All Chapters of SWEET CAKE: Chapter 51 - Chapter 60
132 Chapters
Timer
Rasanya sudah sampai di ubun-ubun amarah yang bergelora di dalam dada Zen. Melihat Lea yang tergeletak tak berdaya, membuat Zen semakin geram."Apa dia masih hidup?" tanya Zen dengan nada dingin.Alih-alih terlihat cemas terhadap kondisi Lea, Zen justru tampak sangat marah dengan wajah yang merah padam. Pria itu juga hanya melihat kondisi Lea dari posisinya yang berdiri. Namun percayalah, saat ini ... dia bukan hanya marah, tapi juga sangat mengkhawatirkan kondisi wanita itu. Hanya saja, Zen tidak suka menunjukkan apa yang dia rasa kepada orang lain.Clint yang berdiri di sebelah Zen, menatap Lea sembari menggeleng lemah."Denyut nadinya lemah sekali. Entahlah, aku belum bisa memastikan. Kurasa ada yang memasukkan sesuatu pada makanan atau minuman yang dikonsumsi Lea. Karena dia baik-baik saja sebelumnya. Aku perlu memeriksanya lebih lanjut, tapi ... sialnya listrik padam." Clint menjawab seperti yang dia ketahui."Lakukan apa pun yang harus kau la
Read more
Cover Each Other
Pergerakan waktu yang begitu cepat, memaksa Zen untuk berpikir cepat pula."Berlindung!!!" teriak Zen seraya membalik badan dan berlari keluar dari ruangan itu.Anak buah Zen pun langsung berhamburan keluar untuk mencari tempat berlindung meski terlihat sia-sia. Karena mereka tidak tahu seberapa besar dampak ledakan yang dapat ditimbulkan oleh bom itu.Namun, hingga beberapa saat mereka berlari, tak ada tanda-tanda bom itu meledak. Zen seketika menghentikan langkah. Dia mengangkat kepalan tangan, mengisyaratkan anak buahnya untuk berhenti panik. Kemudian dia menoleh ke belakang. Kedua matanya awas, meneliti pintu ruang kendali generator."Ada sesuatu yang salah di sini," ujarnya.Lantas, dia memutar badan dan berjalan dengan hati-hati ke arah ruangan yang baru saja dia tinggalkan dengan tergesa-gesa."Tuan!" seru anak buahnya yang merasa khawatir.Zen berhenti melangkah, lantas menoleh ke arah anak buahnya."Bukankah seharusnya
Read more
Datura Stramonium
Lea koma.Setengah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Zen memastikan sekali lagi bahwa dia tidak salah mendengar ucapan Clint."Iya, Zen. Lea koma." Clint menegaskan sekali lagi.Kepala Zen berputar, mengarah pada wanita yang sedang terjebak di antara dua dunia itu. Seolah bisa melihat Lea yang tengah berjalan di atas tambang untuk menuju cahaya, namun di bawahnya berkobar api neraka yang mengerikan. Seolah wanita itu memang sudah mati dan sedang menunggu peradilan di akhirat."Fungsi otaknya menurun drastis hingga dia kehilangan sebagian kendali atas kinerja organ di dalam tubuh yang mengakibatkannnya menjadi seperti ini." Clint menunjukkan hasil CT scan kepada Zen yang hanya direspons dengan lirikan oleh pria itu."Apa tidak ada yang bisa kau lakukan untuk membuatnya hidup lagi?" tanya Zen tanpa berpaling dari Lea.Pertanyaan itu lebih terdengar seperti candaan di telinga Clint. Hingga dia melemaskan bahu seraya menatap lelah pada san
Read more
Pertikaian Berdarah
