MasukTiba-tiba listrik padam, seluruh rumah gelap gulita. Luki yang masih berdiri di depan pintu kamar Tante Sarah langsung terkejut. Tante Sarah juga kaget, lalu refleks memanggil.
“Luki? Kamu di situ ya?” tanyanya pelan. “I-iya, Tan…,” jawab Luki gugup sambil menahan napas. “Jangan kemana-mana, tunggu di situ dulu,” ucap Tante Sarah sambil meraba meja mencari sesuatu. Ia menemukan ponselnya dan langsung menyalakan senter. Cahaya putih membuat wajahnya terlihat jelas dari celah pintu. Luki hanya berdiri kaku, tidak tahu harus bagaimana. “Hhh, syukurlah ketemu juga,” gumam Tante Sarah lega. “Gelap gini bikin jantung deg-degan,” tambahnya sambil menghela napas. “Luk, temenin tante ya… tante gak mau sendirian,” pintanya sambil tersenyum samar. Luki mengangguk cepat. Ia melangkah pelan ke arah pintu, seolah ingin masuk. Namun Tante Sarah buru-buru menghentikannya dengan nada menggoda. “Eh, jangan masuk kamar tante,” ucapnya tiba-tiba. “Kenapa, Tan? Aku nemenin aja kok,” Luki berusaha meyakinkan. “Kamar tante agak basah abis tadi… kurang enak kalau di sini,” jawab Tante Sarah sambil menatapnya tajam. Luki langsung salah tingkah, jantungnya berdetak makin kencang. Ucapannya terasa ganda, membuat otaknya sulit fokus. Ia hanya bisa mengangguk tanpa berani menatap balik. “Ya udah… kita ke kamarmu aja,” kata Tante Sarah tenang. “I-iya, Tan… ayo,” jawab Luki terbata. “Gak apa-apa kan?" Tante Sarah menambahkan, suaranya terdengar makin menggoda. Mereka pun melangkah perlahan ke arah kamar Luki. Cahaya senter ponsel menerangi jalan, membuat bayangan mereka bergerak di dinding. Suasana hening hanya diisi langkah kaki yang pelan. “Dekat aja sama tante, jangan jauh-jauh,” ucap Sarah lembut. “Iya Tan, aku di sini,” jawab Luki cepat. “Lampu Mati sama Mati lampu itu suasananya beda, Luk. Tante biasa tidur lampu di matiin, tapi kalo mati lampu gini suka iseng sendirian,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Langkah mereka semakin dekat menuju kamar Luki. Luki berusaha keras mengatur napas, tapi pikirannya terus kacau. Malam gelap itu justru membuatnya semakin sulit membedakan mana rasa takut dan mana rasa berdebar karena tante Sarah. Di kamar Luki, suasana gelap hanya ditemani cahaya senter ponsel Tante Sarah yang diarahkan ke atas. Mereka duduk bersampingan di pinggir ranjang, bayangan tubuh menempel di dinding. Hening terasa, tapi jantung Luki berdetak keras. Tante Sarah menoleh sekilas, memperhatikan wajah Luki yang kaku. Ia tersenyum samar, lalu berkata dengan suara tenang. “Luk… tante tahu tadi kamu ada di depan pintu.” Luki langsung menegakkan tubuh, wajahnya memanas. “A-aku gak sengaja, Tan… pintunya kebuka sendiri,” jawabnya terbata. “Aku beneran gak maksud ngeliat.” “Hmm… tapi kamu gak langsung pergi kan? Keterusan, ya?” balas Tante Sarah dengan nada menggoda. Luki menelan ludah, menunduk dalam. “Maaf, Tan… aku khilaf. Aku salah.” Tante Sarah justru tertawa pelan. “Tante gak marah kok. Wajar kalau kamu kaget ngeliat.” “Serius gak marah, Tan?” tanya Luki ragu. Sarah menghela napas, tatapannya lembut. “Tante ini janda, Luk. Kadang butuh sesuatu buat diri sendiri.” Luki menoleh cepat, tak percaya apa yang ia dengar. “M-maksudnya… itu tadi?” “Iya, itu cara tante buat ngisi kekosongan,” jawabnya jujur. Luki terdiam, otaknya penuh bayangan yang barusan ia saksikan. “Aku… aku ngerti, Tan,” gumamnya pelan. “Jangan disalahpahami ya,” lanjut Sarah. “Tante cuma manusia biasa, punya rasa butuh juga.” “Iya… aku paham, Tan,” jawab Luki cepat, masih gugup. Suasana makin tegang, jarak mereka begitu dekat. Sarah tersenyum tipis, jemarinya nyaris menyentuh tangan Luki, lalu ditarik kembali. Luki menahan napas, tubuhnya kaku. “Luk, kamu masih gugup banget, ya?” tanya Sarah lembut. “Gimana gak gugup, Tan… tadi aku liat semua,” jawab Luki jujur. “Hm… ya udah, anggap aja itu rahasia kita berdua,” balasnya sambil menatap dalam. Luki hanya bisa mengangguk, hatinya berdebar tak karuan. Suasana kamar terasa panas, tapi keduanya masih tertahan, tidak melewati batas. Malam itu berhenti pada titik