Keesokan paginya kuawali dengan hal yang serupa seperti kemarin. Tetap dengan disambut suara aduhai dari kamar sebelah tepat saat membuka mata.
Ralat, semalam aku juga sempat terbangun saat mendengar suara serupa dan harus kembali mengenakan earphone supaya bisa tidur lebih nyaman tanpa gangguan.
“Kapan mereka tidurnya?” gumamku sambil menggelengkan kepala tak habis pikir.
Hebat sekali suami dan maduku. Pernikahan mereka sudah berjalan hampir empat tahun, tetapi intensitas hubungan suami istri mereka masih tinggi.
Tiba-tiba aku jadi penasaran, vitamin apa yang mereka konsumsi sampai bisa sekuat itu? Olahraga apa yang mampu menjaga tubuh keduanya tetap bugar. Mungkin olahraga malam itulah jawabannya.
“Semoga ada keajaiban, usaha keras mereka membuahkan hasil dan rahim Nayla kuat, supaya aku bisa lepas dari hubungan segitiga aneh ini,” doaku tulus.
Sudahlah, kenapa pula memikirkan hal itu. Lebih baik aku bergegas dan mengabaikan suara-suara indah mereka. Hari ini sudah ada rencana yang harus segera direalisasikan.
Buru-buru aku menjalankan rutinitas pagi serta bersiap. Pukul enam kurang beberapa menit aku telah siap memulai hari.
Kuambil gawai dan segera memesan ojek online untuk mengantar ke stasiun. Meskipun jaraknya dari rumah hanya dua kilometer, tapi dari pada aku kelelahan sebelum war masuk ke gerbong KRL.
“Dapat,” gumamku berbinar setelah orderanku diterima lalu segera keluar kamar.
Tanpa menuju dapur, kulangkahkan kaki ini menuju pintu depan dengan agak tergesa sekaligus hati-hati, tak ingin mengganggu penghuni lain yang mungkin masih saling bermesraan.
Sayang, rencana itu tak berjalan dengan mulus.
“Ira, mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya suara baritone milik suamiku, Farhan.
Terpaksa aku berhenti sebentar sebelum meraih gagang pintu lalu berbalik. Pria itu terlihat segar dengan rambut basah, tetapi masih mengenakan pakaian rumahan.
“Kantor,” jawabku singkat tanpa menambahkan basa-basi, tetapi dengan nada yang masih bersahabat.
“Masih jam segini sudah berangkat? Tunggulah aku dan Nayla sarapan dulu, kita berangkat bareng seperti kataku semalam,” bujuk Farhan yang kubalas dengan gelengan.
Supaya terlihat meyakinkan, aku juga menengok arloji di pergelangan tangan kiri. “Aku ada meeting pagi, harus berangkat lebih awal,” kilahku.
“Sarapan dulu, magmu bisa kambuh kalau telat makan.” Farhan mengingatkan sembari berjalan mendekat. “Aku bikinin roti isi, mau?” tawarnya.
Mataku melirih ke ujung tangga bagian atas, terlihat kaki Nayla sudah mulai turun ke bawah. Segera kugelengkan kepala untuk menolak.
“Gampang, aku bisa beli di luar.”
“Roti isi bentar doang, kok. Tunggu, ya!” bujuknya seraya melangkah ke arah dapur.
Sekali lagi aku menggeleng dan menunjukkan raut cemas. “Gak keburu, Han, udah ditungguin ojol juga. Duluan, ya! Assalamualaikum.”
Kulambaikan tangan sekenanya lalu berbalik dan membuka pintu tanpa menghiraukan pria bergelar suami tersebut. Sempat terdengar beberapa langkah di belakangku, tetapi segera berhenti. Entah apa yang terjadi, aku tak ingin mencari tahu.
Kuhela napas lega begitu raga ini sudah berada di luar pagar rumah. Akhirnya pagi ini aku berhasil menghindar. Lebih baik berangkat jauh lebih awal dan pulang terlambat daripada harus semobil bertiga dengan suami dan madu. Bahkan berdua pun sebisa mungkin aku akan menghindar.
“Hati, kuatlah! Jangan tergoda pada suami orang!”
Alam bawah sadar ini tak pernah lelah mengingatkan supaya aku meminimalisir kebersamaan bersama mereka.
Aku pernah mencintai Farhan, bukan tak mungkin rasa itu akan hadir kembali jika terus berinteraksi dengannya. Cukup saat bekerja secara profesional saja, tak perlu lebih. Aku tidak siap jika benar-benar sampai jatuh cinta pada pria beristri.