Berada di ruangan itu hanya berdua dengan Lea, ditemani suara monitor yang menandakan bahwa alat vital di tubuh wanita itu masih berfungsi. Tentu saja dengan bantuan beberapa alat penunjang kehidupan. Jika tidak, bisa saja nyawa Lea saat ini sudah melayang. Zen duduk bertopang dagu, dengan siku yang bertumpu pada tepi ranjang Lea. Pria itu tidak mengatakan apa pun sejak dirinya meminta Clint meninggalkan ruangan tersebut. Kedua netranya terus menyorot pada wajah sang wanita. Menatap paras cantik dengan kelopak mata yang menyembunyikan iris hijau menawan yang biasanya selalu memancarkan keindahan.Beberapa orang, termasuk Clint merasa ada yang berubah dari sosok seorang Zen Aberdein. Pria berhati dingin yang tak kenal belas kasih itu seolah bermetamorfosa menjadi sosok yang menyimpan kepedulian begitu besar di dalam hatinya. Bahkan mereka berpikir, cinta telah menyentuh hati pria itu."Kehadiran Nona Lea telah membawa perubahan yang sangat besar pada Tuan Zen," ujar sal
Read more
Tidur di Sampingmu
Mengguyur kepalanya dengan air yang mengucur dari shower, Zen merasa sedikit lebih rileks. Penat yang dia rasa seolah ikut luruh bersama air yang mengalir melalui permukaan kulit. Dengan kedua tangan, pria itu mengusap wajah, menghalau aliran air yang menderas melalui wajah agar tetap dapat bernapas.Hanya satu yang tak bisa hilang ketika air mengalir deras dari ujung kepala hingga ujung kaki Zen, yaitu Lea. Senyum indah dan kilau mata yang berbinar di wajah wanita itu seakan tak mau pergi dari kepala Zen. Semua yang ada pada diri Lea, seolah menempel di otaknya seperti gurita yang mengikat musuh dengan tentakel."Sweet Cake ...." Tanpa sadar panggilan itu mengalun lirih dari bibir Zen.Pria itu memejam sembari menundukkan kepala. Kedua tangannya menapak pada kaca buram yang menjadi penyekat di dalam kamar mandi. Dia biarkan air mengalir melalui ujung hidung runcingnya dan berakhir di permukaan lantai kamar mandi hingga menimbulkan suara gemericik yang begitu ra
Read more
Amplop Kuning
"Kita bicarakan ini di ruanganku," ujar Zen seraya berjalan melewati anak buahnya yang masih berjaga.Arthur mengangguk satu kali lantas memberi jalan pada Zen untuk mendahuluinya."Kau yakin informasi yang kau dapatkan ini akurat?" Zen bertanya tanpa melihat orang yang ditanya. Kaki pria itu terus melangkah meninggalkan ruangan di mana Lea tengah dirawat."Sangat yakin, Tuan. Informasi ini saya dapat dari informan kita yang ada di dermaga," jawab Arthur sangat yakin."Kau yakin ini bukan jebakan untuk mrmancingku keluar?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Zen membuat Arthur berpikir dua kali. Hingga beberapa saat, Arthur tidak kunjung menjawab pertanyaan Zen. Oleh sebab itu, Zen berhenti melangkah dan membalik badan, melihat pada orang kepercayaannya yang bungkam."Kau tidak yakin, eh?" Zen mengangkat sebelah alis, menatap remeh pada Arthur."Maafkan saya, Tuan." Arthur menundukkan kepala, merasa bodoh atas ketidakcermatannya.Hal
Read more
Kepercayaan yang Tergores
Dengan dada yang bergemuruh, Zen keluar dari ruang kerja dengan beberapa lembar foto yang tersisa di dalam amplop. Dia mengayun langkah dengan lebar, kembali ke kamar di mana Lea dirawat. Hari memang masih pagi, tapi emosi tinggi yang dia rasakan membuat suhu di sekitarnya terasa begitu panas seperti sedang berada di tengah gurun pasir yang tandus.Anak buah Zen yang berada di depan kamar segera berdiri menyambut kedatangan pria tersebut. Mereka pikir, tuan mereka akan segera meninggalkan mansion setelah mendapat kabar dari Arthur bahwa ada informasi yang ditunggu-tunggu olehnya.Zen mengangkat sebelah tangan ketika salah satu anak buahnya hendak menyapa, pertanda bahwa dia menginginkan anak buahnya tersebut diam. Alih-alih langsung masuk ke dalam kamar, Zen justru berdiri di depan pintu yang masih tertutup. Pria itu hanya diam dan melihat ke dalam ruangan dengan tatapan tajam. Atau lebih tepatnya melihat seorang pri
