All Chapters of Tentang Rasa: Chapter 11 - Chapter 20
40 Chapters
Bab 11 Tamparan
“Agam!” Varen menepuk pundak Agam dan membuatnya tersadar dari lamunan. Tanpa memerdulikan Varen, Agam pergi begitu saja. Yang ada di pikiran pria itu saat ini hanyalah Rinjani. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Langkahnya terlihat sangat buru-buru dan sorot di mata pria itu menyiratkan kegelisahan. Agam langsung melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus dengan kecepatan tinggi. “Kamu kenapa, Rin … kamu kenapa?” gumam Agam sambil berusaha untuk tetap fokus menyetir. *** “Permisi, Tante, Om. Bagaimana keadaan Rinjani?” tanya Agam dengan napas terputus-putus begitu dia sampai di depan ruangan di mana Rinjani sedang diperiksa. “Dia masih di dalam, dokter masih memeriksanya,” jawab Tama masih sambil menenangkan sang istri. Agam memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedua orang tua Rinjani. Kedua tangan pria itu ditautkan dan kakinya terus bergerak tanda bahwa Agam sedang gelisah. Beberapa saat kemudi
Read more
Bab 12 Kisah Lama
Saat Agam sedang sendirian di kamar, sambil terus memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan Rinjani, dia teringat sesuatu. Ucapan Hanna setelah makan malam kala itu terus berputar di otaknya.  “Agam, Tante tau kamu anak baik. Tante cuma mau bepesan sama kamu …. Jika kamu sudah berhasil meluluhkan hati Rinjani, jangan pernah kecewakan dia, apalagi meninggalkannya. Rin sebenarnya berhati lembut, hanya saja … trauma itu masih belum sembuh.” “Trauma?” Dahi Agam berkerut, dia sedikit tidak percaya jika dugaannya kala itu memang benar adanya. “Trauma apa, Tan?” “Malam semakin larut. Tante pamit pulang, ya. Sebaiknya kamu juga ke parkiran sekarang, Tante yakin ibumu juga sudah menunggu.” Agam semakin penasaran dengan trauma yang dimiliki Rinjani. Terlebih saat Hanna berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu yakin, ini bukan trauma biasa. Dengan terpaksa, Agam mengiyakan ucapan Hanna. Dia yakin,
Read more
Bab 13 Rencana Agam
Berkali-kali pria itu membuka ponsel pintar miliknyanya, lalu menutupnya kembali. Dia merasa perlu, tetapi ragu untuk menghubungi Rinjani. Yang sebenarnya adalah, Agam takut egonya kembali terluka, dia masih merasa bahwa ini bukan sepenuhnya salahnya. Agam masih merasa jika Rinjani tidak seharusnya menampar dirinya. “Telpon … jangan. Tapi …. Argh, kenapa jadi begini, sih! Baru juga perkenalan udah bikin marah, Agam … Agam …, buruk sekali nasibmu. Pria itu merasa lelah berperang dengan dirinya sendiri. Dibaringkan tubuh kekar itu pada ranjang berukuran besar, lenganya terangkat menutupi mata yang terpejam. Kepalanya berdenyut nyeri menciptakan rasa tidak nyaman. “Ya, Tuhan, kenapa serumit ini?” Akhirnya, Agam memilih untuk menghubungi sepupunya. Berharap gadis itu bisa memberinya solusi, atau setidaknya bisa membantu mengurangi beban pikiran. “Halo, Sha,” sapa Agam saat panggilan ketiga yang akhirnya dijawab. Terdengar suara dengusan ma
Read more
Bab 14 Hadiah Misteri