Sudah sekitar satu minggu aku berhasil kucing-kucingan dengan Farhan yang kukuh ingin mengantar jemput.Salah satu alasan yang membuatku selalu enggan selain takut semakin terikat padanya adalah Nayla. Wanita itu selalu memberikan tatapan tidak menyenangkan, jika Farhan mulai mendesakku.Karena kesulitan menolak, satu-satunya yang kubisa hanya menghindar. Sayangnya, usaha itu seperti sia-sia di minggu ke dua.Bagaimanapun aku dan Farhan memiliki kerjasama yang harus diselesaikan. Aku tak mampu berkelit lagi, karena meeting dijadwalkan pagi ini di kantorku.Mau tak mau kami berangkat bertiga dengan terlebih dahulu mengantarkan Nayla ke butiknya. Wanita itu adalah seorang desainer dan pemilik butik ready to wear.“Awas ya kalau macem-macem!” ancam Nayla saat hendak turun dari mobil.“Macam-macam juga sama istri, Dek,” sahut Farhan seolah tanpa beban.“Maaas!” Nayla menegur dengan nada manjanya. Wajah pun ditekuk dan bibirnya mengerucut.Kubuang pandangan ke samping, pura-pura tak menden
“Nanti sore gak perlu jemput. Aku malas macet-macetan begini,” ujarku beberapa saat kemudian saat laju kendaraan tak sampai tiga puluh kilometer per jam. “Kenapa sih kamu gak mau banget aku antar jemput, sampai harus mengarang alasan supaya bisa menghindar?” tanya Farhan tanpa menyetujui permintaanku. “Males macet,” jawabku singkat dan konsisten. “Pasti gak cuma itu,” tebak pria yang sesekali menengok dan menatapku. “Kamu takut sama Nayla?” Tanpa perlu aku bersuara, harusnya dia sudah bisa memperkirakan jawaban yang akan terlontar dari bibirku. “Sebentar lagi dia pasti bisa ikhlas, bagaimanapun Nayla sendiri yang membawamu dalam pernikahan kami. Terima ataupun tidak, kalian sama-sama istriku dan kewajibanku adalah adil pada kalian. Ya meskipun aku tahu yang namanya adil itu sulit,” ungkap Farhan diakhiri dengan senyuman lembut. “Aku sedang berusaha semampuku. Jadi, maaf kalau masih banyak kekurangan.” “Tidak perlu berusaha terlalu kera
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi dan semua orang yang terlibat dalam proyek iklan kerjasama perusahaan kami telah berkumpul di ruang rapat. Meski pernah mundur, tapi anggota timku telah memberikanbriefingsupaya tak terlalu tertinggal. Lagi pula, sejak semalam Farhan juga sudah mengajakku berdiskusi saat di rumah, padahal sudah cukup larut saat aku pulang. Namun, aku juga cukup berterima kasih, karena setidaknya di rapat ini aku bisa mengikuti dengan baik. “Sesuai dengan produk yang akan dipasarkan, dari tim kami sepakat jika pengambilan gambar dilakukan di pantai. Ada beberapa pilihan lokasi yang masih belum bisa kami putuskan, yaitu antara Lombok, Belitung, dan Kepulauan Kei,” ujar Tara, anggota tim Farhan. Aku tersenyum kecil. Ketiga tempat itu sangat indah dan cocok untuk promosi produksunscreenyang akan mereka luncurkan. Namun, haruskah sejauh itu? Satu hal yang kupikirkan adalah kemungkinan aku d
Melihat kepalaku yang celingukan, Aldo melambaikan tangan, memanggilku mendekat. Kuulas senyum ramah saat menghampiri rombongan. Namun, senyum itu luntur saat kutemukan sosok Farhan ternyata masih ada di sana, di tengah-tengah tim kami. Dahiku mengernyit, mengisyaratkan tanya akan keberadaan pria itu. Hanya saja, Farhan malah mengedikkan bahu acuh tak acuh. Pria itu kemudian menggeser duduknya dan menepuk kursi kayu itu, memintaku duduk di sana. Keraguan segera menyergap. Aku tak ingin ada yang curiga mengenai hubungan kami. Sebelumnya aku memang tak memberitahu siapa pun mengenai pernikahan anehku dengan Farhan. Bahkan aku juga terkejut saat bu Shasa mengetahuinya. “Malu-malu banget sih, Mbak Za? Duduk saja, kami sudah tahu kok,” ujar Aldo terdengar menggoda. Dahiku semakin mengernyit tidak paham, sementara kakiku masih lurus menjulang di samping meja, belum juga duduk di kursi yang Farhan sediakan. “Kalau Pak Farhan gak bilang, k