Read more
Dermaga
Dalam suasana hati yang kacau, Zen melajukan supercar-nya dengan ugal-ugalan. Mengikuti GPS yang dikirim Arthur beberapa saat lalu, supercar itu seolah melaju dengan sendirinya. Kedua tangan Zen mencengkeram kemudi dengan sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Berengsek!” umpat Zen sembari memukul kemudi. Pria itu memalingkan wajah ke kiri sejenak sebelum akhirnya kembali mengarahkan fokusnya ke depan. Tentang kebenaran pengkhianatan yang dilakukan oleh Clint masih sangat mengganggu pikirannya. “Aku harus fokus.” Zen menyugesti dirinya sendiri untuk kembali fokus pada apa yang ingin dia lakukan bersama Arthur. Lokasi yang dikirimkan Arthur ternyata berada di sebuah motel, di dekat dermaga. Zen pun segera memarkirkan kendaraannya di halaman motel yang terbilang cukup kumuh tersebut. “Apa tidak ada tempat lain yang lebih menjijikkan dari ini?&r
Read more
Panggil Aku Hunter
Seorang pria dengan setelan jas mahal tampak berjalan di samping Bram. Bukan pertama kali Zen melihat pria itu, karena sebelumnya dia pun pernah bertemu dengan pria tersebut. “Sepertinya ini adalah transaksi besar The Demon. Jika tidak … maka tak mungkin pemimpin The Demon turun tangan sendiri untuk melakukan transaksi,” ujar Zen seraya menurunkan teropong dan berpaling ke arah Arthur. “Maksud Anda … pria yang bersama dengan Bram adalah pemimpin The Demon?” Kening Arthur berkerut samar. Selama ini, yang Arthur tahu pemimpin The Demon sangat menjaga kerahasiaan identitasnya. Tak hanya Arthur, orang-orang yang terlibat dalam bisnis serupa pasti tahu jika pemimpin kartel tersebut nyaris tak pernah terlihat. Tak ada yang tahu seperti apa wajah dan siapa sebenarnya orang nomor satu di kartel itu. Lalu, bagaimana Zen tahu jika orang yang bersama Bram adalah “The Demon” itu sendiri? “Tepat sekali.” Zen menatap lurus pada Arthur. “Bagaimana Anda bisa
Read more
Mafia Roman Picisan
Meninggalkan lokasi di mana pertikaian itu terjadi, Zen dan Arthur segera kembali ke motel. Sudah cukup lama sejak Bram meninggalkan dermaga. Mereka harus segera menyusul agar tidak terlalu jauh tertinggal.“Sepertinya kita harus bekerja lebih keras,” ujar Arthur setelah mematikan sambungan telepon.Anak buah Zen yang bersiaga di sekitar pelabuhan melihat kendaraan yang ditumpangi oleh Bram berbelok ke jalur yang berlawanan arah dengan jalur menuju perbatasan. Setelah mengikuti mobil itu dengan jarak aman, akhirnya dia dapat menyimpulkan bahwa Bram memang belum berniat kembali ke Meksiko.“Begitukah?” Zen yang hendak membuka pintu mobil, menghentikan apa yang dia lakukan lalu menoleh pada Arthur yang berada di samping sedan tua—kendaraan yang disewa oleh Arthur untuk melancarkan pekerjaannya.“Bram tidak menuju perbatasan. Bisa jadi dia sedang menuju markas The Demon untuk membahas masalah kegagalan transaksinya,” ujar Arthur, menjelaskan apa yang belum d
Read more
PREV
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status