Home / Young Adult / Terjebak Gairah Liar Tante Sarah / Hasrat yang semakin Berani

Share

Hasrat yang semakin Berani

Author: NomNom69
last update Last Updated: 2025-09-02 11:47:51

Tiba-tiba listrik padam, seluruh rumah gelap gulita. Luki yang masih berdiri di depan pintu kamar Tante Sarah langsung terkejut. Tante Sarah juga kaget, lalu refleks memanggil.

“Luki? Kamu di situ ya?” tanyanya pelan.

“I-iya, Tan…,” jawab Luki gugup sambil menahan napas.

“Jangan kemana-mana, tunggu di situ dulu,” ucap Tante Sarah sambil meraba meja mencari sesuatu.

Ia menemukan ponselnya dan langsung menyalakan senter. Cahaya putih membuat wajahnya terlihat jelas dari celah pintu. Luki hanya berdiri kaku, tidak tahu harus bagaimana.

“Hhh, syukurlah ketemu juga,” gumam Tante Sarah lega.

“Gelap gini bikin jantung deg-degan,” tambahnya sambil menghela napas.

“Luk, temenin tante ya… tante gak mau sendirian,” pintanya sambil tersenyum samar.

Luki mengangguk cepat. Ia melangkah pelan ke arah pintu, seolah ingin masuk. Namun Tante Sarah buru-buru menghentikannya dengan nada menggoda.

“Eh, jangan masuk kamar tante,” ucapnya tiba-tiba.

“Kenapa, Tan? Aku nemenin aja kok,” Luki berusaha meyakinkan.

“Kamar tante agak basah abis tadi… kurang enak kalau di sini,” jawab Tante Sarah sambil menatapnya tajam.

Luki langsung salah tingkah, jantungnya berdetak makin kencang. Ucapannya terasa ganda, membuat otaknya sulit fokus. Ia hanya bisa mengangguk tanpa berani menatap balik.

“Ya udah… kita ke kamarmu aja,” kata Tante Sarah tenang.

“I-iya, Tan… ayo,” jawab Luki terbata.

“Gak apa-apa kan?" Tante Sarah menambahkan, suaranya terdengar makin menggoda.

Mereka pun melangkah perlahan ke arah kamar Luki. Cahaya senter ponsel menerangi jalan, membuat bayangan mereka bergerak di dinding. Suasana hening hanya diisi langkah kaki yang pelan.

“Dekat aja sama tante, jangan jauh-jauh,” ucap Sarah lembut.

“Iya Tan, aku di sini,” jawab Luki cepat.

“Lampu Mati sama Mati lampu itu suasananya beda, Luk. Tante biasa tidur lampu di matiin, tapi kalo mati lampu gini suka iseng sendirian,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Langkah mereka semakin dekat menuju kamar Luki. Luki berusaha keras mengatur napas, tapi pikirannya terus kacau. Malam gelap itu justru membuatnya semakin sulit membedakan mana rasa takut dan mana rasa berdebar karena tante Sarah.

Di kamar Luki, suasana gelap hanya ditemani cahaya senter ponsel Tante Sarah yang diarahkan ke atas. Mereka duduk bersampingan di pinggir ranjang, bayangan tubuh menempel di dinding. Hening terasa, tapi jantung Luki berdetak keras.

Tante Sarah menoleh sekilas, memperhatikan wajah Luki yang kaku. Ia tersenyum samar, lalu berkata dengan suara tenang. “Luk… tante tahu tadi kamu ada di depan pintu.”

Luki langsung menegakkan tubuh, wajahnya memanas. “A-aku gak sengaja, Tan… pintunya kebuka sendiri,” jawabnya terbata. “Aku beneran gak maksud ngeliat.”

“Hmm… tapi kamu gak langsung pergi kan? Keterusan, ya?” balas Tante Sarah dengan nada menggoda.

Luki menelan ludah, menunduk dalam. “Maaf, Tan… aku khilaf. Aku salah.”

Tante Sarah justru tertawa pelan. “Tante gak marah kok. Wajar kalau kamu kaget ngeliat.”

