All Chapters of TRUE LOVE BEAST HUSBAND: Chapter 31 - Chapter 40
76 Chapters
Rintangan Keempat
Lusi kemudian berpikir akan mencari tahu mengenai Mira melalui tantenya. Dia mendekatinya, sembari mengambil apel yang terpampang menggiurkan di meja makan. “Mira itu ... orangnya seperti apa, Tan? Apa dia cantik? Lulusan dari negara mana?” tanya Lusi sambil menggigit apel yang telah di ambilnya tadi, kemudian mengunyahnya. “Hmm ... anaknya baik, sangat manis, dia lulusan S1 kota sini saja koq. Kamu kepo ya?” tanya Mama Leo menggoda. “Ih Tante ... boleh khan nanya-nanya,” jawab Lusi acuh tak acuh. Setelah pembicaraan singkat itu, Lusi tidak tinggal diam. Dia sangat penasaran dengan Mira. Penjelasan dari tantenya, dirasa masih kurang lengkap. Dia kemudian meninggalkan tantenya, dan menuju ke ruang tamu untuk berpikir. Tiba-tiba Bibi Jum lewat di depannya. “Bi, Bi, Bi?” panggil Lusi menghentikan langkah Bibi Jum. “Ada apa, Non?” tanya Bibi Jum.Lusi melihat ke kiri dan ke kanan dahulu sebelum bertanya, setelah merasa aman tidak ada om
Read more
Perlindungan Lusi
Mira tidak menghiraukan panggilan Leo, dia terus saja berjalan dengan perasaan kesal dan cemburu. “Mira ... please, jangan marah sayang!” Leo berusaha menenangkan Mira, dia menghadangnya agar tidak segera pulang.  Lusi memandang mereka senang, “Itu resikonya kalau berani mengambil Leo-ku. Akan kubuat kamu cemburu, sampek kau meninggalkannya,” batinnya sambil tersenyum sinis. Nafas Mira tersengal-sengal merasakan dadanya yang penuh dengan amarah. “Biarkan aku pulang Leo, aku sudah tidak tahan,” ucapnya sambil memalingkan wajahnya karena kesal. Entah kenapa bukannya marah, perasaan Leo seperti kembang api, meledak-ledak senang karena merasa sangat dicintai. Kebahagiaannya tidak bisa ditutupi, dia berupaya bersikap biasa saja, namun senyuman itu terbentuk begitu saja di wajahnya, tanpa disuruh. “Kamu cemburu ya? Lusi cuma bercanda,” ucapnya tenang. Mira semakin geregetan melihat senyuman Leo. Begitu kesalnya hingga kakiny
Read more
Kemarahan Ekstrim Lusi
“Lusi, a-apa yang telah kau lakukan?” tanya Mira syok. Leo hanya diam memandang sepupunya itu, dia bingung harus berkata apa. “Itu hadiah karena kalian telah menghina saudaraku, lain kali cobalah pikirkan dengan baik setiap ucapan yang keluar dari mulut kalian!” teriak Lusi kepada keempat pemuda itu. Dua di antara mereka tidak terima. Mereka berdiri mendekat ke Lisa dan mengambil posisi menyerang, berniat membalas dendam kepadanya.  Sepupu Leo menyiapkan kuda-kuda, siap menerima pukulan. Ketika satu pukulan akan dilayangkan oleh salah satu pemuda itu ke pipinya, Lisa dengan cekatan dapat menangkisnya. Mereka bertiga terlibat adu jotos, dua lelaki melawan satu perempuan cantik, dan ternyata dimenangkan oleh Lisa. Mereka berdua akhirnya kalang kabut, membawa serta temannya yang telah terluka bagian kepalanya dan juga teman wanitanya. Mereka tidak ingin membawa masalah ini ke polisi karena takut dengan Lusi yang ternyata memiliki ilm
Read more
Penyiksaan Yang Dilakukan Lusi
