"Menikahlah dengan Mas Farhan!" "Tak pernah sekali pun aku bercita-cita menjadi madu. Jadi, kutolak permintaan Mbak Nayla," sahutku tanpa ragu. "Kalau begitu, bercinta dengan suami wanita lain adalah cita-citamu, Mbak Zahira!" Kalimat itu seketika membuatku tercekat. Senyum yang sejak tadi menghiasi wajahku pun luntur, berganti dengan dentuman keras di dalam dada. Kugenggam erat tanganku yang terasa dingin dan gemetaran. Bagaimana dia bisa tahu?
Lihat lebih banyak“Maaf,” ujar pria di sampingku yang terus mengalihkan pandangan, menatap ke luar melalui kaca jendela mobil.
Tak kuhiraukan kata-kata yang mungkin sudah puluhan kali ia ucapkan sejak belasan menit lalu. Aku masih sibuk menyusut air mata sambil terisak serta kembali memakai pakaian yang sempat dilepas paksa.
“Maaf, Ra, aku gak sadar,” lagi ia mengucapkan alasannya, tetapi aku tetap bergeming.
Aku pun tidak sadar telah menyerahkan diri padanya. Namun, tetap saja hati ini menyangkal kejadian barusan yang berakhir pada terenggutnya kesucianku.
“Bagaimana bisa?” cicitku lirih dengan lengan yang memeluk tubuhku sendiri.
Pria itu menggeleng seraya menjambak rambutnya sendiri. “Sepertinya ada orang yang membubuhkan obat ke minumanku,” ungkapnya.
Pikiranku menerawang, mengingat kejadian satu jam lalu. Harusnya kami membahas pekerjaan di restoran ini, tetapi setelah mengonsumsi setengah gelas teh tubuhku rasanya seperti terbakar. Ada rasa menggelitik di bawah sana dan saat kami bersentuhan aku seperti ingin dia terus menjelajahi setiap jengkal kulitku.
Aku tidak tahu jika ternyata dia juga merasa seperti itu, hingga akhirnya tanpa sadar perbuatan tercela ini terjadi begitu saja, di jok belakang mobilnya yang terparkir di pelataran restoran dengan disinari teriknya matahari tengah hari.
“Maaf, Ra, aku akan bertanggung jawab,” gumam pria itu yang masih begitu jelas terdengar di telinga.
“Caranya?”
“Aku akan menikahimu,” ungkapnya yang seketika mampu menarik perhatianku.
“Kamu gila?” pekikku dengan kelopak mata yang terbuka lebar. “Ingat istrimu, Han!” seruku mengingatkan dan membuatnya semakin menjambak rambut frustrasi.
“Terus gimana, Ra? Aku pun sudah menghancurkan masa depanmu,” keluhnya seraya menatapku dengan pandangan nanar.
Kuhela napas kasar dan kembali menghindari tatapannya. Bayangan kejadian panas kami tadi segera menghantui kala mata kami saling bersirobok. Bagaimana cara mengenyahkan memori itu?
“Kita sudah salah, gak perlu menambah kesalahan lain,” gumamku terus mengeratkan belitan lengan pada tubuh ini.
“Tidak ada solusi lain, Ra! Aku akan terus merasa bersalah sudah merenggut kesucianmu,” timpal pria itu membujuk.
“Ada.”
“Apa?”
“Lupakan! Anggap tak pernah terjadi,” ujarku memberikan solusi meski aku sendiri tak yakin akan mampu melupakan dosa kami.
“Bagaimana bisa? Aku bahkan gak pakai pengaman dan Kamu juga baru pertama, Ra! Bagaimana kalau Kamu sampai,-”
“Aku akan baik-baik saja,” selaku memotong kalimatnya. “Apotek masih menyediakan kontrasepsi darurat, belum terlambat kalau aku mengonsumsinya. Aku juga akan mundur dari proyek ini supaya kita tak perlu bertemu lagi.”
“Zahira,” panggilnya lemah, terdengar keberatan.
“Aku tidak ingin menghancurkan pernikahanmu, Han. Rasa bersalahmu juga pasti akan lebih besar kalau sampai kita menikah, tetapi menyakiti perasaan istrimu. Jadi, ini yang terbaik. Kita tak perlu bertemu lagi dan kupastikan benihmu tidak akan tumbuh di rahimku,” paparku memberikan keputusan akhir.
“Maafkan aku,” sesal pria itu sekali lagi.
“Aku juga minta maaf,” timpalku seraya mengusap sisa air mata yang baru saja menetes. Bagaimanapun aku juga ikut bersalah dalam kejadian penuh dosa ini. “Jangan sampai ada orang yang tahu!”
Pria itu mengangguk dan terus menundukkan kepala tanpa menimpali kalimatku.
“Lupakan aku dan semua yang terjadi hari ini. Berbahagialah dengan istrimu,” pesanku yang sekali lagi dianggukinya.
“Semoga Kamu juga bahagia dan menemukan laki-laki yang bersedia menerimamu apa adanya. Maafkan aku sudah merenggut masa depanmu,” balas pria itu sambil menatapku dalam.
Kalimat itu hanya kuangguki dan aku segera keluar dari mobilnya, meninggalkan serta berusaha melupakan kejadian yang dampak nyerinya di antara kaki masih belum reda sama sekali.
Tak kupedulikan tatapan aneh orang yang berpapasan karena penampilanku yang berantakan. Wajar saja, aku mengenakan pakaian secara asal, rambut tanpa disisir kembali, serta air mata yang masih terus membasahi pipi.
“Obat ini bekerja maksimal jika dikonsumsi dalam waktu kurang dari tujuh puluh dua jam pasca berhubungan, Bu,” ujar petugas apotek saat aku meminta kontrasepsi darurat.
Untung saja aku langsung mampir ke apotek. Semoga memang tidak terjadi pembuahan. Lagipula aku juga tidak sedang subur.
Kini yang perlu kulakukan adalah mundur dari proyek kerjasama kami lalu menghilang dari radar pria itu. Kupikir tidak akan sulit, karena lima tahun ini aku berhasil bersembunyi darinya. Jika bukan karena pekerjaan, kami tak akan pernah bertemu lagi.
Namun, rencana itu hanya tinggal rencana saat sebulan kemudian sebuah pesan anonim datang ke ponselku dan membuat jantung ini rasanya ingin jatuh ke perut.
[Temui aku di Kafe Summer saat jam makan siang jika tidak ingin rahasiamu tersebar luas. – Nayla, istri Farhan]
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen