All Chapters of Pendekar Dalam Selubung Mantra: Chapter 31 - Chapter 40
43 Chapters
-31-
Dari pintu pondok yang terbuka, Suro juga melihat Rose muncul dengan gaun tidur penuh darah. Perempuan totok itu berteriak dan memerintahkan Suro untuk membereskan kekacauan di dalam kantornya.Endaru duduk termenung di amben di dalam pemondokan. Segala penghiburan dan pertanyaan—baik dari Sanikem maupun Rukmini—dia abaikan begitu saja.“Kita harus pergi dari sini, Bibi!” ujar pemuda itu.Suro datang kembali ke pemondokan dengan membawa sebilah celurit berlumuran darah. “Pria keparat itu sudah mati. Pergilah kau selamatkan dirimu, Endaru!”“Bagaimana dengan bibi dan Rukmini? Surat hutang itu?” Endaru kembali menggigil.“Kami bisa menjaga diri kami sendiri. Pergilah kau selamatkan dirimu dan sembuhkan lukamu!” Suro mendorong dada Endaru.“Aku membunuhnya, Paman! Biarkan aku di sini. Biarkan mereka menggantungku. Sebaiknya paman dan bibi yang harus pergi dari sini!” Endaru
Read more
-32-
Endaru didudukkan di sebuah ruangan kosong dengan bangku-bangku kayu panjang. Kedua tangan dan kakinya masih terikat belenggu dari besi. Dua orang opas mengawasi dan mengawalnya dari pintu.Pintu ruangan itu terbuka. Lamat-lamat Endaru bisa mendengar suara Rose yang berteriak-teriak lantang dalam bahasa Belanda entah pada siapa. “Endaru adalah budak tawananku yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Kalian tak bisa mengirimnya kembali ke Ponorogo!”“Mevrow, dia harus kembali ke Ponorogo untuk menyelesaikan peradilannya di sana! Bagaimana pun dia terlibat dengan sesuatu yang rumit di sana,” balas seorang pria dalam bahasa Belanda formal.“Dia tidak bersalah, Tuan!” desak Rose kehilangan alasan.“Kami mendapat surat agar dia dikembalikan ke Ponorogo untuk menyelesaikan peradilan di wilayahnya. Seseorang akan menjemputnya. Anda tidak punya hak dan alasan untuk mempertahankannya di sisi Anda, Mevrow
Read more
-33-
Tubuh Endaru dan Gandari berguncang-guncang karena entakan kereta beroda empat yang membawa mereka menggilas bebatuan jalan. Mereka duduk saling berhadapan—lutut beradu dengan lutut—tetapi mulut tetap saling mengunci dan membisu.Perempuan itu menjelajahi paras Endaru yang sudah banyak berubah. Wajah bocah yang dulu dikenalnya, kini berwujud seorang pemuda berparas lembut dengan tulang pipi yang sedikit menonjol, rahang yang tegas, dan bibir tipis berwarna terang yang masih meninggalkan bekas senyuman meski dia tengah gelisah. Mata, Gandari terpaku pada bekas luka di bawah mata kanan putranya.Gandari berpaling mengubah pandangan ke luar kereta yang susul-menyusul adalah pepohonan dan semak belukar.“Emak benci menatap bekas luka di wajahku?”“Bekas luka itu mengingatkan pada kegagalanku sebagai seorang ibu. Aku benci pada diriku sendiri yang tak bisa berbuat apa pun saat kau menderita sendirian di luar sana,” ujarnya p
Read more
-34-
Endaru memacu kudanya dengan lambat saat memasuki Jenangan. Dia ingin menyambangi kakeknya di padepokan Wengker. Di sepanjang jalan dusun yang dilaluinya banyak hilir mudik cikar dan pedati. Mereka baru kembali dari hutan mengangkuti kayu mahoni, kopi, dan tanaman deluang. Sesekali dia memberi tabik dan salam pada sejumlah warga saat berpapasan di jalan.Padepokan milik Sentikno kini sudah rata dengan tanah. Endaru terperenyak, “Apa yang terjadi di sini?” Dia melompat turun dari kuda dan berlari menerjang puing-puing tiang serta usuk pemondokan yang dulu ditinggali sang kakek. Tanaman liar dan lumut mulai menutupi. Kawasan itu menghutan kembali. Endaru berputar-putar memandang ke segala arah. Begitu kuat keyakinannya bahwa di sana memang pernah berdiri Padepokan Wengker milik sang kakek.Sebuah pedati yang mengangkut kopi melintasi jalan setapak. Endaru berlari dan mengejar pemiliknya dengan kegalauan yang luar biasa.“Di mana oran
Read more
-35-
Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan
Read more
-36-
Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d
Read more
-37-
Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me
Read more
-38-
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan
Read more
-39-
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Read more
-40-
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status