Tidak terasa sudah satu tahun Zarhana bekerja di rumah Ibra. Raka juga sudah bisa jalan dan berlari meski sering jatuh, Tuan Arta juga senang dan sering bermain dengan balita tersebut. Dia sudah biaa bicara meski belum lancar, begitu juga dengan jalannya sudah bisa keluar dari kamarnya sendiri."Nda! Nda!"Teriak Raka di dapur memanggil Zahrana. Zahrana hanya menoleh, dia sedang menyiapkan makanan untuk Tuan Arta. Dia tersenyum ketika balita itu berlari mendekat padanya sambil membawa mainan mobil-mobilan."Raka bawa apa?" tanya Zahrana."Mbil, mbil." ucap balita itu menyebut mobil dengan bahasa cadelnya."Waah, dari siapa mobilnya?" tanya Zahrana."Bi Yam." jawab Raka dengan gemas."Ya ampun, bi Iyam selalu belikan mainan buat Raka terus ya. Bilang apa Raka sama bi Iyam?" tanya Zahrana lagi."Cih, mbi Yam cih.""Hahah, pintar sekali ya anak bunda. Sekarang bunda mau ke kamar opa ya, Raka mau ikut?" tanya Zahrana."Kut!""Ayo ke kamar opa." ucap Zahrana.Dia berjalan pelan membawa nam
Zahrana melihat terminal, mengedarkan pandangannya sebelum dia turun dari mobil angkot. Dia melihat pada supir angkot."Terus, saya naik apa bang kalau mau ke pusat kota?" tanya Zahrana pada supir angkot."Naik angkot B12, nanti berhenti tepat di kantor yang mbak tunjukin tadi." jawab supir angkotnya."Oh, terima kasih bang." jawab Zahrana."Iya mbak, hati-hati kalau ada copet ya. Soalnya copet tahu orang yang baru naik angkot, dia akan lengah." kata supir angkot lagi mengingatkan Zahrana.Gadis itu mengapit tasnya, melihat ke sekeliling lalu memberikan ongkos angkotnya. Dia pun keluar masih menggapit tasnya agar tidak di copet seperti apa yang di katakan oleh supir angkot itu.Mencari mobil angkot sesuai dengan apa yang di katakan supir angkot tadi. Dia melihat sekeliling, ternyata ada di seberang jalan. Zahrana berjalan cepat menuju mobil angkot yang di maksud. Dia mendekat dan bertanya pada sang supir."Ini angkot B12 ya bang? Lewat pusat kota?" tanya Zahrana."Oh, iya mbak. Mbak m
Zahrana duduk di kursi meja makan, wajahnya masih menunduk dalam. Rasa bersalah masih bergelayut di pikirannya, kenapa bisa dia pergi sedangkan di rumah bi Iyam memang bukan pembantu yang khusus menjaga Tuan Arta.Adakalanya memang perempuan itu harus meninggalkan Tuan Arta karena pekerjaan lainnya di rumah itu.Raka berjalan mendekati Zahrana yang duduk lesu di kursi meja makan. Berharap dia tidak di pecat dari rumah itu, dia ingin tahu nama laki-laki yang ada di kartu nama itu. Tapi insiden jatuhnya Tuan Arta justru membuat dia dalam kebingungan."Nda, nda." ucap balita itu menarik baju Zahrana.Zahrana menoleh ke arah Raka, dia tersenyum dan menggendong balita tersebut. Mencium pipinya beberapa kali, membuat Raka tertawa dan menghindar karena geli dengan ciuman bertubi-tubi dari Zahrana."Nda, dah, akiit." ucap Raka dengan cedalnya."Bunda gemas sama Raka. Kenapa kamu ganteng banget sih, mmuuah." ucap Zahrana kembali mencium pipinya."Zahra."Suara Bi Iyam mengagetkan gadis itu. Di
"Kenapa kamu ada di sini?!" Teriakan Mischa dengan tangannya menarik pundak Zahrana membuat gadis itu kaget. Dia menoleh ke belakang, lalu bangkit dari duduknya dan mundur ke belakang sambil menunduk. Tatapan tajam Mischa membuat Zahrana harus bergeser menuju tempat lain, menggendong Raka menjauh dari bangsal Tuan Arta. "Kamu sebaiknya pergi dari kamar ini, jangan ada di kamar ini lagi. Kakek pingsan itu karena gara-gara kamu lalai menjaga kakekku!" ucap Mischa keras pada Zahrana. Gadis itu diam saja, dia menutupi wajah Raka agar tidak mendengar omelan Mischa padanya. Bi Iyam menarik tangan Zahrana agar keluar lebih dulu agar Mischa tidak marah terus padanya di dalam kamar itu. "Mischa, jaa ngaan ma rahi Zah ra." ucap Tuan Arta terbata. "Tapi dia yang membuat kakek jatuh dan pingsan di kamar mandi. Dia pergi kemana sampai tidak bisa menjaga kakek di kamar." kata Mischa masih kesal pada Zahrana. "Su dah, jangan marah sa ma dia. Kakek min ta dia te tap men ja
