Kuhela napas kasar. Oksigen ekstra sangat kuperlukan saat ini, setidaknya supaya otakku bisa bekerja lebih lancar. Namun, memang tak banyak yang bisa kulakukan.
“Baik, kalau begitu, jelaskan dulu bagaimana skenarionya? Ah, bukan berarti aku akan setuju, aku hanya ingin tahu apa yang Mbak Nayla inginkan,” tantangku.
Wanita itu membuka tas tangannya, meraih sebuah dokumen dalam map bening yang langsung diberikannya padaku. Dagunya mengedik, memintaku membuka dokumen itu untuk mempelajarinya. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku melakukan perintah tersebut sembari dia menjelaskan secara lisan.
“Aku akan menandatangani izin untuk kalian menikah lagi, sehingga pernikahan kalian akan sah secara agama dan negara. Tapi, bukan berarti Mbak dan mas Farhan bisa berhubungan suami istri seperti pernikahan pada umumnya,”
“Bahkan tak pernah sekali pun aku ingin mengulangi hal itu, Mbak!” selaku menegaskan posisi.
“Baguslah kalau begitu. Jangan menuntut lagi setelah kalian resmi nanti,” timpal Nayla diakhiri kekehan. “Kalian menikah resmi hanya supaya orang-orang tidak curiga saat Mbak mengandung anakku dan Mas Farhan. Aku tidak bersedia jika nantinya anak kami dianggap sebagai anak haram.”
“Langsung saja! Bagaimana prosedur kehamilan yang Mbak Nayla mau?” tanyaku tak sabar.
Wanita itu membalik dokumen di hadapanku, lalu menunjuk pada salah satu poin yang tertulis. Bayi tabung.
“Rahimku bermasalah. Pernah beberapa kali keguguran. Jadi, aku meminta rahim Mbak Nayla untuk menampung sel telurku yang telah dibuahi oleh benih mas Farhan,” jelasnya.
“Ibu pengganti?” aku memastikan dan segera diangguki.
“Ya, bayar dosa kalian padaku dengan cara itu! Setelah bayi yang Mbak kandung lahir, aku akan mengambilnya dan kalian harus segera bercerai. Setelah itu, barulah Mbak boleh menghilang dari hadapan kami. Mbak tak memiliki ikatan dengan anak itu selain sebagai ibu pengganti, jadi seharusnya tidak berat untuk pergi, bukan?”
---o0o---
Aku memang tidak memberikan kepastian setelah pertemuan di siang itu. Namun, Nayla terus-terusan menerorku untuk segera menyetujui permintaannya. Ia bahkan nekat mengirimkan gambar panasku dan Farhan yang diambil dari potongan layar rekaman dashcam.
“Masih belum percaya kalau aku bisa menyebarkan lebih dari ini?” ancam wanita itu.
Jika saja bisa, aku ingin kabur sejauh mungkin dari mereka. Hanya saja, kunjungan Nayla yang hampir setiap hari ke rumah orang tuaku membuatku tidak tenang.
“Om, Tante, aku punya video keren. Mau lihat, nggak?”
Pertanyaan itu selalu terlontar saat Nayla datang ke rumah. Aku selalu dengan cepat merebut ponselnya, tak peduli jika hal itu tampak tidak sopan.
“Gak usah aneh-aneh, Mbak!” tegurku yang dibalas senyum miringnya.
“Nikah!” serunya tanpa suara dan hanya melalui gerakan bibir, tetapi mampu membuatku meradang.
Bagaimana jika wanita itu juga nekat menunjukkan video gilaku dan Farhan pada ayah dan ibu? Dunia mereka pasti hancur setelah mengetahui anak perempuannya melakukan dosa menjijikkan. Ayah juga bisa saja terkena serangan jantung tiba-tiba dan itu sangat berbahaya.
“Oke, tapi berhenti mengusik orang tuaku!” putusku terpaksa.
