Leo menjawab dengan senyuman yang menempel permanen di wajahnya. Dia seolah-olah tidak menghiraukan wajah cemberut Mira. Hatinya benar-benar sedang berbunga-bunga, seperti berada di padang bunga musim semi. Karena ini pertama kalinya bagi Leo, menunjukkan kepada kekasihnya. Kalau dia bisa berlaku selayaknya masyarakat di desanya. “Bukankah ini menyenangkan Mira?” tanyanya sambil tersenyum.
Baru saja Mira mau mengeluarkan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di benaknya. Tiba-tiba, “Tolong ... tolong, siapa pun. Ampun ... ampun.” Sayup suaranya, tapi terdengar jelas oleh Mira maupun Leo.Lelaki gagah itu kemudian memberikan kode kepada pemain Rebana Ngarak dan orang penyala petasan, untuk berhenti. Seketika suara menjadi senyap. “Paaak ... tolong!” Suara itu kembali terdengar dan sangat jelas. Serontak, Mira dan Leo saling memandang. “Ibu!” teriak mereka bersamaan, sambil berlari menuju ke arah belakang rumah Mira.Sampai di belakang rumah, bCafe itu sangat klasik. Berbagai barang tempo dulu terpajang di kiri kanan temboknya dengan indah. Ditambah pajangan foto kota jaman dulu. Serasa di kota tua. Dan alunan musiknya, pas sekali dengan suasananya, dibuat sangat syahdu, mendayu. Membuat orang kurang tidur yang masuk ke kafe, pasti terlelap. Leo datang lebih awal dari jam yang ditentukan. Reni kemudian datang setelahnya. Mereka berdua ternyata tipe orang yang tidak suka terlambat. “Hei. Leo, kan?” tanya Reni kepada Leo. “Iya. Aku Leo,” jawab Lelaki gagah itu dengan tenang. “Kamu masih inget aku?” tanya Leo kemudian. “Ya iyalah. Yang bikin heboh di acara reuni kemarin, kan,” jawab Reni dengan nada centilnya. Leo berdehem setelah mendengar jawaban Reni. Benar-benar kesan buruk yang tidak terlupakan ternyata, pikir Leo. Leo mengamati sekilas penampilan Reni. Rambut ikal, sedikit tembam dan pakaiannya kasual seperti Mira. Dia kemud
Leo dan Mira panik. Tanpa berpikir panjang, Leo segera melepaskan sepatunya dan menjeburkan diri ke dalam kolam renang. Dia mencari keberadaan cincin itu. Dalam kolam renang, Leo menemukan kotak cincinnya yang berwarna merah. Namun, cincinnya tidak ada dalam kotak itu. Kepanikan Leo naik satu level. Dia mencari cincin itu dengan berenang ke sana ke mari, sambil sesekali mengambil napas di permukaan, tapi belum juga ketemu. Mira yang berada di tepi kolam renang hanya bisa mengamati Leo dengan wajah penuh kepanikan dan kekhawatiran. Hingga membuat kedua kakinya lemas tidak sanggup berdiri. Dia terduduk lemas di pinggir kolam, wajahnya mulai memucat. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Leo menemukan cincin itu. Segera dia keluar dari dalam air. Kemudian berenang menuju ke permukaan dan mendekati Mira yang sedang terduduk lunglai. Leo menunjukkan cincin itu kepada Mira, seketika wajah pucatnya menjadi segar kembali. Ujung bib
“Maaf Mama Leo. Seperti tradisi yang berlaku di desa kita. Alangkah lebih baik, kalau acara pertunangan nanti, dilakukan di rumah ini saja,” sanggah Bapak Mira berusaha mengingatkan Mama Leo. “Leo adalah anak satu-satu kami. Jadi saya berharap segala hal mengenai dia, terjadi di rumahnya. Agar selalu bisa kamu kenang sebagai orang tua. Gitu lo Bapak Mira,” ucap Mama Leo menjelaskan alasannya. Keluarga Mira mulai gaduh. Satu sama lain saling mengemukakan pendapatnya, tanpa ada yang berani berkata langsung kepada Mama Leo. Bapak dan Ibu saling memandang, benar-benar tidak berani bicara. Takut kalau tiba-tiba pertunangan Mira dan Leo dibatalkan, mereka tidak bisa membayangkan betapa sedih perasaan anak semata wayang mereka, kalau itu benar-benar terjadi. Di sisi lain, mereka sudah paham dengan sifat Mama Leo. Kalau sudah berkehendak, sangat sulit untuk ditumbangkan. Papa Leo merasa bersalah. Dia kemudian menanyakan masakan kepada Ibu Mira