Bapak Mira segera mengambil handuk di display dan mendekati lelaki itu, “Ayo Mas, cepat! Saya antar ke dokter,” ucapnya sambil membersihkan kepala dan tubuh lelaki itu dengan handuk yang dibawanya. “Maaf, untuk sementara tokonya saya tutup. Nanti bisa kembali sekitar dua jam lagi,” ucap Bapak Mira kepada pelanggannya. Dia menyerahkan tanggung jawab untuk menutup toko kepada Mira dan meminta tolong kepada seorang pemuda yang telah dikenalnya untuk ikut dengannya membawa lelaki yang dipukul kepalanya oleh Lusi tadi, menuju ke klinik dokter terdekat. Mereka bertiga naik motor Bapak Mira. Yang mengendarai di depan adalah Bapak Mira, di tengah lelaki yang terluka tadi, sedangkan di belakang adalah pemuda yang dimintai tolong oleh Bapak Mira untuk menjaga lelaki yang terluka tadi, agar tidak jatuh dari motor. Mira melihat kepergian Bapaknya masih dalam keadaan panik. Dia kemudian dengan sabar menunggu semua pelanggan keluar dari tokonya, setelah itu baru mengunciny
Read more
Kejahatan Lusi
Setelah lepas dari cengkeraman Leo, Lusi segera mengambil vas bunga yang terletak di meja ruang tamu. Dia menaikkan tangannya hendak melempar vas bunga itu ke arah berdirinya kedua orang tua lelaki itu, namun dengan sigap Leo segera berdiri dari lantai, dan mengambil vas bunga itu dari tangan Lusi, dan meletakkannya kembali ke atas meja. “Sudah Lusi, masalah ini sudah berakhir. Jangan membuka masalah baru!” pinta Leo kepada sepupunya itu agar lebih tenang. Lusi menghela nafas panjang. Dia menghentikan tindakannya, bukan karena kasihan kepada kedua orang tua lelaki itu, tetapi karena nasehat dari orang yang disayanginya.  “Ayo, Pa. Kita pulang sekarang!” ajak Lusi sambil melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu. Papa Lusi dan Leo segera berpamitan dengan orang tua lelaki itu, kemudian mengikuti Lusi dari belakang. Mereka bertiga kemudian meninggalkan rumah lelaki itu. Masalah di antara mereka telah selesai. *** Satu minggu set
Read more
Lusi Mengungkapkan Perasaannya
Mira terjatuh ke tangga. Tepatnya tujuh anak tangga. Beruntungnya, tangga rumah Leo tidak lurus, jadi melengkung tepat pada anak tangga ke delapan. Di situlah tubuh Mira berhenti terjungkir dan terlentang tak berdaya, namun masih bisa membuka mata, walaupun merasakan sakit sekujur badan. Pada saat itulah, dia sempat melihat Lusi berada di tangga teratas, di depan lemari kaca itu, namun kemudian menghilang. Mira berusaha bangkit sendiri. Leo yang baru turun dari kamarnya, terkejut dengan suara gedebuk di tangga. Dia menghampirinya, dan menemukan Mira tengah berusaha berdiri dari jatuhnya.  Leo segera turun tangga dan menolongnya. Dia langsung menggendong Mira dan membawanya turun ke lantai bawah, meletakkannya pada sofa di ruang tengah. “Apa kamu tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Ke dokter sekarang, ya?” tanya Leo dengan wajah penuh kecemasan sambil menggendong kembali tubuh Mira dan dibawanya ke dalam mobil. Mira belum sempat menjawab semua pertanya
Read more
Penyelamatan Bapak dan Ibu Mira
Leo mengusap darah di ujung bibirnya dengan lengan baju. Tamparan dari Lusi terasa cukup keras. Dia memang seorang wanita, tetapi menguasai karate sampai sabuk hitam. Pukulan dan tamparannya tidak bisa diremehkan, apalagi tendangannya. Leo menyadari kekuatan sepupunya itu. Dia mulai bergerak mundur menjauh darinya. “Aku tau, kamu adalah wanita yang sangat cantik, pintar, seksi, dan kaya. Tidak ada yang menolakmu. Tapi perasaanku, hanya menganggapmu saudara. Tidak lebih. Tolong, berpakaianlah!” pintanya dengan sangat lembut kepada Lusi dan mengambil kembali selimutnya yang sempat terjatuh di lantai. Dia berjalan dengan hati-hati ke arah Lusi yang bertubuh polos itu, berusaha menutupinya. Namun, terlambat. Lusi sudah terlanjur marah. Niat baik Leo, sama sekali tidak dianggapnya. Matanya berubah tajam, wajahnya memerah, nafasnya naik turun dengan cepat. “Singkirkan selimut itu!” teriak Lusi sambil menampis selimut itu dengan keras. Leo segera bergerak mundur cep