Akhirnya, hari sakral yang tak pernah kuduga itu tiba. Hari ini aku akan menikah, melepas masa lajang pada mantan kekasihku, tetapi sebagai istri kedua yang tak boleh disentuh.
Poin terakhir sama sekali tidak menjadi masalah. Aku hanya sangat keberatan dengan status sebagai istri kedua. Seperti tak ada lagi stok pria di dunia ini. Namun, aku memang tak memiliki pilihan.
“Saya terima nikah dan kawinnya Zahira Aiziah binti Gibran dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucap pria yang duduk di sampingku dan tengah menjabat tangan ayah tersebut.
Begitu lantang dan lugas ia ucapkan, seperti telah menghafal sepanjang malam. Sayangnya, ijab kabul yang seharusnya mengharukan itu sama sekali tidak membuatku tersentuh. Hanya seperti sebuah angin lalu yang tak mampu menyentuh kalbuku.
“SAH.”
Teriakan menggema para kerabat yang hadir menjadi pertanda bahwa nerakaku akan segera dimulai. Aku, Zahira Aiziah, seorang anti orang ketiga justru berakhir menjadi istri kedua. Miris dan menggelikan sampai-sampai air mataku tumpah, menangisi nasib buruk yang akan segera kuhadapi.
“Pengantinnya terharu.”
“Pasti seneng bangetlah, akhirnya lepas dari julukan perawan tua.”
“Gak nyangka juga sih bisa balikan sama mantannya.”
“Memang sudah jodoh, kali.”
Suara-suara itu terdengar seperti sebuah ejekan untukku. Untung saja tak ada yang menyebutkan tentang statusku yang menjadi istri kedua. Mungkin aku hanya tidak mendengar saja. Bisa jadi di belakangku mereka menggunjing.
Bagaimanapun, semua orang di sini sudah tahu jika Farhan merupakan suami Nayla. Mereka tahu pernikahan ini atas kesediaan wanita itu yang merasa tidak mampu memberikan keturunan, hanya saja detail lengkapnya hanya aku, Farhan, dan Nayla yang mengetahui.
Wanita berkebaya perak itu menyaksikan prosesi ini dengan berlinang air mata di belakang sana. Kenapa Nayla harus menangis? Bukankah ini keinginannya? Bukankah ia yang meminta kami menikah secara resmi dan diketahui khalayak?
Lucu sekali. Harusnya hanya aku yang tergugu di sini, karena hanya aku yang akan menanggung semua beban di pundak.
“Ira!”
Bisikan lembut dari suara yang masih sangat kuhapal itu menarik perhatian. Caranya memanggilku pun masih sama dan hanya dia satu-satunya yang menggunakan panggilan itu. Kutolehkan kepala ke arah suara dan mendapati pria itu tengah menatapku lekat-lekat. Dia, Farhan Hamza Maheswara, mantan kekasih terakhir yang baru saja resmi menjadi suamiku.
Melihat senyum kecil mengembang di bibirnya setelah aku bersedia menatapnya membuatku ingin menguncir bibir tipis itu. Bisa-bisanya ia tersenyum di saat seperti ini? Mungkinkah Farhan memang sama sekali tidak keberatan dan malah bahagia karena bisa memiliki dua istri? Astaga, tak pernah kusangka ia memiliki sisi ini, padahal cintanya pada Nayla sangat besar.
“Ayo, salim dulu sama suaminya,” perintah penghulu saat aku tak kunjung menerima tangan Farhan yang tergantung di udara.
Setelah menghela napas panjang, terpaksa kujabat tangan lebar dan besar itu lalu mencium punggung tangannya. Farhan menyentuh bahu kiriku, menahan agar aku tidak cepat-cepat bangun meskipun sangat ingin. Alasannya adalah untuk dokumentasi, padahal aku sama sekali tidak peduli. Buat apa menyimpan dokumentasi kalau mungkin tahun depan aku akan menjanda? Ah, mungkin sebagai trofi kemenangan.
