“Jadi gimana? Ambil proyek ini lagi ya, Za!” pinta Bu Shasa sekali lagi.
Kuhela napas panjang lalu mengangguk. “Iya, Bu.”
Lagi-lagi tak bisa menolak permintaan, terutama permintaan seorang yang sudah sangat berjasa untukku. Terpaksa aku kembali menerima proyek yang sudah sempat kutinggalkan tersebut.
"Apa gunanya menghindar dalam pekerjaan jika akhirnya tetap bertemu di rumah?" desahku lemah.
Rasanya aku ingin mendekam di kantor ini hingga larut malam saja. Bila perlu malah tinggal di sini atau di mana pun selama tidak bersama dengan suami dan maduku. Menurutku itu bukan rumah, melainkan indekos saja.
Engganku berada di sana bukan karena cemburu apalagi terganggu oleh nyanyian merdu pasangan itu saat malam hari, hanya saja sendirian memang terasa jauh lebih nyaman. Aku juga tak perlu khawatir ada orang yang memandang buruk pada kami bertiga.
“Mana mungkin Nayla mengizinkan?” gerutuku mengeluh.
Berpisah atap artinya Nayla akan semakin kesulitan memantauku dan juga Farhan. Meski kami tak akan berinteraksi lebih jauh dari sekedar partner kerja sama, tetap saja sakit hati yang pernah wanita itu alami membuatnya terus merasa was-was. Setidaknya begitulah jika aku jadi dia.
Hari ini berjalan seperti biasa. Pagi bekerja, siang istirahat makan siang di kantin bersama teman-teman, lalu lanjut kerja lagi sampai pukul enam sore. Rasanya tak ada yang beda dari keseharian, hanya arah pulang saja yang kini berubah.
“Gak dijemput Farhan, Za?” tanya bu Shasa ketika melihatku berada di lobi, menunggu ojek online yang akan mengantar ke stasiun terdekat.
“Enggak, Bu, dia sedang ada urusan lain,” jawabku menghindar tanpa berbohong.
Nyatanya suamiku itu sedang memiliki urusan dengan istri pertama dan dokter obgyns mereka ‘kan? Entah sudah selesai atau belum, aku tak peduli.
“Ya sudah, kalau begitu saya duluan!”
Aku menggangguk saat wanita berusia empat puluhan itu lebih dulu menaiki ojek onlinepesanannya. Tak berselang lama, transportasi roda dua pesananku juga sudah tiba dan aku segera naik ke jok belakang.
Pukul setengah sembilan malam dengan kondisi kelelahan, ojek online lain yang mengantar dari stasiun berhenti di depan gerbang rumah. Setelah turun dan bahkan pengemudinya menjauh, aku tak kunjung membuka pagar, malah menghela napas panjang. Malas sekali mau masuk ke rumah yang kini telah terang benderang itu. Namun, aku tetap harus masuk ke sana, dengan niat untuk mengistirahatkan tubuh.
“Assalamualaikum!”
Gelak tawa menyambut salam yang kuucapkan setelah membuka pintu yang tak terkunci. Nayla dan Farhan sudah ada di rumah dan tengah menonton televisi. Entah tayangan apa yang mereka saksikan hingga bisa tertawa sekeras itu, membuatku semakin tahu diri jika hanya orang ketiga dalam rumah tangga mereka.
"Baru pulang, Mbak?" sapa Nayla retorik.
Jelas-jelas aku masih memakai pakaian kantor dan baru masuk rumah, sudah pasti baru pulang.
"Kenapa malam sekali?" tanya Farhan menambahkan.
"Memang harusnya jam berapa?" Aku balik bertanya seraya berjalan melewati mereka.
"Mulai besok kamu berangkat dan pulang sama aku aja, biar gak sendirian malam-malam begini," ujar Farhan menawarkan diri.
Aku yang hampir menapaki anak tangga ke lantai dua pun berbalik, memerhatikan pasangan serasi di depan sana. Farhan tengah menanti jawaban, sementara Nayla? Entahlah, aku tak bisa membaca ekspresi orang.
"Tidak perlu," tolakku.
"Jangan menolak! Kamu juga tanggung jawabku. Kita bisa berangkat dan pulang bertiga," sanggah pria yang hanya setahun lebih tua dariku itu.
"Harmonis sekali," cibirku sambil memutar kedua bola mata diam-diam.
Tentu saja kalimat itu tak kuucapkan secara lantang. Sudah lelah bekerja, malas berdebat.
"Terserahlah! Lakukan semau kalian," timpalku pasrah seraya kembali hendak naik ke lantai atas. “Toh aku juga hanya boneka yang kalian manfaatkan rahimnya,” lanjutku bergumam dan sudah pasti hanya aku sendiri yang mendengar.
"Sudah makan malam, belum?" tanya Farhan lagi dengan suara agak keras.
"Sudah!" sahutku singkat. Sungguh, aku malas bahkan untuk berbasa-basi.
