Share

bab 5 kejutan

Kedatangan Gus naufal dengan kondisi wajah babak belur mengundang tanda tanya dari nur yang ada di dalam kamar Gus naufal. Lelaki itu berjalan dengan langkah gontai seolah di pundak nya terdapat Godam besar yang menjadi beban hidup nya. Awal nya nur tak berani mendekat. Namun, saat melihat Gus naufal meringis kesakitan. Secepat kilat dia mendekat.

"Duduk dulu Gus, saya obati dulu." Titah nur yang di jawab penolakan halus oleh Gus Naufal "tidak perlu, terima kasih."

nur menebal kan telinga nya, tak mau menuruti perkataan Gus Naufal kali ini. Dia segera keluar kamar menuju dapur bersih di dekat kamar. Sengaja ruangan sebelah ia sulap menjadi dapur, meski hanya ada satu kompor dan beberapa panci saja.

Gus Naufal menatap kepergian nur ke luar kamar. Istri yang baik dan selalu perhatian. Dia bukan wanita jahat sebenarnya, tapi karena nya Gus Naufal harus menerima pukulan demi pukulan dari rayyan demi mempertahankan posisi nur.

"Sebaik nya kau cerai kan adik ku saja."

Kata kata itu seperti petir yang meroboh kan jiwa nya, kini mata Gus Naufal dan rayyan saling berpandangan bersitegang.

"Mas, jaga ucapan mu. Dia istri ku, ini rumah tangga ku. Mas nggak berhak menentukan nasib rumah tangga saya. Dosa mas!"

"Lebih baik zahra kau ceraikan saja Gus. Dari pada kau madu kayak gitu, sakit hati keluarga saya. Meski papa dan mama saya setuju. Tapi tentu mereka sakit hati, gus. Malu sama saudara."

"Maaf mas, saya nggak bisa"

Rayyan menghembuskan nafas kasar nya, dengan berani dia berkata. "Bila Zahra bangun, maukah kau menceraikan istri baru mu itu, Gus?"

Tubuh Gus Naufal seolah olah mati rasa, seakan akan dia terjebak dalam situasi yang sama sekali tak ia mengerti. Kepala nya pusing memikirkan masalah demi masalah. Mencerai kan nur tanpa sebuah alasan yang masuk akal, tentu itu hal yang di benci oleh Allah. Meski perceraian halal, tapi nyata nya tak semudah itu. Apalagi di pundak nya, membawa nama baik pesantren. Tentu umik sama Abah nya akan sangat kecewa bila Gus Naufal memilih jalan perceraian.

"Saya nggak bisa, mas!"

Rayyan yang telah di lingkupi emosi yang membuncah, tak bisa ia kendalikan lagi emosi nya. Tangan yang sudah gatal sedari tadi, dia layang kan berkali kali ke wajah Gus Naufal. Meninju dan terus meninju meluap kan rasa kesal, malu dan kesal mengapa ia dahulu mendukung hubungan Zahra dan Gus Naufal. bila tau berakhir seperti ini, justru rayyan lah orang yang pertama menentang hubungan mereka.

"Santri mu yang buat adikku begini, semua salah kamu, Gus. Kamu lebih penting kan ngemong santri dari antar kan sendiri adik ku. Semua salah kamu!"

Dalam ketidak berdayaan nya, Gus Naufal hanya bisa berucap lirih kata maaf dan maaf.

nur memasuki kamar dengan tangan kanan membawa satu wajah kecil berisi air panas, dan handuk kecil di tangan kiri nya.

Gus Naufal tak bisa melawan kala sapuan hangat itu menyentuh pelipis nya. Dia berusaha menahan sakit agar tak bisa menciptakan suara.

nur menahan untuk tak bertanya, tapi, rasa penasaran nya jauh lebih kuat.

"Ya Allah, sakit ya, Gus. Lagian, siapa yang berani nonjok Gus Naufal gitu."

"Nggak, perlu tahu." Dingin Gus Naufal.