Masih belum melepas jabat tangan, kurasakan tekanan lembut di puncak kepalaku. Farhan mencium ubun-ubunku di hadapan semua orang yang kini tengah mengabadikan. Bukan hanya sedetik dua detik, tetapi cukup lama. Mungkin dia menyukai dan sedang menikmati aroma buah pir dari shampo yang kupakai.
“Rileks, Ra, jangan tegang begitu,” ujar Farhan sambil berbisik.
Sayangnya, saat ini aku ingin sekali tanah di bawah yang sedang kupijak ini retak lalu menelanku hidup-hidup.
Bagaimana jika nanti ada orang yang tanpa izin membuat rekaman lalu mengunggahnya ke platform sosial media dan menambahkan caption tentang aku yang menjadi istri kedua?
Seluruh warganet pasti akan menghujatku, lalu di mana aku harus menyembunyikan wajah yang tak seberapa menarik ini?
Ya Allah, pernikahan seharusnya menjadi momen sekali seumur hidup yang indah dan tak terlupakan, tapi justru akan berakhir menjadi momen memalukan untukku.
“Seandainya aku tidak pernah setuju mengerjakan proyek itu, kita tak akan bertemu. Kecelakaan itu juga tak akan terjadi,” sesalku membuat Farhan menghela napas panjang. ‘Sayang, gandum telah menjadi roti, tak bisa kembali menjadi biji.”
“Maafkan aku, tapi aku berjanji akan bersikap adil pada kalian. Apa yang kuberikan pada Nayla juga akan kamu dapatkan,” ujar Farhan begitu lirih saat bibirnya beralih menempel di dahiku.
“Segera jalankan prosedur bayi tabung itu supaya semuanya segera berakhir,” balasku menggumam.
“Kita tunggu Nayla siap,” sanggah pria berkulit sawo matang itu.
Aku berdecih seraya mendorong bahunya tanpa kentara. Baru beberapa saat lalu ia berjanji akan bersikap adil, tetapi nyatanya tetaplah Nayla yang utama. Ya beginilah teman-teman nasib wanita kedua yang tak diharapkan dan hanya dimanfaatkan. Tak perlu repot-repot percaya pada janji manis pria bergelar suami.
Selepas menandatangani dokumen, saatnya kami meminta restu pada orang tua kedua belah pihak. Orang tuaku berderai air mata, menyaksikan putrinya melepas masa lajang. Entah terharu atau sedih karena harus merelakan putri kesayangannya menjadi istri kedua. Mungkin juga malu pada para kerabat.“Maafkan aku, Bu, Yah, aku telah membuat kalian malu,” ujarku sambil bersimpuh di hadapannya.“Tidak, Za! Kamu tetap putri kebanggaan Ayah dan Ibu. Iya ‘kan, Bu?” Ayah melempar pertanyaan.“Benar, apa pun keadaanmu, kami selalu bangga padamu, Zahira. Tetaplah tegak, tetaplah menjadi Zahira kami yang selalu tangguh. Ikhlaskan hatimu dan niatkan pernikahan ini untuk mencari rida ilahi. Lapangkan hatimu dan berusahalah menerima kalau Farhan bukan milikmu satu-satunya. Anak Ibu hebat, berani menyetujui pernikahan ini, berarti berani menanggung segala risikonya. Ibu percaya padamu, Za,” timpal ibu yang seketika membuatku terharu.Ah, ibu, kata-katamu membuat air mata ini kembali luruh. Untung saja riasa
