yang telah rapi. Blouse sifon dengan aksen pita berwarna merah muda yang dipadukan celana panjang hitam membuatku terlihat segar. Setidaknya pakaian ini cukup menolong wajahku yang pas-pasan dan hanya terpoles riasan tipis.

 Rumah masih begitu sepi, belum ada yang keluar. Kuletakkan tas kantor di atas meja makan lalu membuka lemari es. Makanan yang semalam ibu bawakan masih sangat layak, hanya perlu dihangatkan untuk sarapan.

 Beberapa menit setelah menikmati makanan, barulah kudengar ada aktivitas orang lain di rumah bertipe enam puluh ini. Suami dan maduku keluar kamar bersamaan. Tampak Nayla menyisir rambut basahnya dengan jari, sementara Farhan menyunggingkan senyum padaku sembari mengucapkan selamat pagi. Aku kembali menunduk, menikmati sarapan tanpa membalas sapaan itu.

 “Sarapan apa?” tanya Farhan sembari menarik kursi di seberang yang segera diduduki Nayla. Pria itu kemudian duduk di sebelahnya.

 “Kamu bisa lihat sendiri,” jawabku tanpa menatap.

 “Ya ampun, Mbak, bukannya itu makanan kemarin? Kenapa masih dimakan?” pekik Nayla terkesiap setelah memastikan isi piringku.

 “Masih enak,” sahutku tak acuh.

 “Yang benar saja?” wanita itu berdecak seraya beranjak. “Tunggu sebentar, Mas, aku masakin. Kamu jangan makan itu! Lagian Mbak Zahira apa gak kepikiran kalau Mas Farhan gak suka makanan yang sudah menginap? Harusnya sebagai istri peka, dong, masakin juga buat suaminya.”

 Kuputar bola mataku malas. Bergeming enggan menanggapi. Memangnya aku tahu bagaimana kebiasaan mereka?

 “Sudahlah, Dek, Ira ‘kan baru hari ini sarapan bersama kita, dia belum tahu,” timpal Farhan memberikan pembelaan yang tak kuperlukan.

 “Oh, ya? Waktu kalian pacaran dulu memangnya Mbak Zahira gak pernah Mas kasih tahu? Atau memang Mbak saja yang tidak peduli?” cecar wanita itu sembari memecahkan telur ke dalam mangkuk.

 “Kenapa malah bahas waktu kami pacaran?” tanya Farhan dengan dahi terlipat.

 Asyik, pertunjukan opera sabun gratis pagi-pagi.

 “Lah, ‘kan memang bener. Kalian dulu pacaran lama memangnya gak pernah saling bahas kebiasaan dan kesukaan masing-masing?” Nayla balik bertanya.

 “Jangan bahas ini lagi! Semua sudah masa lalu,” Farhan enggan menanggapi.

 Sarapanku telah tandas. Tanpa basa-basi kuangkat alat makan dan membawanya ke wastafel. Sudah biasa setelah makan langsung mencuci alat makan sendiri. Begitulah budaya yang diterapkan oleh keluargaku.

 “Loh, Mbak? Kok udah aja? Kami ‘kan belum mulai,” protes Nayla sambil membuka microwave. Nasi instan mereka telah matang.

 “Lalu aku harus menunggu kalian?” tanyaku yang sedang menjadi seorang DJ. “Maaf, tidak bisa! Rumah ini jauh dari kantor, aku bisa terlambat kalau harus menunggu kalian.”

 “Kamu sudah mau masuk kerja, Ra?” tanya Farhan menyahut.

 “Tidak ada alasan aku harus libur ‘kan?” kubalik pertanyaannya.

 Kudengar Nayla berdecak seraya membawa sarapan sederhananya ke meja makan, menghidangkan untuk Farhan dan dirinya sendiri. Entah apa masalahnya sampai memberikan tatapan kurang enak itu.

 Kuambil tas kerjaku lalu meninggalkan sejoli itu. Sayangnya, langkah ini harus terhenti saat Farhan mencekal lenganku. Kutatap matanya yang juga menatapku tajam dengan pandangan heran.

 “Apa lagi?” tanyaku.

 “Tunggulah sebentar, kuantarkan ke kantor,” ujar Farhan meminta.

 “Tidak bisa, hari ini kita mau ke dokter ‘kan, Mas?” cegah Nayla yang menatap tajam genggaman tangan Farhan pada pergelangan tanganku.

 Tak ingin menambah masalah, segera kulepaskan cengkeraman yang ternyata tak mudah dilepas itu. Tatapan Farhan masih lekat padaku. Mungkin benar jika aku tidak peka, karena aku sama sekali tak bisa membaca maksud dari tatapan itu.

 “Tuh, kalian punya agenda yang lebih penting ‘kan? Segera realisasikan rencana kalian supaya aku juga bisa segera bebas!” seruku setelah berhasil melepaskan tangan Farhan. “ Kalau begitu aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”

 “Waalaikumsalam,” sahut keduanya berbarengan.

 Hari baru yang terasa sama saja ini resmi dimulai setelah diawali dengan menonton opera sabun secara langsung. Ini baru hari pertama, entah warna-warni apa lagi yang akan kusaksikan ke depannya.

 Sekitar dua jam berdesakan di transportasi umum hingga diantarkan ojek online, akhirnya sampai juga di kantor. Bukan tak memiliki kendaraan pribadi, aku punya sebuah mobil yang hampir tak pernah kugunakan untuk bekerja. Siapa pun tahu betapa macetnya ibukota di jam sibuk, sehingga kendaraan umum massal seperti TJ, KRL atau MRT lebih kusukai. Tak masalah berjubel dengan pekerja lainnya, paling tidak aku terhindar dari stressnya kemacetan jalanan.