genting, seolah ada garis tipis yang tinggal menunggu untuk disebrangi. Cahaya senter ponsel di atas ranjang masih menyinari samar kamar Luki. Bayangan mereka berdua menempel di dinding, duduk bersisian begitu dekat. Luki merasakan hawa tubuh Tante Sarah lebih nyata dari sebelumnya. Tante Sarah memiringkan tubuh, matanya menatap Luki tanpa berkedip. Tangannya bergerak pelan, menyentuh lengan Luki dengan ringan. Sentuhan singkat itu membuat Luki menegang. “Kamu masih gugup, Luk?” tanya Sarah lembut. “I-iya, Tan… susah buat tenang,” jawab Luki jujur. “Padahal tante cuma ada di sampingmu,” balasnya sambil tersenyum tipis. Luki menoleh pelan, menatap wajah tante yang jaraknya hanya sejengkal. Hatinya makin berdebar, pikirannya makin kacau. Napasnya terasa pendek, sulit dikendalikan. “Duh, kenapa jadi makin deket gini,” batin Luki gelisah. “Kalau terus kayak gini… aku bisa hilang kontrol,” pikirnya. “Tapi kenapa aku gak bisa menjauh?” gumamnya lirih. Sarah menggeser lebih dekat, kini paha mereka hampir bersentuhan. Tangannya perlahan turun, menepuk paha Luki sekali, lalu diam di sana. Luki terpaku, tubuhnya kaku seolah kehilangan kendali. “Kamu gak usah takut sama tante,” ucap Sarah dengan nada menenangkan. “Tan… aku… aku bingung,” suara Luki bergetar. “Gak usah bingung. Tadi kamu udah liat semua, sekarang gak ada lagi yang ditutupi,” jawab Sarah mantap. Luki menarik napas dalam, matanya memandangi wajah tante lebih lama. Pikirannya kacau, antara menolak dan menerima godaan itu. Tubuhnya justru makin condong ke arah Sarah tanpa sadar. “Kenapa kamu diem aja, Luk?” tanya Sarah sambil menatap tajam. “Aku takut salah, Tan,” jawab Luki pelan. “Kalau sama tante, gak ada yang salah,” balasnya singkat. Suasana kamar makin panas, seolah dinding menyimpan semua ketegangan itu. Wajah mereka kini hanya sejengkal, napas bertemu di udara. Luki hampir tak mampu berpikir jernih. Malam gelap itu mempertemukan keduanya pada titik genting. Fisik dan emosi mereka sudah sangat dekat. Tinggal sedikit saja, dan garis tipis itu akan terlewati.Malam pun tiba, suasana kota mulai tenang dan lampu-lampu jalan perlahan menyala. Luki melajukan mobilnya pelan menuju rumah Tante Sarah. Hatinya masih belum tenang sepenuhnya — bayangan wajah kesal Gladys di kantor tadi terus terlintas di kepalanya. Tapi janji tetap janji, dan Tante Sarah bukan orang yang mudah menerima alasan. Begitu sampai di depan rumah, Luki sempat menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Tak lama kemudian, Tante Sarah muncul dengan senyum hangat di wajahnya. Rambutnya tergerai, dan malam itu ia mengenakan gaun santai berwarna krem yang membuatnya terlihat anggun tapi tetap menggoda. “Akhirnya datang juga,” ucap Tante Sarah lembut, senyumnya menenangkan tapi ada sedikit nada menuntut di baliknya. “Iya, Tante. Maaf agak telat, tadi rapatnya molor dikit,” jawab Luki sambil menunduk sopan. Tante Sarah hanya mengangguk dan mempersilakannya masuk. Meja makan sudah tertata rapi dengan hidangan yang masih hangat—ada sop ayam, ikan bakar, dan segelas jus jer
Tiba di kantor, suasana pagi terasa canggung.Gladys masih diam sejak di mobil, pandangannya hanya tertuju ke layar komputer.Luki yang berdiri di depan pintu ruangannya pun menarik napas sebelum masuk.“Dys, hari ini jam sepuluh kita ada meeting sama klien,” katanya pelan.Gladys hanya menjawab singkat, “Hmm.”Suasana kembali hening, hanya terdengar bunyi kipas pendingin ruangan.Luki mencoba mencairkan suasana. “Kamu mau kopi atau teh?”Gladys masih menatap layar. “Kopi. Yang pahit.”Luki mengerutkan dahi. “Tumben kopi pahit?”“Biar sesuai sama mood aku,” jawab Gladys datar.Luki hanya mengangguk, memilih tak menimpali.Ia keluar dari ruangan, menuju pantry untuk membuat kopi hitam tanpa gula.Beberapa menit kemudian, ia kembali.“Ini kopinya,” ucapnya singkat, meletakkan cangkir di meja.Gladys mengambilnya tanpa bicara, lalu meneguk satu kali.“Paittt banget!” keluhnya spontan, menatap Luki tajam.Luki menatap bingung. “Kan kamu yang minta kopi pahit.”Gladys mendengus. “Dasar kam
