Zefanya, gadis yang telah berganti tampilan itu kembali menjadi penumpang. Ia duduk tenang di sebelah Zeino yang sedang mengendarai mobilnya. Perjalanan sunyi tanpa kata memaksa lantunan suara merdu penyanyi dari playlist yang diputar merajai ruang itu. Kesal di dada yang memaksa Zeino untuk memilih memulangkan Zefanya lebih awal dari waktu yang diperkirakan.
Candaan Dito yang mengungkit kebersamaannya dengan seorang mahasiswa baru beberapa waktu yang lalu membangkitkan emosi Zeino. Dia seakan dijadikan terdakwa atas tuduhan mendua. Padahal Zefanya sendiri mengetahui dan tidak pernah membesarkan masalah itu. Pacarnya itu cukup mengerti dengan penjelasan singkat yang ia sampaikan. Jika dia dan Talita, juniornya di kampus, hanya kebetulan bertemu. Lagi pula gadis yang baru memulai perkuliahan itu adalah anak dari kolega orang tuanya. Sehingga tak heran jika mereka sudah terlihat akrab.
“Ayo habiskan. Setelah itu kita pulang.”
Begitu Zeino berkata setelah kembali menegak cairan dari kaleng soft drink untuk membantu menelan kunyahan terakhirnya.
Zee yang bisa menangkap suasana hati Zeino yang sedang tidak baik, menurut. Tak mau ia membantah. Lagi pula bukankah dari sebelum berangkat dia meminta untuk tidak pulang larut malam.
Keberadaan ibunda Zefanya yang sendiri di rumah menjadi alasan yang bagus untuk disampaikan pada teman mereka yang lain. Sehingga, baik tuan rumah dan tamu – tamu yang hadir tidak keberatan untuk melepas pasangan itu pulang. Meskipun setelah itu mereka saling sikut dan menyalahkan satu sama lain atas keusilan yang berbuah raut kesal di wajah Zeino.
Kendaaran roda empat itu berhenti sebelum mencapai tujuan. Rumah Zefanya masih berada di beberapa blok di depan sana. Zeino menarik rem tangan setelah menepi di dekat taman komplek. Tatapan menyelidik Zefanya tertuju ke arah pemuda di belakang kemudi seakan berusaha mencari jawaban.
“Mau beli minum bentar, haus.” Kalimat itu mengantar tubuh Zeino yang bergerak membuka pintu mobil.
“Haus? Mengapa ga di rumah aja minumnya. Kan udah mau nyampe,” gumam Zefanya terheran.
Tergerak oleh rasa penasaran, Zefanya pun ikut keluar dari mobil. Ia melangkah mendekati Zeino yang tengah bertransaksi dengan pedagang kaki lima. Gadis itu memilih duduk di kursi beton yang tersedia di pinggir taman di bawah sebuah tiang lampu penerangan. Dari sana ia menyaksikan lembaran rupiah yang disodorkan Zeino berganti dengan dua botol minuman dingin yang telah dilengkapi sedotan.
Berdampingan keduanya duduk di kursi beton. Serentak keduanya menyeruput minuman dingin melalui sedotan. Sungguh estetik jika diabadikan dalam sebuah frame. Sempurna tata letak dan bias cahaya berkat temaran lampu jalan yang menjulang. Sesempurna keserasian jika keduanya tidak beradu kesal.
“Jadi liburnya kapan?” Pemuda itu bertanya sambil melirik sekilas pada gadis di sebelahnya.
“Off-nya nanti Senin dan Selasa.” Sang gadispun menjawab sambil menolehkan wajah.
“Besok mau dijemput?” Pertanyaan yang terlontar terdengar biasa. Seperti tawaran seorang kekasih pada gadisnya.
“Hmm bukannya hari Minggu sore Kak Zeino ada jadwal maen futsal sama yang lain?” Jawaban yang berupa pertanyaan yang memungkinkan sebagai cara menolak halus meluncur dari bibir Zefanya.
“Atau mau diantar?” Zeino kembali bertanya dengan nada yang sama.
“Ga usah Kak, besok aku bawa motor, ‘kan masuk pagi. Jam enam sudah berangkat."
Zeino menghela napas sebelum kembali menyeruput minuman dingin di tangannya. Zefanya mencoba menerka suasana hati pemuda di sampingnya saat ini.
“Kakak hari Senin ngampus, 'kan? Jadi janjian sama Pak Luther untuk bimbingan?”
Sebuah anggukan lemah menjawab kalimat tanya itu.
“Ya udah, nanti aku temenin, ya.”
Kedua sudut bibir pemuda itu tertarik menciptakan sebuah lengkung dan tatapan teduh. Tak lama, tangan pemuda itu meraih botol minuman dari tangan Zefanya. Lalu ia berdiri dan berjalan ke arah pedagang kaki lima di pinggir trotoar untuk mengembalikan kedua botol kosong itu.