Hari minggu tanggal Tujuh November 2021 pukul 10.00, adalah waktu akan diadakannya pertunangan Leo dengan Mira. Satu minggu sebelum hari H. Mama Leo sudah mengirimi kain kebaya untuk Ibu dan Mira, yang berbeda motif dan warna. Kebaya Mira memiliki motif modern dan berwarna merah muda. Sedangkan kebaya Ibu memiliki motif keibuan namun modern dan berwarna Merah Maron. Kain itu nantinya akan dijahit dan dipakai saat acara pertunangan. Mama Leo juga mengirim baju batik ukuran M yang sangat modis buat Bapak. Sebenarnya baik Ibu, Bapak maupun Mira sangat bahagia diberi kain yang terlihat mahal dan elegan itu. Tapi wajah mereka kembali bermuram durja saat mengingat pelaksanaannya bukan di rumah pihak perempuan, tapi di pihak laki-laki. Keluarga mereka sekarang, sedang menjadi topik pembicaraan satu desa. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Undangan telah disebar. Mau tidak mau, mereka dipaksa menuruti kemauan Mama Leo. Keluarga b
Leo menggandeng tangan Mira sambil terus saja berlari tidak tentu arah. Leo berpikir asalkan tidak terlihat dari pandangan Mama Leo. Tibalah mereka di suatu tempat, entah berantah. Intinya mereka masih tetap di desa yang sama, tapi mereka tidak tahu di mana itu. Mereka berhenti di suatu gang sempit yang hanya cukup buat orang lewat. Kendaraan bermotor tidak bisa lewat si sana, apalagi mobil.“Kamu ... mau ... membawaku ... ke mana?” tanya Mira sambil terengah-engah karena kelelahan setelah berlarian cukup jauh.“Aku ... sendiri ... tidak ... tahu ... harus ... ke mana,” jawab Leo sambil berusaha mengatur napasnya yang bergerak cepat, bahkan lebih cepat dari dentuman detik pada jam.“Terus ... kenapa kamu menggandengku keluar? Kupikir kamu punya tempat yang dituju,” tanya Mira. Ada sedikit penyesalan di nada bicaranya. Napasnya sudah lebih teratur dari sebelumnya.“Maaf. Aku tadi Spont
Mira berusaha membuka matanya yang masih berat. Semalam tidurnya kurang lelap, karena terlalu banyak yang dipikirkan. Dia baru bisa terpejam saat pagi dan sekarang, Kakek memintanya membuka mata padahal baru saja tidur selama empat jam. Leo sangat terganggu dengan suara bising yang harus membuatnya terbangun. Matanya masih ingin terpejam. Dia tidak mau bangun dari tidurnya, jadi dia bersembunyi ke dalam selimut dan menutup telinganya dengan bantal. Kakek geregetan tapi tersenyum melihat tingkah lucu cucunya. Dia malah mendekati Leo dan memukul-mukul pantat panci dekat dengan telinganya. Leo menjadi kesal dan terpaksa terbangun dengan menutup telinga. “Iya, iya Kek. Aku bangun. Tolong stop! Berisik, Kek!” ucap Leo dengan geram. Matanya masih tertutup saat mengatakan itu. Kakek senang bukan main melihat keberhasilannya membangunkan Mira dan Leo. Mira dari tadi sudah bangun dan duduk di kursi ruang tengah dengan wajahnya yang masih mengantuk. S
“Kami pikir, ini waktunya pulang, Kek. Kasian orang tua kami menunggu di rumah,” jelas Mira dengan nada terendah tapi terdengar jelas, saking kalemnya. “Benar! Kami sudah membicarakannya tadi. Terima kasih atas pelajarannya, Kek!” sambung Leo dengan nada tegas khasnya. “Pelajaran yang berharga buat kami. Kami akhirnya sadar dengan perasaan orang tua kami,” ucap Mira menjiwai. “Setelah ini, kami akan memberikan kejutan juga buat mereka ... haha,” kata Leo sambil mengeluarkan tawa jahatnya. Mira nyengir kuda mendengar tawanya. Kakek tercengang saat Leo dan Mira saling sahut-sahutan menjelaskan secara panjang lebar kepada Kakek tanpa terputus. “Apa maksudmu dengan kejutan? Apa kalian telah melakukannya? Waktu Kakek lengah. Dan sekarang, di perut Mira ada ... “ tanya Kakek dengan wajah mulai memucat karena rasa bersalah dan kesedihan yang terkumpul pelan-pelan. Dadanya didekap dengan kedua tangannya, seolah-olah mengatakan tidak kuat denga
Leo bercerita kepada papanya. Ketika di rumah kakeknya, dia dititipi dua anak tetangga Kakek. Awalnya mereka kewalahan. Apalagi Leo yang sama sekali belum pernah berurusan dengan anak kecil. Tapi, lambat laun mereka belajar memahami kedua anak itu, dan akhirnya mereka dapat bersenang-senang. Nah, setelah kejadian itu Mira dan Leo saling berkata, ternyata seru juga. Tiba-tiba muncul inisiatif dari otak encer Leo, “Gimana kalau kita nikah secepatnya?” Usulnya langsung disetujui Mira dengan lantang. Mira seperti memahami maksud terselubung dibalik pertanyaan Leo, karena dia memiliki pemikiran yang sama. Jadi tidak perlu menjabarkan jawabannya dengan panjang lebar. “Aku bayangin, Pa. Pasti sangat lucu kalau kami bisa bermain dengan anak yang datang dari perut Mira. Buah hasil pembauran kami berdua,” jelas Leo sambil mengangkat alisnya dan tersenyum ringan. Dia memandang Mira dengan tatapan ingin mencengkeram nakal. Mira membalas tatapannya dengan menu