“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”
Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.
Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.
“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.
“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.
Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Maaf,” ujar pria di sampingku yang terus mengalihkan pandangan, menatap ke luar melalui kaca jendela mobil. Tak kuhiraukan kata-kata yang mungkin sudah puluhan kali ia ucapkan sejak belasan menit lalu. Aku masih sibuk menyusut air mata sambil terisak serta kembali memakai pakaian yang sempat dilepas paksa. “Maaf, Ra, aku gak sadar,” lagi ia mengucapkan alasannya, tetapi aku tetap bergeming. Aku pun tidak sadar telah menyerahkan diri padanya. Namun, tetap saja hati ini menyangkal kejadian barusan yang berakhir pada terenggutnya kesucianku. “Bagaimana bisa?” cicitku lirih dengan lengan yang memeluk tubuhku sendiri. Pria itu menggeleng seraya menjambak rambutnya sendiri. “Sepertinya ada orang yang membubuhkan obat ke minumanku,” ungkapnya. Pikiranku menerawang, mengingat kejadian satu jam lalu. Harusnya kami membahas pekerjaan di restoran ini, tetapi setelah mengonsumsi setengah gelas teh tubuhku rasanya seperti terbakar. Ada rasa menggelitik di bawah sana dan saat kami bersentuhan
"Menikahlah dengan Mas Farhan!"Begitulah kalimat pertama yang Nayla ucapkan ketika aku baru saja duduk di seberang mejanya di Kafe Summer. Begitu ringan ia berucap, seolah nama yang baru saja disebutkannya bukanlah nama sang suami. Tidak tahukah jika lawan bicaranya ini adalah mantan kekasih suaminya yang pernah tak sengaja melakukan dosa sebulan lalu?Entah apa motifnya, tapi harus kuakui jika Nayla unik sekaligus gila. Bisa-bisanya dia melamar perempuan lain untuk suaminya. Padahal aku tahu yakin mereka sangat mencintai satu sama lain meski bulan lalu Farhan sempat menawarkan pernikahan padaku."Mbak Nayla lagi ngelindur?" tanyaku tak percaya, sebisa mungkin menunjukkan sikap biasa bagai kecelakaan yang menimpaku dan Farhan tak pernah terjadi."Kalau begitu kuulang sekali lagi supaya Mbak Zahira lebih jelas. Menikahlah dengan Mas Farhan, suamiku!"Kutatap lekat-lekat perempuan yang usianya terpaut dua tahun di bawahku. Tentu dia masih muda, karena aku sendiri pun masih berusia dua
Kuhela napas kasar. Oksigen ekstra sangat kuperlukan saat ini, setidaknya supaya otakku bisa bekerja lebih lancar. Namun, memang tak banyak yang bisa kulakukan.“Baik, kalau begitu, jelaskan dulu bagaimana skenarionya? Ah, bukan berarti aku akan setuju, aku hanya ingin tahu apa yang Mbak Nayla inginkan,” tantangku.Wanita itu membuka tas tangannya, meraih sebuah dokumen dalam map bening yang langsung diberikannya padaku. Dagunya mengedik, memintaku membuka dokumen itu untuk mempelajarinya. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku melakukan perintah tersebut sembari dia menjelaskan secara lisan.“Aku akan menandatangani izin untuk kalian menikah lagi, sehingga pernikahan kalian akan sah secara agama dan negara. Tapi, bukan berarti Mbak dan mas Farhan bisa berhubungan suami istri seperti pernikahan pada umumnya,”“Bahkan tak pernah sekali pun aku ingin mengulangi hal itu, Mbak!” selaku menegaskan posisi.“Baguslah kalau begitu. Jangan menuntut lagi setelah kalian resmi nanti,” timpal Nayla d
Selepas menandatangani dokumen, saatnya kami meminta restu pada orang tua kedua belah pihak. Orang tuaku berderai air mata, menyaksikan putrinya melepas masa lajang. Entah terharu atau sedih karena harus merelakan putri kesayangannya menjadi istri kedua. Mungkin juga malu pada para kerabat.“Maafkan aku, Bu, Yah, aku telah membuat kalian malu,” ujarku sambil bersimpuh di hadapannya.“Tidak, Za! Kamu tetap putri kebanggaan Ayah dan Ibu. Iya ‘kan, Bu?” Ayah melempar pertanyaan.“Benar, apa pun keadaanmu, kami selalu bangga padamu, Zahira. Tetaplah tegak, tetaplah menjadi Zahira kami yang selalu tangguh. Ikhlaskan hatimu dan niatkan pernikahan ini untuk mencari rida ilahi. Lapangkan hatimu dan berusahalah menerima kalau Farhan bukan milikmu satu-satunya. Anak Ibu hebat, berani menyetujui pernikahan ini, berarti berani menanggung segala risikonya. Ibu percaya padamu, Za,” timpal ibu yang seketika membuatku terharu.Ah, ibu, kata-katamu membuat air mata ini kembali luruh. Untung saja riasa
Kelopak mata ini mengerjap saat sayup-sayup terdengar suara azan dari surau terdekat. Kukumpulkan semua kesadaran sebelum beranjak dari atas ranjang. Namun, bibirku lekas mencebik sesaat setelah earphone yang terpasang di telinga terlepas. Suara aiueo manja dari kamar sebelah masih terdengar. “Apa mereka tidak tidur sepanjang malam? Hebat sekali,” cibirku seraya menyibak selimut dan beranjak. Aku tak peduli meski mereka melakukan hal itu sepanjang malam, sepanjang hari, atau kapan pun dan di mana pun selama mataku tak terkontaminasi. Saat ini, kewajiban dua rakaatku lebih utama. Hanya saja, supaya ibadah tidak terganggu, lebih baik aku menunggu mereka selesai sembari membersihkan diri. Syukurlah kamar mandi ini memiliki water heater, sehingga aku tak perlu menggigil kedinginan. Dua puluh menit kemudian, aku kembali masuk ke dalam kamar. Tepat seperti dugaan, suara pertempuran Subuh itu sudah tak lagi terdengar. Segera kuambil mukena serta sajadah dan memulai ibadah pagi ini tanpa m
“Jadi gimana? Ambil proyek ini lagi ya, Za!” pinta Bu Shasa sekali lagi.Kuhela napas panjang lalu mengangguk. “Iya, Bu.”Lagi-lagi tak bisa menolak permintaan, terutama permintaan seorang yang sudah sangat berjasa untukku. Terpaksa aku kembali menerima proyek yang sudah sempat kutinggalkan tersebut."Apa gunanya menghindar dalam pekerjaan jika akhirnya tetap bertemu di rumah?" desahku lemah.Rasanya aku ingin mendekam di kantor ini hingga larut malam saja. Bila perlu malah tinggal di sini atau di mana pun selama tidak bersama dengan suami dan maduku. Menurutku itu bukan rumah, melainkan indekos saja. Engganku berada di sana bukan karena cemburu apalagi terganggu oleh nyanyian merdu pasangan itu saat malam hari, hanya saja sendirian memang terasa jauh lebih nyaman. Aku juga tak perlu khawatir ada orang yang memandang buruk pada kami bertiga.“Mana mungkin Nayla mengizinkan?” gerutuku mengeluh.Berpisah atap artinya Nayla akan semakin kesulitan memantauku dan juga Farhan. Meski kami t