Rumah Sakit Kartika mulai berubah.
Bukan secara fisik—lantai, dinding, dan koridornya masih terlihat sama. Tapi ada sesuatu di udara, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Bau obat-obatan digantikan aroma besi karat dan tanah basah. Cahaya matahari yang biasanya menyelinap melalui jendela pagi, kini terasa dingin. Redup. Dan yang paling terasa… adalah suasana. Ketegangan. Sunyi yang tidak wajar. Seluruh staf merasakannya, meskipun mereka tak mengatakannya secara langsung. Termasuk Dimas. Sudah tiga hari berlalu sejak Sinta menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada laporan polisi, dan yang paling mengganggu: tidak ada yang mengingat keberadaan Sinta dengan pasti. Data dirinya seperti menguap. Beberapa orang bahkan bertanya, “Sinta siapa ya?” Dimas tahu dia tidak gila. Ia melihat sendiri wajah Sinta. Mendengar ceritanya. Membaca arsip dengan tangan sendiri. Tapi kini, semua itu seperti ilusi. Dan pagi itu, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Di papan shift ruang jaga lantai 6, ada nama yang tertulis dengan spidol merah: SINTA A. - Shift Malam Dimas mendekat, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menghapus nama itu dengan tisu, tapi besok pagi, nama itu kembali muncul. Tulisan yang sama. Spidol yang sama. Tapi tak ada yang mengaku menuliskannya. Dan kemudian, kejadian aneh mulai terjadi. --- Malam pertama, perawat bernama Anisa mendengar tangisan dari tangga darurat. Ia pikir itu pasien yang tersesat. Tapi saat ia membuka pintu menuju tangga… Ia melihat seorang perempuan berdiri di ujung tangga paling atas. Perempuan itu menoleh perlahan, rambutnya panjang, menutupi setengah wajah. Bajunya seragam perawat lama—warna biru muda dengan lencana “1998”. “Perlu bantuan?” tanya Anisa, suaranya sedikit gemetar. Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk… lalu melompat. Tapi saat Anisa menjerit dan berlari ke bawah, tubuh itu… tidak pernah ditemukan. --- Malam kedua, dokter jaga menerima pasien laki-laki tua yang mengigau terus-menerus. Ia mengulang satu kalimat: “Dia datang dari cermin... dia bilang waktunya habis... waktunya habis...” Saat dokter memeriksa matanya dengan senter, pria tua itu mendadak menjerit dan mencakar wajahnya sendiri sampai kulit pipinya sobek. Ia tewas 3 menit kemudian. Di dinding ruang IGD tempat ia dirawat, ditemukan goresan: 1313 --- Malam ketiga, CCTV rumah sakit menunjukkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Jam 02:17 dini hari, kamera di lorong lantai 6 menangkap sosok perempuan berjalan sendirian. Gerakannya aneh, tidak natural—terlalu pelan, seperti melayang. Di tangan kirinya, ia membawa stethoscope. Di tangan kanan, map pasien. Rambutnya menutupi wajah. Ia berhenti di depan ruang perawat. Menatap ke kamera. Lalu senyum. Dan seluruh sistem CCTV mati seketika. --- Dimas sudah tidak tahan. Ia kembali ke ruang arsip. Membongkar ulang semua file lama, berharap bisa menemukan jawaban. Dan di tumpukan paling bawah, ia menemukan sesuatu yang membuat tubuhnya kaku. Sebuah foto lama. Gambar ruangan penuh cermin. Di dalamnya, tampak Sinta berdiri. Tapi ada dua bayangan. Satu bayangan mengikuti gerakannya. Yang satu lagi… diam. Menatap kamera. Dan di balik foto itu, ada tulisan tangan dengan tinta merah: “Jika kau melihatnya di cermin… jangan berpaling. Jangan pernah berpaling.” --- Malam keempat. Rumah sakit makin kacau. Pasien mulai mengeluh tentang suara-suara aneh di malam hari. Anak kecil yang mengatakan “perawat berambut panjang” menatap dari balik jendela. Seorang pasien kanker payudara berkata ia bermimpi tangan panjang menariknya dari bawah ranjang. Dan di ruang jaga malam, satu per satu perawat mengundurkan diri. Hanya satu nama yang tetap tertulis di jadwal