MasukTiba di rumah, Luki langsung mencium aroma kue yang hangat dari arah dapur. Mbak Ajeng terlihat sibuk di depan meja, adonan di mangkuk besar masih diaduk perlahan. Saat mendengar suara pintu dibuka, ia menoleh dan tersenyum tipis. “Udah pulang, Luk?” tanyanya. “Gimana jadinya?” Luki melepas sepatunya, lalu berjalan masuk sambil menghela napas. “Iya, Mbak,” jawabnya pelan. “Bener kata Mbak. Tante nyuruh aku besuk Mamah.” Mbak Ajeng berhenti mengaduk. Alisnya sedikit berkerut, matanya menyipit penuh tanya. “Besuk Mamah?” ulangnya. “Tumben, Luk. Mamah kenapa? Ada apa?” “Enggak,” Luki menggeleng. Ia duduk di kursi meja makan, menyandarkan punggungnya. “Mamah baik-baik aja. Tapi… aku juga bingung ini kabar baik atau malah bikin pusing.” Mbak Ajeng kembali mengaduk adonan, namun jelas perhatiannya terbagi. “Maksudnya gimana?” Luki menatap permukaan meja sebentar, memilih kata. “Tante bilang, ada orang yang ngelunasin biaya denda sama uang pengganti Mamah. Katanya cukup b
Siang itu rumah terasa lebih tenang dari biasanya. Televisi menyala dengan volume sedang, menampilkan acara yang bahkan tak benar-benar ditonton oleh Ajeng. Ia duduk bersandar di sofa, satu kakinya dilipat, matanya sesekali melirik ke arah Luki yang mondar-mandir di kamar, sibuk bersiap. Tak lama kemudian, Luki keluar dengan kemeja rapi dan jam tangan yang baru saja ia kenakan. Gerakannya terlihat tergesa tapi masih terkontrol, seolah ia sendiri belum sepenuhnya yakin dengan kepergiannya. Ajeng menoleh, mematikan suara televisi lalu bertanya dengan nada datar, tapi penuh perhatian. “Kamu mau ke mana, Luk?” Luki berhenti sebentar, lalu berjalan mendekat sambil merapikan ujung bajunya. “Ke rumah Tante Sarah bentar, Mbak,” jawabnya ringan. “Katanya ada yang mau diomongin.” Ajeng mengernyit kecil. Ia menegakkan duduknya, menatap Luki lebih serius. “Ngomongin apa?” Luki mengangkat bahu pelan. “Gak tau. Katanya nanti aja ngomongnya di sana.” Ajeng terdiam sejenak, pikira
Siang itu, di dalam sel, Pak Herman sedang duduk bersandar di dinding ketika seorang petugas lapas berhenti di depan jeruji. “Pak Herman,” panggil petugas itu dengan nada datar. Herman mengangkat kepala. “Iya, Pak?” “Ada yang mau besuk.” Herman sedikit mengernyit. “Siapa? Bukannya tadi sudah… Luki sama Ajeng.” Petugas itu melihat catatannya sebentar. “Namanya Bu Sarah.” Herman terdiam sesaat. Ada jeda yang cukup jelas sebelum akhirnya ia bangkit berdiri. Wajahnya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, meski langkahnya tetap tenang mengikuti petugas menuju ruang besuk. Begitu sampai, Herman langsung melihat sosok Sarah sudah duduk di kursi seberang meja pembatas. Sarah menoleh, tersenyum tipis, tanpa langsung bicara apa pun. Herman duduk perlahan. “Kamu ke sini?” Sarah mengangguk kecil. “Udah ketemu Luki sama Ajeng, Man?” Herman semakin heran. “Kok kamu tahu mereka habis dari sini?” Sarah menyandarkan punggungnya, ekspresinya tenang. “Semalem Luki cerita. Katany
Sabtu siang itu cuaca terasa terik, tapi Luki tetap menyetir dengan tenang. Di kursi sebelahnya, Mbak Ajeng duduk sambil memangku plastik berisi bakmi yang baru saja mereka beli—bakmi kesukaan papah Luki, yang sejak tadi terus Ajeng jaga agar tidak tumpah. “Harusnya masih anget pas nyampe,” kata Ajeng pelan sambil melirik jam di dashboard. “Iya, Papah pasti seneng,” jawab Luki singkat, meski nadanya terdengar sedikit tertahan. Sepanjang perjalanan menuju lapas, suasana di dalam mobil lebih banyak diisi diam. Luki fokus ke jalan, sementara Ajeng beberapa kali menoleh ke arah Luki, seolah ingin memastikan kondisi batinnya baik-baik saja. Tapi Ajeng memilih tidak banyak bicara, memberi ruang pada Luki untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setibanya di depan lapas, Luki memarkir mobil dengan rapi. Ia menarik napas dalam sebelum mematikan mesin. “Siap, Mbak?” tanyanya sambil menoleh. Ajeng mengangguk. “Siap. Kamu juga udah siap kan, Luk.” Mereka turun dari mobil dan berja
Siang itu, ruangan Gladys terasa cukup tenang. AC menyala pelan, sementara berkas-berkas kontrak tersusun rapi di meja. Luki memperhatikan satu kontrak yang sedang Gladys jelaskan.“Jadi yang ini tinggal kamu cek ulang pasal pembayarannya aja, Luk,” kata Gladys sambil menunjuk halaman terakhir.Luki mengangguk. “Oke, gampang. Nanti malam aku rapihin terus kirim revisinya.”Rapat kecil itu berjalan sekitar 20 menit. Setelah semuanya dirasa cukup, Gladys menutup map berkas dan bersandar.“Udahan dulu. Kita makan siang yuk?” ajaknya.“Gas,” jawab Luki sambil merapikan meja.Mereka berjalan menuju kantin kantor. Suasananya lumayan ramai, tapi masih dapat meja kosong. Saat makanan baru sampai, Luki mengambil ponselnya sebentar. Ada satu pesan WhatsApp baru.Dari Om Iksan.Luk, Papah kamu minta dijenguk minggu ini. Kalau bisa ajak Ajeng sekalian ya.Luki menarik napas pelan, kemudian membalas singkat.Iya Om, insyaallah Sabtu ya.Gladys melihatnya dari seberang meja. “Chat dari siapa? Mbak
Setelah itu, suasana kamar masih hangat dan sunyi. Tante Sarah berbaring menyandar di dada Luki, tubuhnya masih dibalut selimut yang sama, napasnya perlahan mulai stabil. Luki mengusap pelan kepala Tante Sarah, gerakannya lembut, seperti mencoba menenangkan sekaligus menormalkan kembali suasana. Tante Sarah menarik sedikit selimut naik ke bahunya, lalu berkata dengan suara lirih, “Aku sebenarnya mau ajak kamu sama Ajeng kerja di butik aku nanti…” Luki menoleh kecil, masih mengusap rambutnya. “Aku kan udah kerja, Tan,” jawabnya pelan. “Kalau mau ngajak, coba tawarin Mbak Ajeng aja.” Tante Sarah mengangkat wajahnya sedikit, menatap Luki dengan alis terangkat. “Ajeng? Kan dia juga kerja, Luk.” Luki menggeleng. “Mbak Ajeng udah nggak kerja, Tan.” Tante Sarah diam sebentar, kagetnya terlihat jelas. Ia bangkit sedikit, bersandar di lengan Luki sambil memegang selimut agar tetap menutup tubuhnya. “Serius?” tanyanya. “Kenapa udah nggak kerja?” Luki menarik napas pelan







