Melengkung senyum di wajah Zeino yang telah ditutupi helm ketika sepasang tangan gadis di boncengan merengkuh pinggangnya. Ada rasa yang ingin meledak di hatinya ketika teringat bagaimana reaksi Zefanya ketika melihat Talita berada di dekatnya. Berbeda dengan saat ia dan adik kelasnya itu tak sengaja kedapatan sedang berada di café oleh pacarnya itu, kali ini Zee menampakan rasa memilikinya. Gadis itu tanpa malu-malu bergelayut manja di lengannya dengan tatapan lurus pada perempuan yang menghampiri.
“Ternyata kamu bisa cemburu juga ya, Zee,” gumam Zeino.
Kuda besi hitam legam itu terus melaju meninggalkan sorak – sorai anggota geng lainnya yang sengaja menjadikan pasangan ZA itu sebagai objek candaan. Kedatangan Zefanya ke kampus yang baru ditinggalkannya beberapa bulan, tentu saja masih mendapat sambutan yang hangat dari teman-temannya yang sedang berusaha merampungkan studinya. Termasuk dari para dosen yan
Kembali Zefanya tak bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi dengan hubungan pertemanannya dengan Zeino. Satu hari yang mereka lewati kemarin tak secara otomatis menjelaskan semuanya. Gadis itu menganggap kebersamaan mereka adalah quality time tanpa meributkan rutinitas keduanya yang sering bertolak – belakang.“Ga ada ngomong serius, Bun. Habis dari kampus, kita pergi ke pantai, makan doang.”Begitu Zefanya menjawab pertanyaan dari ibundanya ketika pagi hari di meja makan. Seperti kebiasaan ibu dan anak itu memulai hari.“Tadinya Zee mau bicara, Bun. Tapi ga jadi, lagi males. Ntar malah bertengkar lagi.” Zefanya bersungut mengakhiri kalimatnya.Ibu Kartika, wanita yang telah menjadi orang tua tunggal bagi kedua anak gadisnya sejak Zefanya anak bungsunya berusia dua bulan itu, hanya melempar senyum. Wanita paruh baya itu memang sangat terbuka dengan kedua anak
Tatapan mata Zefanya dan Zeino bertemu tatkala daun pintu yang memisahkan mereka terkuak. Keduanya menarik garis senyum di wajah mereka.“Kak Zeino duduk dulu ya, aku mau ambil tas.”Seiring anggukan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di teras rumah. Sementara Zee melangkah masuk untuk meneruskan niatnya. Selang berapa lama kemudian, gadis pemilik rumah yang tampak berpenampilan santai dengan rambut tergerai, menghampiri dengan membawa segelas air minum.“Diminum dulu, Kak.”“Kamu yakin bisa datang ke pestanya itu, Zee?” tanya Zeino setelah menyeruput setengah air di dalam gelas.“Hmm apa maksudnya bertanya seperti itu?” gumam Zee yang mengira ada niat lain dari pertanyaan itu.“Kebetulan hari itu, aku jadwal pagi. Acaranya malam 'kan, ya?”Zei
Permulaan hari telah jauh merangkak sejak kokok pertama ayam jantan terdengar. Geliat anak cucu Adam yang mulai berpencaran di muka bumi untuk mencari rejeki ditemani sang mentari yang menyemangati. Sinar penguasa hari itu turut membias di sela jendela kamar Zeino. Perlahan kelopak mata pemuda yang masih bergelung memeluk guling, mengerjap. Pandangan pertamanya di pagi hari tertuju pada jam bundar kecil yang terletak di atas nakas.Hoam!Seiring hawa napas pagi yang masih menyisakan kantuk, tangan Zeino meraih telepon genggam yang berdampingan dengan jam bekernya. Ia memeriksa aplikasi pesan yang menampilkan notifikasi kabar belum terbaca. Senyum merekah ketika mendapati gadis yang menemaninya menikmati senja di Panorama mengirim sebuah pesan yang tercatat pada pukul enam pagi. Pemuda itu mengabaikan tumpukan pesan lainnya yang juga belum terbaca.Kak Zeino, semangat ya revisinya. Jangan lupa sarapan dulu.
Gadis dalam balutan dress berwarna hitam dengan blazer berlengan tiga perempat dan rambut dipilin menyerupai croissant itu, melangkah meninggalkan area kantor Front Office untuk menuju loker terlebih dahulu sebelum ke kantin karyawan.Sesampai di ruang yang biasa digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang pribadi sekaligus area istirahat karyawan, Zee melepas blazernya dan mengganti sepatu berhak tingginya dengan sepatu tak bertumit.Jam istirahat yang biasanya hanya bisa ia nikmati untuk setengah jam dari satu jam jadwal seharusnya, cukup melepaskan penat di kaki dengan mengganti sepatunya selama makan. Memakai sepatu bertumit tinggi memang salah satu hal yang harus dibiasakannya sejak bekerja di hotel, selain stocking berwarna hitam karena seragam long dressnya berbelahan tinggi dari bagian kaki hingga setengah paha.Tak lupa gadis itu meraih telepon genggamnya, sambil duduk
Arloji di pergelangan tangan kiri Zefanya telah menunjukan pukul lima sore ketika ia menepikan sepeda motor matic-nya di sebuah perkarangan rumah bergaya kolonial. Sebuah rumah bercat putih dengan aksen pecahan batu berwarna hitam menghiasi tembok teras. Bangunan yang telah berdiri kokoh sejak zaman penjajahan itu merupakan kediaman keluarga almarhum ayah gadis itu.Berdampingan dengan bangunan tua yang masih terawat itu berdiri sebuah rumah bertingkat yang lebih modern dan megah. Di sana tinggal kakak tertua dari ayah mereka, Om Peter. Sementara di rumah lama tinggal adik bungsu ayah mereka, Tante Mauren yang belum menikah sampai saat ini, bersama keluarga Om Niko dan nenek mereka yang telah renta.Sambil menenteng kotak karton yang berisi bakpao isi kacang merah, Zefanya membuka pintu pagar samping rumah yang biasanya tidak dikunci. Dari pagar tersebut, Zee bisa langsung menuju paviliun di mana kamar Nenek Ruwina berada.Sep
Bersemu merah pipi Zefanya ketika anggota gengnya Lulu, Rayesa dan Lampita menggoda gadis itu setelah menerima telepon dari Zeino. “Ehem – ehem.” “Jangan lupa maem ya, Sayang.” “Love you, muach muach.” “Love you too, muach!” Bersahutan ketiga gadis centil yang masih sibuk mengurus skripsi itu bertingkah seolah-olah sedang menerima sambungan telepon dari pacar masing-masing. Tentunya mereka sedang mengolok Zefanya. “Ish, apaan sih!” balas Zefanya sambil melangkah kembali ke atas ranjangnya. Keempat gadis yang seumuran itu sedang melewatkan sore hingga malam di rumah Zefanya. Mereka sengaja datang selepas gadis itu selesai bekerja. Tentu saja kedatangan mereka menyambangi rumah gadis itu untuk meminta bantuan mengenai segala hal yang berhubungan dengan skripsi. “Jadi udah baikin nih? Mesra banget kayaknya.” Rayesa menatap dengan mengedipkan sebelah matanya. Zefanya hanya tersenyum tak menjawab. Ia langsung memaink
Pantulan di kaca rias setinggi badan yang terdapat di sudut loker menampilkan bayangan Zefanya yang telah rapi dengan seragam kerjanya. Ruang ganti sekaligus tempat istirahat karyawan wanita itu tentunya sudah ramai oleh pekerja yang mendapat shift pertama.Semua karyawati dari berbagai departemen atau outlet berlomba untuk segera menuntaskan sesi mematut diri sesuai standar grooming. Mereka berpenampilan professional sesuai dengan jabatan masing-masing. Baik itu dari bagian housekeeping yang bertugas membersihkan kamar, sampai ke bagian Front Office yang menjadi penyambut tamu."GRO? Pelayan?" cecar Mauren waktu Zee berkunjung beberapa hari yang lalu.Memang benar, setinggi apapun jabatan seseorang di sebuah hotel, sebut saja general manager, dia tetaplah seorang pelayan. Karena prinsip utama dalam jasa keramah-tamahan atau hospitality adalah melayani. Hingga tak ada yang salah dari perkataan Tante Mauren itu, ketika ia mengomentari p
Zeino Ardhana, pemuda yang belum mengunjungi barbershop selama tiga bulan terakhir sehingga ujung rambutnya mulai menjangkau kerah baju kemeja berwarna hitam yang dipakainya, terlihat sedang memasang arloji di pergelangan tangan kirinya. Petunjuk waktu itu telah sampai pada jadwal rencana keberangkatannya ke hotel tempat berlangsung pesta ulang tahun Talita.Bergegas ia meraih benda-benda yang tak mungkin ia lupa, dompet, handphone, kunci mobil, sekotak rokok dan tentunya pemantik api. Setelah memastikan semua masuk ke saku baju dan celananya, pemuda itu segera keluar dari kamar.Sesampai di ruang tengah kediamannya, Zeino melihat ayahnya sedang berada di sana dalam balutan busana yang juga rapi seperti dirinya. Tak lama kemudian, ibunya menyusul. Wanita yang terlihat anggun itu tersenyum melihat pada putra keduanya.“Zeino, kamu udah siap juga?” tanyanya sambil menatap tampilan Zeino.“Papa, Mama mau ke mana?” selidik pemuda itu“Tent