malam: SINTA A. --- Dimas memutuskan satu hal: ia harus naik ke lantai 13. Apa pun yang terjadi, semua ini berawal dari sana. Ia mengambil senter, salib kecil milik ibunya, dan catatan yang ditulis Sinta dulu sebelum menghilang. Tangga darurat terasa dingin, seperti ada hawa dari dunia lain. Anak tangga demi anak tangga ia lewati, sampai akhirnya ia melihatnya. Plang yang sempat dihapus. Kini muncul kembali, lebih jelas dari sebelumnya. “LANTAI 13 – DILARANG MASUK” Pintunya terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan suara logam berkarat yang panjang. Di dalam, lorong panjang menyambut. Lampu-lampu berpendar merah. Dan di ujung lorong, seseorang berdiri. Rambut panjang. Seragam perawat. Sinta. Tapi bukan lagi Sinta yang dikenalnya. Ia menatap Dimas dengan senyum ganjil, mata hitam kosong seperti lubang tak berdasar. “Sinta?” bisik Dimas, hampir tak percaya. Perempuan itu mengangguk pelan. “Sudah waktunya kamu tahu,” katanya. Suaranya dua lapis—suara Sinta… dan suara lain, yang lebih dalam. “Lantai tiga belas… bukan sekadar tempat. Ini adalah penjara. Dan sekarang, gerbangnya terbuka.” Dimas melangkah mundur, tapi tubuhnya membeku. Di belakangnya, pintu tertutup sendiri. Dan dari balik kamar rawat yang terkunci, satu per satu suara mulai terdengar. Tangisan. Jeritan. Tawa perempuan. Dan langkah kaki… banyak sekali… mendekat dari berbagai arah. Sinta mendekat. Menjulurkan tangan. “Kita butuh penjaga baru, Dimas.” Gelap menyambutnya. ---Setelah kejadian malam itu, Sinta dan Fara terus mencoba mencari jawaban di balik misteri rumah sakit tua itu. Meski sudah berjanji untuk menjaga rahasia lantai 13, rasa penasaran menggerogoti mereka perlahan.Di suatu sore yang kelabu, Fara kembali ke ruang kendali. Monitor-monitor di sana masih menyala samar, meski listrik sudah stabil. Ada satu layar yang tak pernah mati — menampilkan pintu terkunci dengan kode keamanan yang rumit.Sinta berdiri di sampingnya, menggenggam buku catatannya erat.“Jika kita bisa membuka pintu ini, mungkin kita bisa mengakhiri semuanya,” kata Fara penuh tekad.Namun, tiba-tiba terdengar suara berbisik dari balik dinding:> “Jangan buka... jangan buka...”Keduanya menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.Jantung mereka berdetak makin cepat.“Ini belum selesai,” bisik Sinta.Dan bayangan di balik pintu itu, seakan menunggu mereka untuk datang kembali.Fara menatap layar yang menampilkan pintu besi besar dengan lampu indikator merah menyala. Kode akses yang mun
Cakar logam Dr. Mardika menghantam dinding, menciptakan percikan api dan debu beterbangan. Fara mendorong Sinta dan Hilda ke sisi lain lorong, mencari tempat berlindung. Nafas mereka memburu, keringat dan darah bercampur di wajah masing-masing. “Terus lari!” teriak Fara, meski lututnya hampir goyah. Tapi makhluk itu lebih cepat. Dr. Mardika melompat di dinding seperti laba-laba, berputar dan mendarat tepat di depan mereka. Wajahnya mengelupas, menampakkan tengkorak yang masih menyala dengan urat-urat mesin menyembul keluar. > “Kalian pikir bisa mematikan semua ini begitu saja?” suaranya terdengar dari berbagai speaker di sepanjang lorong, menggema seperti mimpi buruk. Lampu emergency di atas mulai padam satu per satu, menciptakan bayangan panjang dan pekat yang menggerayangi setiap sudut ruangan. Tiba-tiba, suara anak-anak terdengar lagi—kali ini bukan tangis... tapi nyanyian lirih. Nyanyian itu seolah mantra yang membekukan udara. Sinta memeluk Hilda lebih erat, merasakan haw