 Sejak belum lulus kuliah, aku sudah bekerja di sini, perusahaan periklanan dan sudah bekerjasama dengan banyak brand baik yang berskala kecil maupun besar. Termasuk perusahaan kosmetik tempat Farhan mengais rupiah. 

 Awalnya aku hanya anak magang, lalu performaku diakui atasan hingga ditawari menjadi pegawai kontrak. Tentu aku tak melewatkan kesempatan di saat mendapat pekerjaan sudah begitu sulit.

 Pagi ini, entah kenapa kantor terasa begitu menyenangkan. Langkahku bahkan begitu ringan untuk menuju kubikel. Jabatanku saat ini adalah seorang senior digital strategist atau istilah awamnya adalah orang yang membuat strategi iklan di dunia maya, termasuk sosial media. Aku menyukai pekerjaan ini.

 “Mbak Za, dipanggil bu Shasa ke ruangannya,” ujar salah satu rekan saat aku tengah fokus dengan pekerjaan.

 “Ada apa?” tanyaku.

 “Gak tahu, langsung ke sana aja!”

 Tanpa babibu, kusimpan lembar kerjaku lalu bergegas menghampiri manager divisi kreatif. Bu Shasa adalah orang yang membimbingku sejak pertama kali bergabung dengan perusahaan ini, sehingga aku sangat menghormatinya. Jasanya begitu besar dalam perjalanan karirku.

 “Bu Shasa memanggil saya?” tanyaku begitu dipersilakan masuk ke ruangan khusus direksi tersebut.

 “Eh, Za, sini duduk dulu!” perintah bu Shasa sambil menunjuk kursi dibalik meja kerja.

 Di kantor ini aku memang lebih dikenal engan panggil Za daripada Zahira apalagi Ira. Katanya lebih singkat dan mudah dihafal. Terserah sajalah, asal tidak memanggilku madu atau pelakor, tak masalah.

 Ah, kenapa tiba-tiba malah teringat akan hal itu? Menyebalkan. 

 “Gimana kabar pagi ini?” tanya wanita berusia empat puluhan itu memulai.

 “Secerah matahari pagi, Bu,” selorohku yang disambut kekehan atasanku itu.

 “Kelihatan sih memang,” sambutnya. “Ya begitulah kalau pengantin baru. Iya ‘kan?”

 Senyumku luntur. Dari mana bu Shasa tahu aku baru saja menikah? Padahal tak satu pun rekan kantor yang kuundang pada acara kemarin, diberitahu pun tidak. Mana mungkin aku mau mengundang, kalau akhirnya malah akan membuatku malu sendiri?

 “Kamu mah gitu, nikah diem-diem, gak mau ngundang. Untung Farhan ngabarin saya,” lanjutnya yang sekali lagi membuatku terkesiap. “Tapi maaf banget kemarin gak bisa datang, anak lagi demam.”

 Kuulas senyum terpaksa untuk menghiasi bibir tebal ini. Justru aku senang jika bu Shasa berhalangan hadir. Lagi pula, kenapa Farhan harus memberitahu bu Shasa? Memangnya dia tidak malu? Ah, mungkin laki-laki itu justru bangga bisa memiliki dua istri, meskipun yang satu tak boleh dan tak bersedia dijamah.

 “Dan ngomong-ngomong soal suamimu,” bu Shasa menjeda kalimat dan memberikan map biru padaku.

 “Apa ini, Bu?” tanyaku sembari membuka map tersebut.

 “Akhirnya saya tahu kenapa kamu memilih mundur dari proyek ini. Karena mau menikah dengan Farhan, jadi kamu takut tidak profesional saat mengerjakannya. Begitu ‘kan? Saya memaklumi, Za, tapi saya juga tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Kembalilah menjadi penanggung jawab proyek iklan Glazed Grup!”

 “Tapi, Bu,” segera kulayangkan protes tanpa menunggu nanti-nanti.

 “Karena ada Farhan?” tanya bu Shasa yang segera kuangguki. “Kenapa? Bukannya malah lebih enak kerjasamanya kalau bareng suami? Di rumah pun bisa saling diskusi ‘kan? Ambillah, Za, toh suamimu sendiri yang minta saya bujukin kamu.”

 “Farhan yang minta?” tanyaku tak percaya.

 “Ya. Katanya kamu terlalu profesional sampai susah dibujuk, makanya minta bantuan saya,” kekeh bu Shasa. “Enak loh kerja sama suami. Apa lagi nanti kalian juga bisa sering-sering tugas bareng ke luar kota. Kamu bisa ada yang jagain, sekaligus liburan juga. Paket hemat.”

 Justru itu yang kuhindari, Bu Shasa! Aku sudah berjanji pada Nayla untuk tidak berhubungan dengan Farhan kecuali mengenai proyek bayi tabung mereka. Lagi pula, apa-apaan Farhan memintaku kembali menangani proyek ini tanpa bicara terlebih dahulu? Menyebalkan. Sayangnya pria menyebalkan itu adalah suamiku.

"Jadi gimana? Ambil proyek ini lagi ya, Za?” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Pengakuan Dosa - SELESAI

    “Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Maaf yang Akhirnya Terucap

    “Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Titik Terendah

    “Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Inikah Akhir Hidupku?

    Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Extra II - Nayla POV

    Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Buka Puasa*

    “Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status