Sedikit kesal, nur memilih kembali fokus pada luka Gus Naufal, Percuma saja dia bertanya, bila akhirnya sama saja seperti hari hari biasa nya.

Tangan nur beralih ke bibir Gus Naufal. Dia usap secara lembut hingga tak terasa ada desiran halus yang menelusup ke dalam dada nya.

Iris mata mereka bertemu, nur yang kelabakan segera menunduk kan pandangan nya kembali.

"Maaf, untuk yang tadi siang."

"Nggak apa apa, Gus."

"Itu kado untuk anniversary untuk neng Zahra."

nur memejam kan mata. Ada setitik rasa cemburu pada ucapan Gus Naufal barusan.

"Njeh, Gus." Sahut nur sambil menarik tangan nya. Dia berdiri hendak melangkah mengambil kotak p3k, namun, ia urungkan usai mendapati pertanyaan dari Gus Naufal.

"nur... Kenapa kau mau menerima perjodohan ini. Apa kau nggak takut bila suatu saat neng Zahra sadar.?"

Pertanyaan tiba tiba dari Gus naufal, membuat nur tersentak kaget. Sejujurnya, dia sendiri takut bila suatu hari yang di ucapkan Gus Naufal akan jadi kenyataan. Tapi, ini semua sudah resiko atas semua pertimbangan yang dia pilih.

"Selama niat kita baik, Gus. In syaa Allah tidak akan terjadi apa apa. Bila kita mengandal kan amal baik untuk mencari ridho tuhan. Itu tidak lah cukup, gus. Kita perlu mencari pegangan juga pada para ulama, orang alim, itu yang dahulu pernah ibu asuh saya katakan. Dan ini, yang baru saja saya lakukan, yang Gus maksud itu." Ujar nur sembari berdiri hendak menerus kan langkah nya yang sempat tertunda.

Diam diam Gus Naufal tersenyum lirih. Tak salah umik nya memilih nur sebagai istrinya. Dia memang gambaran dari santri yang ikhlas mengabdi. Berusaha tegar walau hanya sikap dingin dan beku yang selalu ia terima.

"Setelah ini, saya mau ngajar pondok, kamu segera bersiap. Kita akan pergi ke butik setelah aku ngajar. Kau boleh memilih gaun mana yang kau suka."

nur menoleh menatap Gus Naufal . Ada binar binar kebahagiaan dari mata nya.

"Njeh, Gus." Malu malu nur menerus kan langkah nya kembali.

*****

Rintikan gerimis dan udara dingin tak menyurut kan niat hati Gus Naufal mengajak nur. Meski berulang kali nur menolak secara halus sekali pun.

"Nanti aku langsung ke mobil. Kamu yang pamit sama umik saja."

Gus Naufal khawatir umi nya tahu bila kondisi wajah putra nya yang babak belur.

"Nggeh, Gus." Jawab nur, mengangguk, mengiyakan.

Sesampainya di mobil, sengaja Gus Naufal tidak mengaktif kan ponsel nya. Dia memang punya kebiasaan, bila sedang bersantai lebih suka menonaktifkan ponsel.

"Sampun, Gus." Ujar nur usai sampai di dekat Gus Naufal , lalu perlahan berjalan ke arah belakang.

Baru pertama kali nya bagi nur semobil dengan Gus Naufal berdua saja. Dia canggung bila harus duduk di kursi depan, nur sendiri sadar, siapa lah dia sebelum nya ini. Hanya khodimah miskin yang berasal dari panti.

"Kenapa duduk di belakang? Di depan saja." Lirih Gus Naufal masih bisa di dengar nur.

"Mboten Gus. Di belakang saja, enak!"

"Ya, wes. Terserah kamu. Senyaman kamu saja."

Mobil mereka melaju dengan perlahan, karena melewati para santri yang sedang mendengarkan kajian Alfiah Ibnu Malik.

Dari depan barisan para santri , Sepasang mata melirik dengan hati yang tak bisa di gambar kan rasa nya, kala melihat siapa dua manusia yang berada dalam mobil tersebut.

"Zulaikha ku" ucap nya dengan hati pedih.

Kenangan itu nyata nya belum mampu sirna seutuh nya dalam benak Gus Adnan.

*****

"Langsung pulang, Gus?" Tanya nur dengan melirik sebentar Gus Naufal . Dia sedikit kecewa ternyata butik yang sudah ia bayangkan di pelupuk mata sudah tutup.

Gus Naufal bergeming, tak menjawab. Bukan karena ia acuh, Melain kan karena ia tak mendengar nya. Pikiran nya sudah melayang layang memikir kan neng Zahra. Biasa nya wanita itu paling suka bila di ajak pergi malam. Karena bagi dia, itu sebuah kebebasan karena seharian ia terkurung di pesantren menunggui suami nya selesai mengajar.

Gus Naufal menepikan mobil nya ke arah warung pecel lele yang terletak di pinggir jalan. Dia ingin sedikit bernostalgia dengan kenangan bersama Zahra.

"Turun, nur. makan dulu"

nur mengekori langkah Gus Naufal dari belakang. Tampak di sana warung lusuh dengan lampu remang remang dan tikar seadanya tersaji dalam gelap nya malam. Namun, seperti nya tidak mengurangi cita rasa di sana. Terbukti banyak orang yang antri hanya untuk menikmati seporsi hidangan warung sederhana itu.

"Ma syaa Allah, mimpi apa aku semalam. Sudah lama nggak di datangi Gus Naufal ." Seloroh bapak paruh baya saat pertama kali melihat kedatangan Gus Naufal .

"Alah, pak Karjo bisa saja. Pesan banyak biasa nya ya pak, dua Porsi."

"Nggeh gus, siap. Saya pilih kan tikar yang bersih dulu ya gus. Nanti neng Zahra gatal gatal gimana kalau nggak bersih."

Ternyata lelaki paruh baya itu masih belum sadar bila wanita di belakang nya bukan neng Zahra.

"Lah, seada nya saja pak! Ini nur, bukan Zahra. Dia masih sakit."

Joko nampak memicing kan pandangan nya. Memfokuskan pada satu penglihatan ke wajah teduh ke belakang Gus nya."

"Siapa, Gus?"

"Istri baruku"

Entah, secara tiba tiba ada desiran halus menelusup dalam dada nur. Hati nya serasa berbunga bunga saat kata istri ku terucap dari bibir Gus Naufal . nur buru buru menunduk untuk menutupi senyum bahagia nya.

Suara dering ponsel nur sesaat membuyar kan bunga bunga di hati nya. Pesan dari Gus Khoirul muncul di layar ponsel nur. Sudah lama sekali dia tak berkirim pesan pada Gus Khoirul. Apa gerangan yang membuat lelaki itu mengirim kan pesan pada nur.

"Aku buka nggak, ya?" nur ragu ragu antara membuka atau tidak.

Menyadari kegalauan istri nya, lelaki berahang tegas dan berhidung mancung itu, menyuruh nur menjawab pesan nya terlebih dahulu. Gus Naufal tadi sesaat mendengar suara dering ponsel dari dompet nur.

"Nggeh, Gus"

Rasa nya jantung nur seolah berhenti melihat pesan yang tertera di layar ponsel nya. Mulut nur diam seribu bahasa, dia tak bisa berbicara apapun, tangan nya lemas sampai sampai ponsel nya terjun bebas ke dasar tanah.

Dengan langkah lemas, nur segera menghampiri suami nya yang masih berbincang bincang dengan Joko seputar bisnis warung lesehan. Naufal berniat untuk menekuni bisnis makanan atau paling tidak bisa jadi pemasok bahan utama.

"Gus kita harus cepat pergi ke rumah sakit!" Ucap nur dengan tangan mencengkram baju samping nya.

Lelaki bermata hazel itu, mengernyitkan dahi "kenapa mendadak?"

Ragu ragu nur berucap "neng Zahra sudah sadar, Gus"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status