Gelap itu seperti memakan segalanya.Fara terbangun duluan. Ia tidak tahu apakah ia tertidur atau hanya... terdiam dalam kehampaan. Tapi kini, ia mendengar suara napas. Sinta. Masih ada. Masih bernapas.Mereka terbaring di lantai yang dingin, di dalam ruang rawat UGD. Tapi... semuanya terlihat seperti semula.Lampu menyala. Tidak ada darah. Tidak ada tangisan anak kecil. Tidak ada retakan di dinding. Hanya... sepi.Sinta perlahan membuka mata. “Kita... hidup?”Fara berdiri, melangkah ke pintu. Ia dorong pelan, dan lorong rumah sakit menyambut mereka dengan suara mesin infus, langkah kaki perawat, dan suara pengumuman di speaker.Rumah sakit itu kembali normal.Tapi sesuatu terasa salah.Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong, dan setiap orang yang mereka lewati — perawat, pasien, dokter — menatap mereka lama. Dengan tatapan kosong. Tanpa senyum. Seolah tahu sesuatu.Mereka tiba di meja resepsionis. Seorang perawat wanita duduk di sana, tersenyum... terlalu lebar.> “Selamat datang
Langit di luar rumah sakit tampak muram meski mentari pagi sudah terbit. Kabut menggantung tebal, membuat segala sesuatu terlihat pucat. Fara setengah memapah Sinta yang luka parah, tapi masih bisa berjalan pelan. Nafas mereka berat, tapi langkah mereka pasti.Gerbang rumah sakit itu terbuka lebar… tapi sepi. Tak ada mobil, tak ada suara. Seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang baru saja terjadi di dalam.Fara menoleh sekali lagi ke belakang. Bangunan rumah sakit itu masih utuh. Tak terbakar, tak runtuh… tapi terasa seperti makam raksasa. Tak ada lagi suara, tak ada lagi tangisan. Semuanya… diam.> “Akhirnya…” bisik Fara.Mereka berjalan menyusuri jalan aspal menuju halte yang dulu mereka lewati saat pertama kali datang. Tapi anehnya, jam di pergelangan tangan Fara... tidak bergerak.Sinta memegang lengan Fara. “Fa... kamu sadar nggak?”> “Apa?”> “Ini… tempatnya sama. Tapi... semuanya kayak... terlalu tenang.”Tiba-tiba, suara tawa anak kecil terdengar pelan di kejauhan.Fara r
Fara menatap Hilda dengan tubuh gemetar. “Satu dari kami harus tinggal...? Maksudmu... dikorbankan?”Hilda tidak menjawab. Matanya merah menyala, tapi kali ini penuh luka, bukan kebencian.Sinta perlahan berdiri, menggenggam tangan Fara erat. “Kalau itu yang harus terjadi… aku—”“Tidak!” Fara memotong cepat. “Kita cari jalan lain. Selalu ada jalan lain.”Tiba-tiba, dari balik kaca buram pintu darurat, para sosok tanpa wajah itu mulai berteriak—jeritan melengking yang menggetarkan dinding dan menyakitkan telinga. Cahaya di lorong mati total.Dan… lorong itu berubah.Dindingnya bukan lagi putih. Tapi jadi seperti koridor ruang bawah tanah — gelap, berlumut, dan berbau busuk.Hilda berbisik lagi, tapi kali ini suaranya lirih. “Ada satu lorong terakhir. Di ruang radiologi. Di sana kalian bisa temukan panel utama… dan pilihan kalian.”Lalu ia memudar… seperti kabut yang tertelan kegelapan.Fara dan Sinta saling menatap, lalu berlari. Lorong demi lorong mereka lewati, dihantui bayangan dan
Fara dan Sinta saling pandang. Suara tangisan masih bergema, kini bercampur isak tawa dari balik tembok. Udara menjadi lebih tebal, seolah setiap tarikan napas terasa seperti menghirup kabut kematian.Hilda masih bertengger di atas, wajah setengah hangusnya diam mengawasi mereka seperti penjaga gerbang neraka.Sinta melangkah mundur. “Aku… aku gak bisa, Far…”Fara menggeleng cepat. “Jangan. Kita berdua keluar. Harus.”Hilda perlahan turun, langkahnya ringan tapi penuh tekanan seperti bayangan tak kasatmata. Ia mendekati Sinta dan menyentuh bahunya.> “Jika kalian berdua mencoba kabur... lorong ini akan menelan kalian. Kalian akan menjadi seperti mereka…”Ia menunjuk ke balik kaca, tempat tubuh-tubuh pasien tanpa wajah kini mulai menghantamkan kepala ke dinding.Gedebuk. Gedebuk. Suara mereka bersahutan.Fara memejamkan mata, berusaha keras berpikir. Lalu matanya tertumbuk pada buku catatan Sinta yang masih dipegangnya erat — penuh coretan, diagram, dan catatan tangan Hilda sendiri.Sa