Kedua muda-mudi itu kembali berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka duduk. Langkah mereka melambat ketika sepasang muda-mudi lain melintas dan berhenti tak jauh dari mereka. Keduanya juga terlihat seperti sepasang kekasih. Namun tingkah mereka yang saling bergelayut manja sangat jauh berbeda dengan sikap Zefanya dan Zeino yang masih berjarak ketika berjalan.
Entah pikiran apa yang terbersit dalam benak Zeino dan Zefanya, keduanya sama-sama memalingkan wajah tak mau menatap lama pada pasangan kekasih di dekat mereka. Langkah kakinya berayun lebih cepat menuju kendaraan yang masih setia menunggu.
Jarak taman yang tak sampai empat ratus meter dari rumah Zefanya, membuat dalam hitungan menit mereka telah berjumpa dengan rumah minimalis bertingkat dua yang tak terlalu besar.
“Kakak mau mampir dulu?” tawar Zefanya pada Zeino.
“Lain kali ya, sudah malam. Kamu 'kan besok harus kerja. Salam aja buat Bunda.”
Bersamaan keduanya lalu membuka pintu. Walaupun tak singgah, Zeino tetap keluar dari mobil untuk mengantarkan Zefanya ke depan pagar yang telah tertutup. Sesampai di depan terali besi, keduanya kembali berdiri berhadapan.
“Terima kasih ya Kak, aku masuk dulu.”
Zeino tersenyum. Jemarinya terulur mengusap pucuk kepala gadis yang tengah sibuk merogoh tas jinjingnya. Sedikit kikuk mendapat perlakuan seperti itu, Zefanya menatap Zeino sambil tersenyum.
“Hmm aku masuk ya, Kak,” ijinnya lagi ketika telah menggenggam kunci di tangannya.
Zeino membantu mendorong pagar besi itu. Setelah cukup lebar untuk meloloskan tubuhnya, Zefanya pun melangkah masuk. Sekarang keduanya berdiri terpisah oleh jeruji besi. Memastikan gadisnya sudah berada di tempat yang semestinya, Zeino membalikan badan. Ia melangkah pasti menuju mobil. Sementara Zefanya masih mempertahankan posisinya.
Kaca pintu mobil Zeino di bagian samping kiri terbuka perlahan. Zefanya bisa melihat pemuda di belakang kemudi sedang menatap ke arahnya. Sebuah lambaian tangan ditemani seulas senyum manis melepas kepergian sang pemuda. Membalas dengan mengulas senyum tipis, pemuda itu pun menekan pedal gas untuk memacu tunggangannya.
Setelah menyambangi ibunya di kamar untuk sekedar bertegur sama, Zefanya lalu menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Tubuhnya langsung mencari tempat ternyaman di sela-sela bantal dan beberapa boneka yang berbagi ruang di atas ranjang.
Meluruskan punggung dan kaki yang terasa pegal setelah aktivitas seharian penuh adalah hal yang dibutuhkannya saat ini. Bekerja delapan jam dengan sepatu hak tinggi, mondar – mandir di area hotel yang luas menyapa dan membantu tamu – tamu yang membutuhkan pelayanan sudah menjadi tugas utamanya, tentu membuat letih kedua kakinya.
Hampir terpisah roh dari tubuhnya yang mulai setengah sadar di ambang alam mimpi, sebuah notifikasi dari aplikasi chat di telepon genggamnya samar merayap di indera pendengarannya. Dengan mata setengah memicing, jemari lentik Zefanya meraup benda pipih yang tergeletak di atas nakas.
Sebuah pesan yang tersemat atas nama pemuda yang hampir setengah jam yang lalu mengantarnya pulang terpampang di layar.
Good nite Zee, nice dream…..
Senyum tipis menghias wajah manis gadis yang membaca pesan itu dengan mata setengah terbuka. Jemarinya terlihat lincah mengetik seuntai kalimat balasan.
U 2 K Zeino. Good nite….
“Sweet sih, tapi suka ngatur. Bikin kesel,”lirih Zee pada diri sendiri sambil merapatkan mata dan memeluk salah satu boneka anjing berukuran besar yang merupakan hadiah dari Zeino.
Sementara di sebuah kamar lain, seorang pemuda yang juga tengah berbaring di ranjang besar menatap lekat layar telepon genggam yang menampilkan sebuah pesan yang telah dibacanya.
“Zefanya Ayunda, keras kepala,” ucapnya lirih. Entah apa maksudnya berkata seperti itu sedangkan jemarinya mengusap berkali-kali wajah yang tampil di galeri foto yang ia buka.
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh