Home / Horor / lantai tiga belas / Konspirasi Dr. Mardika (Dalam Ingatan Hilda)

Share

Konspirasi Dr. Mardika (Dalam Ingatan Hilda)

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-05-23 21:41:54

Sebelum semuanya kacau. Sebelum lantai tiga belas dikunci selamanya. Hilda adalah salah satu dokter muda paling bersinar di rumah sakit itu. Pintar, teliti, dan... terlalu penasaran.

Ia mulai mencurigai Dr. Mardika sejak insiden kematian pasien aneh yang ditutup-tutupi. Mayat pasien itu, meski dinyatakan "gagal organ", ternyata menunjukkan luka simbolik aneh di dada—seperti pahatan. Tapi hasil otopsi diubah.

"Ini bukan luka medis biasa," ujar Hilda kala itu saat menunjukkan fotonya ke perawat senior, tapi ia hanya dapat tatapan takut. Tak ada yang berani bicara.

Malam itu, ia menyelinap ke ruang catatan medis lama. Di sana, ia menemukan berkas pasien dari tahun 1997, dan sebuah nama mencolok: “Proyek R13.” Disetujui oleh direktur saat itu—Dr. Mardika.

Di bawahnya, terdapat nama-nama staf yang terlibat. Beberapa sudah meninggal secara misterius. Beberapa... menghilang.

Hilda menelusuri lebih dalam.

R13 ternyata bukan hanya sebutan untuk "lantai tiga belas" yang tidak pernah resm
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • lantai tiga belas   Pengganti

    Gelap itu seperti memakan segalanya.Fara terbangun duluan. Ia tidak tahu apakah ia tertidur atau hanya... terdiam dalam kehampaan. Tapi kini, ia mendengar suara napas. Sinta. Masih ada. Masih bernapas.Mereka terbaring di lantai yang dingin, di dalam ruang rawat UGD. Tapi... semuanya terlihat seperti semula.Lampu menyala. Tidak ada darah. Tidak ada tangisan anak kecil. Tidak ada retakan di dinding. Hanya... sepi.Sinta perlahan membuka mata. “Kita... hidup?”Fara berdiri, melangkah ke pintu. Ia dorong pelan, dan lorong rumah sakit menyambut mereka dengan suara mesin infus, langkah kaki perawat, dan suara pengumuman di speaker.Rumah sakit itu kembali normal.Tapi sesuatu terasa salah.Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong, dan setiap orang yang mereka lewati — perawat, pasien, dokter — menatap mereka lama. Dengan tatapan kosong. Tanpa senyum. Seolah tahu sesuatu.Mereka tiba di meja resepsionis. Seorang perawat wanita duduk di sana, tersenyum... terlalu lebar.> “Selamat datang

  • lantai tiga belas   Keluar, Tapi Tidak Lepas

    Langit di luar rumah sakit tampak muram meski mentari pagi sudah terbit. Kabut menggantung tebal, membuat segala sesuatu terlihat pucat. Fara setengah memapah Sinta yang luka parah, tapi masih bisa berjalan pelan. Nafas mereka berat, tapi langkah mereka pasti.Gerbang rumah sakit itu terbuka lebar… tapi sepi. Tak ada mobil, tak ada suara. Seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang baru saja terjadi di dalam.Fara menoleh sekali lagi ke belakang. Bangunan rumah sakit itu masih utuh. Tak terbakar, tak runtuh… tapi terasa seperti makam raksasa. Tak ada lagi suara, tak ada lagi tangisan. Semuanya… diam.> “Akhirnya…” bisik Fara.Mereka berjalan menyusuri jalan aspal menuju halte yang dulu mereka lewati saat pertama kali datang. Tapi anehnya, jam di pergelangan tangan Fara... tidak bergerak.Sinta memegang lengan Fara. “Fa... kamu sadar nggak?”> “Apa?”> “Ini… tempatnya sama. Tapi... semuanya kayak... terlalu tenang.”Tiba-tiba, suara tawa anak kecil terdengar pelan di kejauhan.Fara r

  • lantai tiga belas   Tawaran Terakhir

    Fara menatap Hilda dengan tubuh gemetar. “Satu dari kami harus tinggal...? Maksudmu... dikorbankan?”Hilda tidak menjawab. Matanya merah menyala, tapi kali ini penuh luka, bukan kebencian.Sinta perlahan berdiri, menggenggam tangan Fara erat. “Kalau itu yang harus terjadi… aku—”“Tidak!” Fara memotong cepat. “Kita cari jalan lain. Selalu ada jalan lain.”Tiba-tiba, dari balik kaca buram pintu darurat, para sosok tanpa wajah itu mulai berteriak—jeritan melengking yang menggetarkan dinding dan menyakitkan telinga. Cahaya di lorong mati total.Dan… lorong itu berubah.Dindingnya bukan lagi putih. Tapi jadi seperti koridor ruang bawah tanah — gelap, berlumut, dan berbau busuk.Hilda berbisik lagi, tapi kali ini suaranya lirih. “Ada satu lorong terakhir. Di ruang radiologi. Di sana kalian bisa temukan panel utama… dan pilihan kalian.”Lalu ia memudar… seperti kabut yang tertelan kegelapan.Fara dan Sinta saling menatap, lalu berlari. Lorong demi lorong mereka lewati, dihantui bayangan dan

  • lantai tiga belas   Tukar Nyawa

    Fara dan Sinta saling pandang. Suara tangisan masih bergema, kini bercampur isak tawa dari balik tembok. Udara menjadi lebih tebal, seolah setiap tarikan napas terasa seperti menghirup kabut kematian.Hilda masih bertengger di atas, wajah setengah hangusnya diam mengawasi mereka seperti penjaga gerbang neraka.Sinta melangkah mundur. “Aku… aku gak bisa, Far…”Fara menggeleng cepat. “Jangan. Kita berdua keluar. Harus.”Hilda perlahan turun, langkahnya ringan tapi penuh tekanan seperti bayangan tak kasatmata. Ia mendekati Sinta dan menyentuh bahunya.> “Jika kalian berdua mencoba kabur... lorong ini akan menelan kalian. Kalian akan menjadi seperti mereka…”Ia menunjuk ke balik kaca, tempat tubuh-tubuh pasien tanpa wajah kini mulai menghantamkan kepala ke dinding.Gedebuk. Gedebuk. Suara mereka bersahutan.Fara memejamkan mata, berusaha keras berpikir. Lalu matanya tertumbuk pada buku catatan Sinta yang masih dipegangnya erat — penuh coretan, diagram, dan catatan tangan Hilda sendiri.Sa

  • lantai tiga belas   Dosa yang Tertinggal

    Fara mundur beberapa langkah, tubuhnya membeku di ambang pintu. Suara tawa itu makin keras, menyelinap ke dalam tulang-tulangnya. Tawa yang dulu sering ia dengar di balik pintu ruang kerja sang ayah — namun saat itu ia pikir hanya bagian dari stres kerja.Sinta menggenggam tangannya. “Fara… kita harus pergi. Sekarang!”Namun sebelum sempat bergerak, dinding ruang operasi mulai berubah. Gambar-gambar samar bermunculan — rekaman masa lalu, seperti proyeksi kabut. Fara melihat ayahnya... Dr. Mardika, mengenakan jas lab putih, sedang berdiri di tengah ruangan itu, bersama seorang gadis kecil — Hilda.“Percobaan ini akan menyelamatkan banyak nyawa,” suara Dr. Mardika terdengar berat, dingin. “Tapi kau harus kuat, Hilda.”Gadis kecil itu menangis, tubuhnya diikat ke meja operasi. Di sekeliling mereka, alat-alat medis kuno, jarum besar, dan larutan kimia tak dikenal.Fara menutup mulutnya, ngeri. “Tidak… Ayah… apa yang kau lakukan…”Bayangan itu berlanjut. Hilda berteriak, darah berceceran,

  • lantai tiga belas   Konspirasi Dr. Mardika (Dalam Ingatan Hilda)

    Sebelum semuanya kacau. Sebelum lantai tiga belas dikunci selamanya. Hilda adalah salah satu dokter muda paling bersinar di rumah sakit itu. Pintar, teliti, dan... terlalu penasaran. Ia mulai mencurigai Dr. Mardika sejak insiden kematian pasien aneh yang ditutup-tutupi. Mayat pasien itu, meski dinyatakan "gagal organ", ternyata menunjukkan luka simbolik aneh di dada—seperti pahatan. Tapi hasil otopsi diubah. "Ini bukan luka medis biasa," ujar Hilda kala itu saat menunjukkan fotonya ke perawat senior, tapi ia hanya dapat tatapan takut. Tak ada yang berani bicara. Malam itu, ia menyelinap ke ruang catatan medis lama. Di sana, ia menemukan berkas pasien dari tahun 1997, dan sebuah nama mencolok: “Proyek R13.” Disetujui oleh direktur saat itu—Dr. Mardika. Di bawahnya, terdapat nama-nama staf yang terlibat. Beberapa sudah meninggal secara misterius. Beberapa... menghilang. Hilda menelusuri lebih dalam. R13 ternyata bukan hanya sebutan untuk "lantai tiga belas" yang tidak pernah resm

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status