“Serius gak marah, Tan?” tanya Luki ragu.

Sarah menghela napas, tatapannya lembut. “Tante ini janda, Luk. Kadang butuh sesuatu buat diri sendiri.”

Luki menoleh cepat, tak percaya apa yang ia dengar. “M-maksudnya… itu tadi?”

“Iya, itu cara tante buat ngisi kekosongan,” jawabnya jujur.

Luki terdiam, otaknya penuh bayangan yang barusan ia saksikan. “Aku… aku ngerti, Tan,” gumamnya pelan.

“Jangan disalahpahami ya,” lanjut Sarah. “Tante cuma manusia biasa, punya rasa butuh juga.”

“Iya… aku paham, Tan,” jawab Luki cepat, masih gugup.

Suasana makin tegang, jarak mereka begitu dekat. Sarah tersenyum tipis, jemarinya nyaris menyentuh tangan Luki, lalu ditarik kembali. Luki menahan napas, tubuhnya kaku.

“Luk, kamu masih gugup banget, ya?” tanya Sarah lembut.

“Gimana gak gugup, Tan… tadi aku liat semua,” jawab Luki jujur.

“Hm… ya udah, anggap aja itu rahasia kita berdua,” balasnya sambil menatap dalam.

Luki hanya bisa mengangguk, hatinya berdebar tak karuan. Suasana kamar terasa panas, tapi keduanya masih tertahan, tidak melewati batas. Malam itu berhenti pada titik genting, seolah ada garis tipis yang tinggal menunggu untuk disebrangi.

Cahaya senter ponsel di atas ranjang masih menyinari samar kamar Luki. Bayangan mereka berdua menempel di dinding, duduk bersisian begitu dekat. Luki merasakan hawa tubuh Tante Sarah lebih nyata dari sebelumnya.

Tante Sarah memiringkan tubuh, matanya menatap Luki tanpa berkedip. Tangannya bergerak pelan, menyentuh lengan Luki dengan ringan. Sentuhan singkat itu membuat Luki menegang.

“Kamu masih gugup, Luk?” tanya Sarah lembut.

“I-iya, Tan… susah buat tenang,” jawab Luki jujur.

“Padahal tante cuma ada di sampingmu,” balasnya sambil tersenyum tipis.

Luki menoleh pelan, menatap wajah tante yang jaraknya hanya sejengkal. Hatinya makin berdebar, pikirannya makin kacau. Napasnya terasa pendek, sulit dikendalikan.

“Duh, kenapa jadi makin deket gini,” batin Luki gelisah.

“Kalau terus kayak gini… aku bisa hilang kontrol,” pikirnya.

“Tapi kenapa aku gak bisa menjauh?” gumamnya lirih.

Sarah menggeser lebih dekat, kini paha mereka hampir bersentuhan. Tangannya perlahan turun, menepuk paha Luki sekali, lalu diam di sana. Luki terpaku, tubuhnya kaku seolah kehilangan kendali.

“Kamu gak usah takut sama tante,” ucap Sarah dengan nada menenangkan.

“Tan… aku… aku bingung,” suara Luki bergetar.

“Gak usah bingung. Tadi kamu udah liat semua, sekarang gak ada lagi yang ditutupi,” jawab Sarah mantap.

Luki menarik napas dalam, matanya memandangi wajah tante lebih lama. Pikirannya kacau, antara menolak dan menerima godaan itu. Tubuhnya justru makin condong ke arah Sarah tanpa sadar.

“Kenapa kamu diem aja, Luk?” tanya Sarah sambil menatap tajam.

“Aku takut salah, Tan,” jawab Luki pelan.

“Kalau sama tante, gak ada yang salah,” balasnya singkat.

Suasana kamar makin panas, seolah dinding menyimpan semua ketegangan itu. Wajah mereka kini hanya sejengkal, napas bertemu di udara. Luki hampir tak mampu berpikir jernih.

Malam gelap itu mempertemukan keduanya pada titik genting. Fisik dan emosi mereka sudah sangat dekat. Tinggal sedikit saja, dan garis tipis itu akan terlewati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Menjenguk Papah x Bersama Ajeng

    Siang itu, ruangan Gladys terasa cukup tenang. AC menyala pelan, sementara berkas-berkas kontrak tersusun rapi di meja. Luki memperhatikan satu kontrak yang sedang Gladys jelaskan.“Jadi yang ini tinggal kamu cek ulang pasal pembayarannya aja, Luk,” kata Gladys sambil menunjuk halaman terakhir.Luki mengangguk. “Oke, gampang. Nanti malam aku rapihin terus kirim revisinya.”Rapat kecil itu berjalan sekitar 20 menit. Setelah semuanya dirasa cukup, Gladys menutup map berkas dan bersandar.“Udahan dulu. Kita makan siang yuk?” ajaknya.“Gas,” jawab Luki sambil merapikan meja.Mereka berjalan menuju kantin kantor. Suasananya lumayan ramai, tapi masih dapat meja kosong. Saat makanan baru sampai, Luki mengambil ponselnya sebentar. Ada satu pesan WhatsApp baru.Dari Om Iksan.Luk, Papah kamu minta dijenguk minggu ini. Kalau bisa ajak Ajeng sekalian ya.Luki menarik napas pelan, kemudian membalas singkat.Iya Om, insyaallah Sabtu ya.Gladys melihatnya dari seberang meja. “Chat dari siapa? Mbak

  • Terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Tawarin Kerja x Untuk Ajeng

    Setelah itu, suasana kamar masih hangat dan sunyi. Tante Sarah berbaring menyandar di dada Luki, tubuhnya masih dibalut selimut yang sama, napasnya perlahan mulai stabil. Luki mengusap pelan kepala Tante Sarah, gerakannya lembut, seperti mencoba menenangkan sekaligus menormalkan kembali suasana. Tante Sarah menarik sedikit selimut naik ke bahunya, lalu berkata dengan suara lirih, “Aku sebenarnya mau ajak kamu sama Ajeng kerja di butik aku nanti…” Luki menoleh kecil, masih mengusap rambutnya. “Aku kan udah kerja, Tan,” jawabnya pelan. “Kalau mau ngajak, coba tawarin Mbak Ajeng aja.” Tante Sarah mengangkat wajahnya sedikit, menatap Luki dengan alis terangkat. “Ajeng? Kan dia juga kerja, Luk.” Luki menggeleng. “Mbak Ajeng udah nggak kerja, Tan.” Tante Sarah diam sebentar, kagetnya terlihat jelas. Ia bangkit sedikit, bersandar di lengan Luki sambil memegang selimut agar tetap menutup tubuhnya. “Serius?” tanyanya. “Kenapa udah nggak kerja?” Luki menarik napas pelan

  • Terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Malam, Tante Sarah Berkeringat

    Setelah memastikan mobil tamu tadi benar-benar menjauh, Luki akhirnya memajukan mobilnya perlahan. Ia berhenti tepat di depan pagar rumah Tante Sarah. Rumah itu terlihat tenang sekarang, hanya lampu teras yang menyala lembut. Luki turun dari mobil, menoleh kanan–kiri sejenak untuk memastikan situasi aman, lalu berjalan masuk melewati pagar yang sedikit terbuka. Pintu rumah ternyata masih terbuka lebar, seperti sedang menunggu seseorang. “Assalamualaikum…” suara Luki terdengar pelan tapi jelas. Dari dalam, muncul Tante Sarah sambil tersenyum kecil. “Waalaikumsalam. Masuk sini, Luk. Tante kira kamu nggak jadi datang.” Luki hanya membalas senyum itu. “Tadi nunggu tamunya pergi dulu, Tante.” “Oh begitu…” Tante Sarah mengangguk, belum menanggapi lebih jauh. “Ngopi dulu? Tante bikinin ya?” tawarnya sambil berjalan ke dapur kecil. “Boleh, Tan. Makasih.” Tidak butuh lama, Tante Sarah kembali membawa dua cangkir kopi panas. Dia meletakkan satu di depan Luki, lalu menutup pint

  • Terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Nasehat Ajeng x Keputusan Luki

    Luki keluar dari kamar dengan kepala masih penuh pikiran. Tadi di dapur, saat ia meminta izin, Mbak Ajeng hanya menjawab singkat tanpa menoleh lama— “Mandi dulu aja, terus makan malam. Nanti kita ngobrol.” Tidak ada jawaban boleh atau tidak. Tidak ada ekspresi marah, tapi juga tidak ada tanda kelegaan. Seolah Mbak Ajeng sengaja menunda. Luki pun cuma bisa mengangguk dan menurut. Ia kembali ke kamarnya, mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. Air dingin yang mengguyur tubuhnya tidak cukup menenangkan pikirannya. Malah bikin semuanya makin nyesek. Aduh, kenapa juga tadi ngomong jujur. Bisa tadi alasan keluar ketemu Gladys sebentar. Gak bakal serumit ini, keluhnya dalam hati. Setelah selesai, Luki turun ke meja makan. Meja sudah tertata rapi, dua piring sudah terisi, dan aroma lauk yang baru dimasak Mbak Ajeng terasa menghangatkan ruangan. Mbak Ajeng sudah duduk, tangannya menopang dagu sambil menatap Luki yang baru mendekat. “Nih, makan dulu,” katanya pelan. Luki duduk tan

  • Terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Kepedulian Maurell x Izin ke Mbak Ajeng

    Tiba di kantin belakang kantor, suasananya ramai tapi tidak terlalu bising. Beberapa pegawai dari gedung sekitar juga sedang makan siang, dan aroma masakan berkuah memenuhi udara. Luki dan Maurel memilih duduk di salah satu tenda yang cukup teduh. Mereka memesan tiga porsi soto betawi—dua buat mereka, satu untuk dibawa pulang ke kantor untuk Gladys. Setelah pelayan mencatat pesanan, suasana di meja mereka sempat hening. Luki akhirnya menatap Maurel dengan bingung sejak tadi. Ia menyandarkan tangan di meja dan bertanya, “Rel… kamu kenapa tiba-tiba ngajak gue makan siang? Ada apa?” Maurel hanya tersenyum kecil. Senyuman yang jelas bukan senyuman iseng… lebih seperti senyuman seseorang yang sengaja menyembunyikan sesuatu. “Ada yang mau aku tanyain,” jawab Maurel pelan. Luki makin bingung. “Apa?” Maurel menghela napas, lalu menatap Luki serius. “Emang beneran kalo… Mbak Ajeng resign?” Luki langsung terkejut, tubuhnya sedikit maju ke depan. “Hah? Kok kamu tau??”

  • Terjebak Gairah Liar Tante Sarah   Kelegaan Luki x Keputusan Ajeng

    Di dalam mobil, perjalanan menuju kantor berlangsung seperti biasa, tapi suasananya tidak. Ada sesuatu yang berbeda dari Luki pagi itu. Dari cara ia menyetir, dari tatapan matanya, bahkan dari senyum yang sesekali muncul tanpa alasan. Gladys yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya akhirnya menyadari perubahan itu. Ia melirik ke arah Luki sambil mengangkat alis. “Kamu hari ini kayaknya lagi happy yaa, Luk?” tanyanya sambil menutup aplikasi di hapenya. Luki menoleh sebentar, senyum lebarnya sulit disembunyikan. “Hehe… keliatan yaa, Dys?” Gladys langsung mematikan layar ponsel, lalu memutar sedikit tubuhnya ke arah Luki. Ia menaruh siku di sandaran tangan mobil, ekspresinya berubah penasaran penuh antusias. “Kenapa sih, Luk? Cerita dong, cerita…” Luki menarik napas pendek, mencoba menyusun kata-kata sambil tetap fokus ke jalan. “Aku seneng, Dys. Akhirnya Mbak Ajeng mau resign dari kerjaannya. Terus mau stay di rumah.” Gladys refleks mengangguk kecil. “Ohh gitu… emangn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status