Di dekat stasiun tadi aku memang sempat mampir ke warung penjual Sate Padang dan makan di sana tanpa membungkus untuk di bawa pulang. Sekali lagi, aku tidak tahu bagaimana selera kedua housemate-ku itu. Jadi, untuk apa aku repot-repot membawakan?
Malam semakin larut, aku tak lagi keluar kamar dan bersiap-siap untuk terlelap. Seandainya setiap hari berjalan seperti hari ini, pasti aku tak akan keberatan, karena intensitasku bertemu suami dan madu sangat sebentar sekali.
Sayangnya, tak semua bisa berjalan sesuai keinginanku.
Keesokan paginya kuawali dengan hal yang serupa seperti kemarin. Tetap dengan disambut suara aduhai dari kamar sebelah tepat saat membuka mata.Ralat, semalam aku juga sempat terbangun saat mendengar suara serupa dan harus kembali mengenakan earphone supaya bisa tidur lebih nyaman tanpa gangguan.“Kapan mereka tidurnya?” gumamku sambil menggelengkan kepala tak habis pikir.Hebat sekali suami dan maduku. Pernikahan mereka sudah berjalan hampir empat tahun, tetapi intensitas hubungan suami istri mereka masih tinggi.Tiba-tiba aku jadi penasaran, vitamin apa yang mereka konsumsi sampai bisa sekuat itu? Olahraga apa yang mampu menjaga tubuh keduanya tetap bugar. Mungkin olahraga malam itulah jawabannya.“Semoga ada keajaiban, usaha keras mereka membuahkan hasil dan rahim Nayla kuat, supaya aku bisa lepas dari hubungan segitiga aneh ini,” doaku tulus.Sudahlah, kenapa pula memikirkan hal itu. Lebih baik aku bergegas dan mengabaikan suara-suara indah mereka. Hari ini sudah ada rencana yang
Sudah sekitar satu minggu aku berhasil kucing-kucingan dengan Farhan yang kukuh ingin mengantar jemput.Salah satu alasan yang membuatku selalu enggan selain takut semakin terikat padanya adalah Nayla. Wanita itu selalu memberikan tatapan tidak menyenangkan, jika Farhan mulai mendesakku.Karena kesulitan menolak, satu-satunya yang kubisa hanya menghindar. Sayangnya, usaha itu seperti sia-sia di minggu ke dua.Bagaimanapun aku dan Farhan memiliki kerjasama yang harus diselesaikan. Aku tak mampu berkelit lagi, karena meeting dijadwalkan pagi ini di kantorku.Mau tak mau kami berangkat bertiga dengan terlebih dahulu mengantarkan Nayla ke butiknya. Wanita itu adalah seorang desainer dan pemilik butik ready to wear.“Awas ya kalau macem-macem!” ancam Nayla saat hendak turun dari mobil.“Macam-macam juga sama istri, Dek,” sahut Farhan seolah tanpa beban.“Maaas!” Nayla menegur dengan nada manjanya. Wajah pun ditekuk dan bibirnya mengerucut.Kubuang pandangan ke samping, pura-pura tak menden
“Nanti sore gak perlu jemput. Aku malas macet-macetan begini,” ujarku beberapa saat kemudian saat laju kendaraan tak sampai tiga puluh kilometer per jam. “Kenapa sih kamu gak mau banget aku antar jemput, sampai harus mengarang alasan supaya bisa menghindar?” tanya Farhan tanpa menyetujui permintaanku. “Males macet,” jawabku singkat dan konsisten. “Pasti gak cuma itu,” tebak pria yang sesekali menengok dan menatapku. “Kamu takut sama Nayla?” Tanpa perlu aku bersuara, harusnya dia sudah bisa memperkirakan jawaban yang akan terlontar dari bibirku. “Sebentar lagi dia pasti bisa ikhlas, bagaimanapun Nayla sendiri yang membawamu dalam pernikahan kami. Terima ataupun tidak, kalian sama-sama istriku dan kewajibanku adalah adil pada kalian. Ya meskipun aku tahu yang namanya adil itu sulit,” ungkap Farhan diakhiri dengan senyuman lembut. “Aku sedang berusaha semampuku. Jadi, maaf kalau masih banyak kekurangan.” “Tidak perlu berusaha terlalu kera
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi dan semua orang yang terlibat dalam proyek iklan kerjasama perusahaan kami telah berkumpul di ruang rapat. Meski pernah mundur, tapi anggota timku telah memberikanbriefingsupaya tak terlalu tertinggal. Lagi pula, sejak semalam Farhan juga sudah mengajakku berdiskusi saat di rumah, padahal sudah cukup larut saat aku pulang. Namun, aku juga cukup berterima kasih, karena setidaknya di rapat ini aku bisa mengikuti dengan baik. “Sesuai dengan produk yang akan dipasarkan, dari tim kami sepakat jika pengambilan gambar dilakukan di pantai. Ada beberapa pilihan lokasi yang masih belum bisa kami putuskan, yaitu antara Lombok, Belitung, dan Kepulauan Kei,” ujar Tara, anggota tim Farhan. Aku tersenyum kecil. Ketiga tempat itu sangat indah dan cocok untuk promosi produksunscreenyang akan mereka luncurkan. Namun, haruskah sejauh itu? Satu hal yang kupikirkan adalah kemungkinan aku d