“Rin,” sapa Arsha seraya menepuk pundak sahabatnya yang sedang memunggunginya. Rinjani terjungkit kaget, beruntung ponsel yang dipegang tidak meloncat ke lantai bawah. “Kamu mengejutkanku, Sha,” protes Rinjani. Senyuman menyebalkan tanpa rasa bersalah terukir di wajah Arsha membuat Rinjani gamas dan jengkel secara bersamaan. “Maaf, maaf. Ini, tadi ada titipan dari adik tingkat. Nggak tau dari siapa karena aku dia juga nggak ngasih tau ke aku,” jelas Arsha sambil memberikan kotak kado yang dari Agam tadi. Alis Rinjani berkerut sambil tangannya membolak-balik kado tersebut, berusaha mencari nama pengirim. Saat Rinjani hendak membuka kado itu, Arsha menahan tangan sahabatnya. “Buka nanti aja di rumah, udah mau mulai nik kelasnya.” “Oh, iya. Oke deh,” sahut Rinjani lalu meletakkan kotak kado itu ke dalam tas. *** “Mama, Rin pulang! Yuhu …, Mama di mana?” teriak Rinjani saat memasuki rumah kelurga Tama. “Ngga
Read more
Bab 15 Sebuah Janji
Terdengar suara lonceng yang menandakan bahwa ada orang yang memasuki kafe tersebut. Seorang gadis yang mengenakan celana jins dan kaos panjang berwarna merah terlihat sedang mencari seseorang. Rambutnya yang dikucir satu bergoyang seiring dengan pergerakan kepalanya. Aku bahkan tidak tau rupanya, bagaimana aku bisa tau kalau itu dia, batin Rinjani yang masih berdiri di dekat pintu seperti orang yang kebingungan. Seorang wanita berseragam pelayan kafe, melagkah gontai menghampiri Rinjani. Dia tersenyum ramah dan menyapa pelanggan setianya tersebut. “Mbak Rinjani, ini ada titipan,” ucap pelayan kafe itu seraya menyerahkan origami kertas berbentuk hati. Sudut bibir Rinjani terangkat menciptakan sebuah senyuman yang mampu menggetarkan hati Agam. Rinjani menerima origami itu seraya bertanya, “Terima kasih, tapi di mana orang yang memberikan ini?” “Kata orang tadi, silakan dibaca, maka kamu akan tau aku ada di mana,” jelas si pelayan kafe
Read more
Bab 16 Petuah dari Sosok Ayah
Gadis itu terbaring sambil merenungkan setiap kata yang terucap dari mulut Agam siang tadi. Rinjani sadar jika dia sedang dihadapkan oleh dua pilihan. Bukan antara dia dan dirinya, melainkan mengikuti kata hati atau terus berpegang pada logika yang terpengaruh oleh trauma. Dari posisi terlentang, menyamping, hingga tengkurap sudah Rinjani coba untuk mencari kenyamanan dalam ritual rebahannya. Namun, semuanya sia-sia karena dia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Rinjani duduk bersila memasang wajah kusut layaknya baju yang tak pernah disetrika. Dia merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. “Ada apa sebenarnya dengan diriku? Kenapa hal sepele begini bisa membuatku uring-uringan?” tanya Rinjani pada dirinya sendiri yang jelas tidak tahu jawabannya. Kedua tangan rinjani menjambak rambutnya gemas dan membuat surai hitam itu berantakan menutup wajah. “Huh, lebih baik aku keluar dari kamar jika tidak mau gila!” Helaan napas lelah diiringi den
Read more
Bab 17 Jatuh Cinta
Tanpa memerdulikan panggilan sahabatnya, Rinjani berlalu begitu saja dari perpustakaan. Gadis itu merasa kesal dengan Arsha yang terus saja mnggodanya. Sebenarnya salah dia sendiri yang tidak bisa mengontrol mulutnya sampai bisa kelepasan. Spenjang jalan Rinjani terus saja menggerutu. Dia kebingungan hendak ke mana dan hanya mengikuti kakinya melangkah saja. Hingga tanpa sadar, gadis itu sampai di taman belakang gedung Fakultas Ekonomi. Gadis itu memilih untuk duduk di salah satu kursi taman. Rinjami menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sambil mengatur napasnya yang putus-putus karena lelah. Baru beberapa menit menikmati kesendirian, seorang gadis berkucir kuda ikut duduk di dekat Rinjani. “Gila, ya, orang lagi jatuh cinta emang tenaganya gede. Cepet banget ngilangnya,” ledek Arsha sambil terus berusaha mengatur napasnya. “Udah, deh, Sha. Aku tuh nggak lagi jatuh cinta. Ak—” “Mulutmu bisa bohong, tapi matamu enggak, Rin. Lagipul