Zahrana masih di rumah sakit, kemarin dia di suruh datang lagi ke rumah sakit oleh Tuan Arta menemaninya, meski harus bawa Raka. Kata dokter Samuel, tidak masalah asal bisa membantu Tuan Arta sembuh secara cepat.Kini dia menunggu bi Iyam datang menggantikan dirinya menjaga tuan Arta. Karena sejak dirinya di marahi oleh Mischa, gadis itu tidak mau datang lagi ke rumah sakit kalau bukan kakeknya yang meminta datang. Dan ternyata, laki-laki tua itu tidak pernah meminta Mischa datang menungguinya di rumah sakit.Hanya Ibra saja jika malam hari, di pagi dan siang hari Zahrana dan Bi Iyam. Entah sekesal apa Mischa pada Zahrana, sehingga dia tidak mau datang lagi ke rumah sakit menjenguk kakeknya."Tuan Besar sedang tidur, Bi Iyam kapan datang ya." ucap Zahrana.Dia memegangi ponselnya, ingin menghubungi Bi Iyam.Tuuut."Halo?""Bibi sudah di jalan? Saya mau ke kantin dulu Bi, lapar. Kasihan Raka juga belum makan sejak datang kesini." kata Zahrana di telepon."Ini Bibi sudah di depan kamar
Sepanjang perjalanan di dalam angkot, Zahrana memikirkan ucapan satpam itu. Kalau pemilik gedung kantor megah itu adalah Artur Ibrahim Jayaningrat. Atau di panggil sehari-hari adalah Ibra, dan yang membuatnya bingung apakah laki-laki itu adalah papanya Raka? "Ini tidak mungkin, bagaimana bisa kak Rania bertemu dengan tuan Ibra? Apa sebenarnya yang terjadi dengan kak Rania dan tuan Ibra dulu. Apa mereka saling kenal? Atau sebenarnya kak Rania itu adalah menantu terbuang keluarga Arta?" gumam Zahrana. Dalam lamunannya, dia memikirkan Ibra yang bersikap dingin. Jarang sekali dia melihat majikannya itu tersenyum, tapi sewaktu di rumah sakit itu. Tatapan laki-laki itu seakan mengetahui sesuatu. "Sampai mbak." ucap supir angkot membuyarkan lamunan Zahrana. "Oh ya bang." ucap Zahrana. Dia mengambil uang dalam dompetnya dan menyerahkan pada supir angkot. Dia pun turun dari mobil angkot tersebut, berdiri di depan rumah megah dengan pagar masih tertutup. Ragu dia ingin masuk
Sikap Ibra pada Zahrana semakin dingin setelah kakeknya tetap menganggap anak Zahrana adalah cucunya. Apa lagi Mischa, dia sangat membenci gadis berkerudung tersebut. Dan Zahrana tahu kalau kedua cucu dari majikan besarnya membencinya karena Raka sudah di anggap cucu di rumah besar itu.Hari Minggu, Zahrana sedang menyiapkan makanan untuk Tuan Arta. Raka bermain bebas di rumah itu, berkeliling di rumah karena sedang aktif-aktifnya. Dia berlari kesana kemari dan menaiki sofa serta mainan berserakan di mana-mana.Bi Iyam yang mengetahui itu pun menarik Raka agar tidak bermain berkeliaran di dalam rumah. Serta membereskan mainan yang berserakan."Raka, ayo sini. Jangan main-main di kursi." kata Bi Iyam."Iya Bi Yam, Aka tulun." ucap balita tersebut.Bi Iyam tersenyum, meski balita laki-laki itu bermain tak terkendali. Tapi jika di ingatkan akan menurut dan pergi. Bi Iyam menarik tangan Raka dan membawanya ke dapur, perempuan berusia empat puluh delapan itu mengambil puding dalam kulkas d
Zahrana hanya diam saja, ketika tahu Raka bermain dengan Ibra. Ibra sendiri terkejut dengan kedatangan Zahrana yang di anggap ibu oleh Raka. Yang awalnya tertawa senang, tapi kini berubah datar dan dingin kembali. Menatap Zahrana lalu berbalik menceburkan diri ke dalam kolam renang."Unda, ayah om andi." kata Raka menunjuk Ibra berenang."Raka kenapa ada di sini? Ayo masuk lagi ke dalam. Nanti kecebur ke kolam renang lagi, dalam kolamnya sayang." kata Zahrana."Ada ayah om, unda." jawab Raka."Kata siapa ayah om? Siapa yang ngajarin Raka panggil tuan muda ayah om?" tanya Zahrana."Aka.""Jangan panggil ayah om, ngga sopan." kata Zahrana menggendong Raka dan melangkah pergi masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang.Bi Iyam melihat wajah Zahrana sedikit kesal pada Raka yang bermain di kolam renang tanpa sepengetahuannya."Dia sedang bermain dengan Tuan Ibra, Zahra. Ngga akan di biarkan begitu saja kalau Raka jatuh ke dalam kolam renang." kata Bi Iyam."Iya Bi, sekarang ada Tuan Ibra.