Kelopak mata ini mengerjap saat sayup-sayup terdengar suara azan dari surau terdekat. Kukumpulkan semua kesadaran sebelum beranjak dari atas ranjang. Namun, bibirku lekas mencebik sesaat setelah earphone yang terpasang di telinga terlepas. Suara aiueo manja dari kamar sebelah masih terdengar. “Apa mereka tidak tidur sepanjang malam? Hebat sekali,” cibirku seraya menyibak selimut dan beranjak. Aku tak peduli meski mereka melakukan hal itu sepanjang malam, sepanjang hari, atau kapan pun dan di mana pun selama mataku tak terkontaminasi. Saat ini, kewajiban dua rakaatku lebih utama. Hanya saja, supaya ibadah tidak terganggu, lebih baik aku menunggu mereka selesai sembari membersihkan diri. Syukurlah kamar mandi ini memiliki water heater, sehingga aku tak perlu menggigil kedinginan. Dua puluh menit kemudian, aku kembali masuk ke dalam kamar. Tepat seperti dugaan, suara pertempuran Subuh itu sudah tak lagi terdengar. Segera kuambil mukena serta sajadah dan memulai ibadah pagi ini tanpa m
“Jadi gimana? Ambil proyek ini lagi ya, Za!” pinta Bu Shasa sekali lagi.Kuhela napas panjang lalu mengangguk. “Iya, Bu.”Lagi-lagi tak bisa menolak permintaan, terutama permintaan seorang yang sudah sangat berjasa untukku. Terpaksa aku kembali menerima proyek yang sudah sempat kutinggalkan tersebut."Apa gunanya menghindar dalam pekerjaan jika akhirnya tetap bertemu di rumah?" desahku lemah.Rasanya aku ingin mendekam di kantor ini hingga larut malam saja. Bila perlu malah tinggal di sini atau di mana pun selama tidak bersama dengan suami dan maduku. Menurutku itu bukan rumah, melainkan indekos saja. Engganku berada di sana bukan karena cemburu apalagi terganggu oleh nyanyian merdu pasangan itu saat malam hari, hanya saja sendirian memang terasa jauh lebih nyaman. Aku juga tak perlu khawatir ada orang yang memandang buruk pada kami bertiga.“Mana mungkin Nayla mengizinkan?” gerutuku mengeluh.Berpisah atap artinya Nayla akan semakin kesulitan memantauku dan juga Farhan. Meski kami t
Keesokan paginya kuawali dengan hal yang serupa seperti kemarin. Tetap dengan disambut suara aduhai dari kamar sebelah tepat saat membuka mata.Ralat, semalam aku juga sempat terbangun saat mendengar suara serupa dan harus kembali mengenakan earphone supaya bisa tidur lebih nyaman tanpa gangguan.“Kapan mereka tidurnya?” gumamku sambil menggelengkan kepala tak habis pikir.Hebat sekali suami dan maduku. Pernikahan mereka sudah berjalan hampir empat tahun, tetapi intensitas hubungan suami istri mereka masih tinggi.Tiba-tiba aku jadi penasaran, vitamin apa yang mereka konsumsi sampai bisa sekuat itu? Olahraga apa yang mampu menjaga tubuh keduanya tetap bugar. Mungkin olahraga malam itulah jawabannya.“Semoga ada keajaiban, usaha keras mereka membuahkan hasil dan rahim Nayla kuat, supaya aku bisa lepas dari hubungan segitiga aneh ini,” doaku tulus.Sudahlah, kenapa pula memikirkan hal itu. Lebih baik aku bergegas dan mengabaikan suara-suara indah mereka. Hari ini sudah ada rencana yang
Sudah sekitar satu minggu aku berhasil kucing-kucingan dengan Farhan yang kukuh ingin mengantar jemput.Salah satu alasan yang membuatku selalu enggan selain takut semakin terikat padanya adalah Nayla. Wanita itu selalu memberikan tatapan tidak menyenangkan, jika Farhan mulai mendesakku.Karena kesulitan menolak, satu-satunya yang kubisa hanya menghindar. Sayangnya, usaha itu seperti sia-sia di minggu ke dua.Bagaimanapun aku dan Farhan memiliki kerjasama yang harus diselesaikan. Aku tak mampu berkelit lagi, karena meeting dijadwalkan pagi ini di kantorku.Mau tak mau kami berangkat bertiga dengan terlebih dahulu mengantarkan Nayla ke butiknya. Wanita itu adalah seorang desainer dan pemilik butik ready to wear.“Awas ya kalau macem-macem!” ancam Nayla saat hendak turun dari mobil.“Macam-macam juga sama istri, Dek,” sahut Farhan seolah tanpa beban.“Maaas!” Nayla menegur dengan nada manjanya. Wajah pun ditekuk dan bibirnya mengerucut.Kubuang pandangan ke samping, pura-pura tak menden