Read more
Bab 18 Kejujuran Rinjani
Samir menoleh pada Agam sambil tersenyum canggung. “Maaf. Mari ikut aku ke ruang VIP kafe ini.” “Wow, ada ruang VIP?” “Bukankah Sam baru saja mengatakannya, kenapa kamu jadi bodoh begini, Sha,” sahut Agam saat mendengar pertanyaan bodoh sepupunya. Sebuah pukulan membuat Agam menoleh. Terlihat wajah marah Rinjani karena tidak terima sahabatnya dikatai bodoh. “Kenapa kamu yang marah, Sayang?” goda Agam sambil mengusap punggungnya yang terasa sedikit sakit. “Hei, sudahlah, kenapa kalian seperti anak kecil begini!” lerai Varen yang malu menjadi tontonan pengunjung lain. *** “Silakan masuk, kalian adalah yang pertama menempati ruang ini,” ujar Samir seraya membuka pintu. Agam segera masuk sambil tangannya menarik Rinjani agar mengikutinya. Sedangkan Varen hanya mengekor di belakang keduanya. Sementara itu, Arsha masih berdiri di dekat Samir. “Kamu tidak ikut masuk?” “Hah! Eh, iya. Aku, aku masuk, ya,” ujar Ar
Read more
Bab 19 Sepasang Kekasih
Pagi ini, warga kampus kembali dibuat tercengang saat melihat Rinjani dan Agam jalan beriringan. Pasalnya, hanya maha siswa barulah yang tidak tahu bagaimana sikap gadis itu pasa sosok laki-laki. Jadi, saat dia dekat dengan Agam, sudah pasti menjadi gosip terhangat di kampus. Banyak yang mulai berbisik-bisik saat sepasang kekasih itu melewati koridor kampus. Tidak sedikit pula yang memuji Agam karena telah berhasil menaklukkan Rinjani. Meski kelihatannya belum sepenuhnya berhasil. Terbukti dengan raut wajah gadis itu yang masih saja datar tanpa. Meski Agam mendapat banyak pujian dari kaum wanita, banyak pula pria yang merasa patah hati dan kehilangan harapan untuk bisa mendapatkan Rinjani. “Gam, bisa ‘kan, biasa aja. Nggak perlu diantar ke kelas juga, lagian aku bukan anak kecil.” Berkali-kali Rinjani menggumamkan kata itu sejak turun dari mobil. Gadis itu yang terbiasa sendiri dan hidup tenang tanpa menjadi bahan perbincangan, merasa sangat risih. Hi
Read more
Bab 20 Ancaman Calon Mertua
Benar saja, setelah kejadian hari itu, Agam tidak lagi mencium tangan Rinjani sembarangan. Namun, tangannya yang usil, sesekali tetap mengelus kepala gadis itu. Tidak bisa dipungkiri, jika Rinjani juga mulai nyaman dengan elusan di kepala yang sering dilakukan Agam secara tiba-tiba itu. Hari-hari Rinjani terasa semakin berwarna karena tingkah konyol Agam. Hal-hal tidak terduga yang pria itu lakukan juga berhasil menciptakan senyuman di wajah gadis itu. “Khem! Anak papa kenapa, nih?” Rinjani seolah tuli dengan ucapan sang ayah. Gadis itu masih tetap fokus pada layar ponsel pintarnya sambil sesekali mengetikkan pesan sambil tersenyum. “Hei, kamu kenapa, Sayang? Kenapa senyum-senyum begitu?” ujar Tama yang sudah geram karena tidak dihiraukan oleh putrinya. “Eh, Papa. Sejak kapan Papa di sini?” tanya Rinjani sambil mematikan ponsel pintarnya dan meletakkan benda tipis itu di meja. “Sejak kamu dipanggi nggak nyahut, sejak anak gadis
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status