Read more
Lamaran Yang Tidak Biasa
Ikatan kaki Lusi ternyata kurang kuat. Dia hampir saja terlepas. Kembali Leo berlari cepat, tapi bukan melarikan diri darinya, malah mendekatinya. Lelaki gagah itu menguatkan ikatan pada kaki Lusi. Kalau sampai terlepas bisa kewalahan nanti menghadapi wanita satu ini. Setelah itu, Leo berdiri mendekati Bapak dan Ibu Mira, menanyakan keadaan mereka. “Kami baik-baik saja, Leo,” jawab Bapak sambil menepuk pundak Leo. Diikuti anggukan kepala Ibu yang setuju dengan jawaban Bapak. “Mira, bagaimana?” tanya Leo khawatir. “Mira istirahat di rumah, tubuhnya masih sakit,” jelas Bapak Mira. “Dia yang meminta kami untuk mengamati rumahmu, menjagamu kalau sampai terjadi apa-apa,” sambung Ibu Mira. “Benar ternyata, belum lama kami datang, baru sampai depan rumahmu. Eh ... ternyata sedang dikejar,” ucap Bapak kembali bercerita. Leo hanya bisa terdiam mendengarnya. Seketika itu, perasaan bersalahnya serasa menyebar ke seluruh tubuh, menghantui pikirannya. Leo kemudian tersada
Read more
Lamaran Leo Yang Gagal
Leo menjawab dengan senyuman yang menempel permanen di wajahnya. Dia seolah-olah tidak menghiraukan wajah cemberut Mira. Hatinya benar-benar sedang berbunga-bunga, seperti berada di padang bunga musim semi. Karena ini pertama kalinya bagi Leo, menunjukkan kepada kekasihnya. Kalau dia bisa berlaku selayaknya masyarakat di desanya. “Bukankah ini menyenangkan Mira?” tanyanya sambil tersenyum.  Baru saja Mira mau mengeluarkan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di benaknya. Tiba-tiba, “Tolong ... tolong, siapa pun. Ampun ... ampun.” Sayup suaranya, tapi terdengar jelas oleh Mira maupun Leo. Lelaki gagah itu kemudian memberikan kode kepada pemain Rebana Ngarak dan orang penyala petasan, untuk berhenti. Seketika suara menjadi senyap. “Paaak ... tolong!” Suara itu kembali terdengar dan sangat jelas. Serontak, Mira dan Leo saling memandang. “Ibu!” teriak mereka bersamaan, sambil berlari menuju ke arah belakang rumah Mira. Sampai di belakang rumah, b
Read more
Lamaran Leo Di Vila
Cafe itu sangat klasik. Berbagai barang tempo dulu terpajang di kiri kanan temboknya dengan indah. Ditambah pajangan foto kota jaman dulu. Serasa di kota tua. Dan alunan musiknya, pas sekali dengan suasananya, dibuat sangat syahdu, mendayu. Membuat orang kurang tidur yang masuk ke kafe, pasti terlelap. Leo datang lebih awal dari jam yang ditentukan. Reni kemudian datang setelahnya. Mereka berdua ternyata tipe orang yang tidak suka terlambat.  “Hei. Leo, kan?” tanya Reni kepada Leo.  “Iya. Aku Leo,” jawab Lelaki gagah itu dengan tenang.  “Kamu masih inget aku?” tanya Leo kemudian.  “Ya iyalah. Yang bikin heboh di acara reuni kemarin, kan,” jawab Reni dengan nada centilnya. Leo berdehem setelah mendengar jawaban Reni. Benar-benar kesan buruk yang tidak terlupakan ternyata, pikir Leo. Leo mengamati sekilas penampilan Reni. Rambut ikal, sedikit tembam dan pakaiannya kasual seperti Mira. Dia kemud
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status