“Nanti sore gak perlu jemput. Aku malas macet-macetan begini,” ujarku beberapa saat kemudian saat laju kendaraan tak sampai tiga puluh kilometer per jam. “Kenapa sih kamu gak mau banget aku antar jemput, sampai harus mengarang alasan supaya bisa menghindar?” tanya Farhan tanpa menyetujui permintaanku. “Males macet,” jawabku singkat dan konsisten. “Pasti gak cuma itu,” tebak pria yang sesekali menengok dan menatapku. “Kamu takut sama Nayla?” Tanpa perlu aku bersuara, harusnya dia sudah bisa memperkirakan jawaban yang akan terlontar dari bibirku. “Sebentar lagi dia pasti bisa ikhlas, bagaimanapun Nayla sendiri yang membawamu dalam pernikahan kami. Terima ataupun tidak, kalian sama-sama istriku dan kewajibanku adalah adil pada kalian. Ya meskipun aku tahu yang namanya adil itu sulit,” ungkap Farhan diakhiri dengan senyuman lembut. “Aku sedang berusaha semampuku. Jadi, maaf kalau masih banyak kekurangan.” “Tidak perlu berusaha terlalu kera
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi dan semua orang yang terlibat dalam proyek iklan kerjasama perusahaan kami telah berkumpul di ruang rapat. Meski pernah mundur, tapi anggota timku telah memberikanbriefingsupaya tak terlalu tertinggal. Lagi pula, sejak semalam Farhan juga sudah mengajakku berdiskusi saat di rumah, padahal sudah cukup larut saat aku pulang. Namun, aku juga cukup berterima kasih, karena setidaknya di rapat ini aku bisa mengikuti dengan baik. “Sesuai dengan produk yang akan dipasarkan, dari tim kami sepakat jika pengambilan gambar dilakukan di pantai. Ada beberapa pilihan lokasi yang masih belum bisa kami putuskan, yaitu antara Lombok, Belitung, dan Kepulauan Kei,” ujar Tara, anggota tim Farhan. Aku tersenyum kecil. Ketiga tempat itu sangat indah dan cocok untuk promosi produksunscreenyang akan mereka luncurkan. Namun, haruskah sejauh itu? Satu hal yang kupikirkan adalah kemungkinan aku d
Melihat kepalaku yang celingukan, Aldo melambaikan tangan, memanggilku mendekat. Kuulas senyum ramah saat menghampiri rombongan. Namun, senyum itu luntur saat kutemukan sosok Farhan ternyata masih ada di sana, di tengah-tengah tim kami. Dahiku mengernyit, mengisyaratkan tanya akan keberadaan pria itu. Hanya saja, Farhan malah mengedikkan bahu acuh tak acuh. Pria itu kemudian menggeser duduknya dan menepuk kursi kayu itu, memintaku duduk di sana. Keraguan segera menyergap. Aku tak ingin ada yang curiga mengenai hubungan kami. Sebelumnya aku memang tak memberitahu siapa pun mengenai pernikahan anehku dengan Farhan. Bahkan aku juga terkejut saat bu Shasa mengetahuinya. “Malu-malu banget sih, Mbak Za? Duduk saja, kami sudah tahu kok,” ujar Aldo terdengar menggoda. Dahiku semakin mengernyit tidak paham, sementara kakiku masih lurus menjulang di samping meja, belum juga duduk di kursi yang Farhan sediakan. “Kalau Pak Farhan gak bilang, k