Melihat kepalaku yang celingukan, Aldo melambaikan tangan, memanggilku mendekat. Kuulas senyum ramah saat menghampiri rombongan. Namun, senyum itu luntur saat kutemukan sosok Farhan ternyata masih ada di sana, di tengah-tengah tim kami. Dahiku mengernyit, mengisyaratkan tanya akan keberadaan pria itu. Hanya saja, Farhan malah mengedikkan bahu acuh tak acuh. Pria itu kemudian menggeser duduknya dan menepuk kursi kayu itu, memintaku duduk di sana. Keraguan segera menyergap. Aku tak ingin ada yang curiga mengenai hubungan kami. Sebelumnya aku memang tak memberitahu siapa pun mengenai pernikahan anehku dengan Farhan. Bahkan aku juga terkejut saat bu Shasa mengetahuinya. “Malu-malu banget sih, Mbak Za? Duduk saja, kami sudah tahu kok,” ujar Aldo terdengar menggoda. Dahiku semakin mengernyit tidak paham, sementara kakiku masih lurus menjulang di samping meja, belum juga duduk di kursi yang Farhan sediakan. “Kalau Pak Farhan gak bilang, k
"Hanya saja, aku masih tidak nyaman dengan status saat ini," tambahku kemudian."Kenapa? Karena kamu bukan satu-satunya?" Farhan memastikan.Meski tidak memberikan jawaban untuk memastikan, tapi hati kecil ini membenarkan. Seberapa keras pun aku mencoba, rasanya masih sulit sekali menerima status sebagai istri kedua. Memangnya ada perempuan yang ikhlas menjadi yang kedua dan berbagi suami, kecuali mereka yang ada maunya?“Tak perlu merisaukan hal itu, karena orang akan mengenalmu sebagai satu-satunya istriku,” ujar Farhan yang seketika memantik penasaran dalam benakku.“Apa maksudmu?”Farhan mengedikkan bahu seraya menghela napas panjang. “Meskipun kami sudah menikah selama empat tahun, tapi tidak ada yang benar-benar mengetahui wajah Nayla. Kami tidak pernah muncul berdua di depan rekan kerjaku, karena dia tidak suka. Risih katanya kalau harus berbasa-basi dengan orang yang tidak dikenal.”“Te
Farhan menghela napasnya kasar. Kepalanya menunduk dan aku tak mampu menangkap bagaimana ekspresinya saat ini. Sikapnya masih tenang, meski sebelah tangan kini memijit tengkuknya.“Maafkan aku,” ujar pria itu sesaat kemudian. “Seharusnya aku lebih gigih menolak permintaan Nayla untuk menikahimu. Seharusnya kamu bisa menikah dengan pria yang lebih baik dan menjadi satu-satunya. Maafkan aku.”Aku turut menghela napas panjang. Tak ada yang perlu disesali, jadikan masa lalu sebagai pelajaran agar hidup bisa lebih baik di kemudian hari. Itulah prinsipku dan sampai kapan pun tak akan berubah. Menyesal tak akan memperbaiki keadaan bukan?“Setidaknya aku tak akan dicap sebagai gadis rasa janda setelah berpisah darimu nanti,” balasku ringan.Statusku akan menjadi janda, jadi pria yang akan menjadi suamiku nanti tak akan merasa tertipu saat mendapati diri ini sudah tak lagi suci. Berbeda jika statusku masih gadis, tapi ternyata s
Setelah menyesuaikan semua jadwal, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Sekitar pukul sepuluh pagi, kami bertiga telah sampai di sebuah rumah sakit ibu dan anak swasta bertaraf internasional.Melihat dari kelasnya, aku bisa memastikan jika tempat ini akan mengeruk kantong cukup dalam. Bahkan di tempat yang biasa-biasa saja, proses bayi tabung bisa memakan biaya dari delapan hingga sembilan digit angka dalam rupiah.Kukedikkan bahu tak acuh. Biaya bukanlah sebuah masalah, karena aku tak ikut membayar. Semua ditanggung oleh Farhan dan Nayla sebagai pemilik embrio, aku hanya penyedia tempat tumbuh kembang. Bahkan harusnya akulah yang dibayar. Setidaknya itulah yang kuketahui tentang skema ibu pengganti di luar negeri sana."Apakah Anda memiliki penyakit bawaan?" tanya dokter yang bertugas padaku setelah melalui serangkaian pemeriksaan dasar."Apa jantung lemah bisa menurun? Ayah saya menderita penyakit itu, tapi selama ini saya tidak pernah mengal