Tante Sarah menarik Luki kembali ke sofa. Dengan cepat, ia membalik posisi, membuat dirinya berada di atas Luki. Lengan Sarah mencekik leher Luki, mengunci ciuman mereka. Sarah menyingkap daster satinnya dan mengambil alih kendali penuh. Posisi penuh kuasa itu membuat Luki tak bisa berbuat banyak selain menikmati. Luki hanya bisa mencengkeram pinggul Sarah. Tarikan napas Luki tercekik, sangat pendek dan tajam karena terkejut. "Masih pagi udah senafsu ini, Tan!" Desisan Raka teredam di bahu Sarah. Sarah tidak peduli dengan protes itu. Ia menentukan ritme dengan gerakan pinggul yang kuat. Ia membungkuk, menggigit kecil telinga Luki, sambil terus bergerak. Desahan Sarah memanjang, cepat, dan semakin liar. Ia berusaha bicara, tetapi yang keluar hanyalah gumaman yang terpotong-potong. "Mmm... Ah... ya... cepat!" Gumaman itu adalah sisa dari kontrolnya yang runtuh. "Terus Sayang! Aaaahhh.. Y-yaaa.. Begitu..." perintah Sarah, suaranya parau. Desahan Sarah mencapai klimaks. Ia melengk
Masih dengan mata setengah terbuka, Luki menatap layar ponselnya yang terus bergetar. Nama Tante Sarah terpampang di sana. Ia sempat ragu untuk mengangkat, tapi akhirnya menyerah. “Halo, Tante…” suaranya serak, baru saja bangun tidur. “Luki, bisa ke rumah Tante pagi ini?” suara di seberang terdengar mendesak, bahkan sedikit gemetar. “Pagi ini, Tan? Sekarang jam lima… Kan aku harus berangkat kerja, pagi—” “Luki, tolong. Sekarang aja. Kamu izin aja berangkat siang. Tante butuh kamu,” potong Tante Sarah cepat. Nada bicaranya membuat Luki terdiam. Ada sesuatu yang terasa aneh, nada panik yang jarang sekali ia dengar dari tantenya itu. “Emangnya kenapa, Tan? Ada apa?” “Pokoknya kamu ke rumah dulu. Tolong banget.” Telepon langsung ditutup tanpa sempat Luki membalas. Ia menghela napas, lalu menatap jam di dinding. Masih terlalu pagi untuk drama seperti ini. Tapi nada suara tante barusan membuatnya gak enak hati. Akhirnya ia bangkit dari kasur, mencuci muka, lalu menyeduh kopi instan
Luki duduk di sofa dengan tubuh agak bersandar, pandangannya sesekali mengarah ke pintu. Jam dinding menunjukan hampir pukul sepuluh malam. Suasana apartemen terasa tenang, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan. Ia meneguk sisa kopi di cangkirnya, mencoba menenangkan diri sebelum percakapan penting itu dimulai. Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. Luki segera bangkit dan membukanya. “Yo, masuk Zal.” Rizal melangkah masuk, menepuk bahu Luki. “Susah banget cari alamat lu, bro. Untung lu kirim share loc.” “Hehe, ya maklum, baru pindah sini juga,” jawab Luki sambil tersenyum tipis. Ia segera menyiapkan dua cangkir kopi panas dan mengajaknya duduk di ruang tamu. Rizal menatap Luki dengan penasaran. “Jadi, apa sih yang penting banget sampe ngajak gue kesini malem-malem gini?” Luki menarik napas dalam, lalu meletakkan ponselnya di meja. “Ini soal Annisa, Zal.” Mendengar nama itu, ekspresi Rizal langsung berubah serius. “Kenapa? Jangan bilang ada
Luki duduk di sofa ruang tengah dengan segelas kopi hitam di tangan. Asap tipis naik perlahan dari cangkir, menebarkan aroma hangat yang bercampur dengan bau lembut parfum ruangan. Malam terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding berdetak pelan. Tak lama, Tante Sarah keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah basah. Ia mengenakan baju santai berwarna lembut, lalu berjalan menghampiri Luki dan duduk di sampingnya. Tubuhnya bersandar manja di bahu Luki, sambil memainkan jari ke lengan Luki. “Merokok sekarang kamu ya,” ucapnya pelan sambil tersenyum. Luki menoleh sekilas, lalu hanya membalas dengan senyum tipis. “Iya, Tante. Ya gak sering juga sih.” Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana hening itu. Hingga akhirnya Tante Sarah membuka pembicaraan. “Oh iya, kamu penasaran soal Mas Bowo, kan?” katanya tiba-tiba. Luki menatapnya, sedikit terkejut. “Iya, Tante. Aku cuma penasaran aja, soalnya namanya pernah disebut sama Om Albert.” Tante Sarah mengangguk pe
![Memantai [Tamat]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)