"Hanya saja, aku masih tidak nyaman dengan status saat ini," tambahku kemudian."Kenapa? Karena kamu bukan satu-satunya?" Farhan memastikan.Meski tidak memberikan jawaban untuk memastikan, tapi hati kecil ini membenarkan. Seberapa keras pun aku mencoba, rasanya masih sulit sekali menerima status sebagai istri kedua. Memangnya ada perempuan yang ikhlas menjadi yang kedua dan berbagi suami, kecuali mereka yang ada maunya?“Tak perlu merisaukan hal itu, karena orang akan mengenalmu sebagai satu-satunya istriku,” ujar Farhan yang seketika memantik penasaran dalam benakku.“Apa maksudmu?”Farhan mengedikkan bahu seraya menghela napas panjang. “Meskipun kami sudah menikah selama empat tahun, tapi tidak ada yang benar-benar mengetahui wajah Nayla. Kami tidak pernah muncul berdua di depan rekan kerjaku, karena dia tidak suka. Risih katanya kalau harus berbasa-basi dengan orang yang tidak dikenal.”“Te
Farhan menghela napasnya kasar. Kepalanya menunduk dan aku tak mampu menangkap bagaimana ekspresinya saat ini. Sikapnya masih tenang, meski sebelah tangan kini memijit tengkuknya.“Maafkan aku,” ujar pria itu sesaat kemudian. “Seharusnya aku lebih gigih menolak permintaan Nayla untuk menikahimu. Seharusnya kamu bisa menikah dengan pria yang lebih baik dan menjadi satu-satunya. Maafkan aku.”Aku turut menghela napas panjang. Tak ada yang perlu disesali, jadikan masa lalu sebagai pelajaran agar hidup bisa lebih baik di kemudian hari. Itulah prinsipku dan sampai kapan pun tak akan berubah. Menyesal tak akan memperbaiki keadaan bukan?“Setidaknya aku tak akan dicap sebagai gadis rasa janda setelah berpisah darimu nanti,” balasku ringan.Statusku akan menjadi janda, jadi pria yang akan menjadi suamiku nanti tak akan merasa tertipu saat mendapati diri ini sudah tak lagi suci. Berbeda jika statusku masih gadis, tapi ternyata s
Setelah menyesuaikan semua jadwal, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Sekitar pukul sepuluh pagi, kami bertiga telah sampai di sebuah rumah sakit ibu dan anak swasta bertaraf internasional.Melihat dari kelasnya, aku bisa memastikan jika tempat ini akan mengeruk kantong cukup dalam. Bahkan di tempat yang biasa-biasa saja, proses bayi tabung bisa memakan biaya dari delapan hingga sembilan digit angka dalam rupiah.Kukedikkan bahu tak acuh. Biaya bukanlah sebuah masalah, karena aku tak ikut membayar. Semua ditanggung oleh Farhan dan Nayla sebagai pemilik embrio, aku hanya penyedia tempat tumbuh kembang. Bahkan harusnya akulah yang dibayar. Setidaknya itulah yang kuketahui tentang skema ibu pengganti di luar negeri sana."Apakah Anda memiliki penyakit bawaan?" tanya dokter yang bertugas padaku setelah melalui serangkaian pemeriksaan dasar."Apa jantung lemah bisa menurun? Ayah saya menderita penyakit itu, tapi selama ini saya tidak pernah mengal
Sejak pemeriksaan pertama di obgyn waktu itu, aku sudah mengonsumsi vitamin yang katanya bisa menguatkan rahim. Ada juga suntikan khusus yang diinjeksikan beberapa kali pada bagian perutku. Istimewa sekali rasa nyerinya, apalagi aku sendiri yang menyuntikkan ke perutku.Awalnya dokter hendak mengajari Farhan sebagai suamiku, supaya dia yang melakukan injeksi. Namun, sudah pasti Nayla mencegah. Ia tak ingin melihat suaminya menyentuhku, meski itu untuk kepentingan mereka.Wanita itu pun menawarkan diri untuk menyuntikku. Kali ini akulah yang menolak. Bukan apa-apa, aku hanya takut dia sedang emosi, lalu sengaja menyuntik bagian yang salah. Jantung misalnya. Bisa-bisa sebelum menjadi janda, aku sudah lebih dulu jadi almarhum.“Sakit?” tanya Farhan sambil meringis, seolah ikut merasakan nyeri saat proses injeksi sedang kulakukan di kamar.Pria itu serta maduku datang. Katanya menemani dan memberikan dukungan, tapi mungkin juga hanya s