Lahat ng Kabanata ng My Favorit Servant: Kabanata 11 - Kabanata 20
106 Kabanata
Bab 11. Mungkin Jatuh Cinta?
"Siapa?" batin Alrix. Tapi Alrix tak berani menanyakannya langsung. Dia tak ingin membuat hati Tuan Mudanya berubah lagi. Saat ini, dia sudah dapat melihat bahwa Deondra mulai tenang, mungkin sebentar lagi akan tertidur. "Keluarlah Alrix, aku ingin sendiri." Deondra berkata membuat Alrix akhirnya mengangguk. "Baik Tuan, jika anda butuh sesuatu saya ada dibawah," ucapnya. "Hmm," sahut Deondra malas. Saat Alrix sudah terdengar menutup pintu, matanya terbuka lagi. Dia menatap pintu itu dengan tatapan mata yang menyiratkan sesuatu. Kesedihan, itulah yang dapat di lihat dari sorot mata itu. Sorot mata yang selama ini selalu dia rahasiakan. "Biarlah, aku tetap ingin menjadi seperti ini. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tidak selemah dulu." Deondra bangkit dari duduknya, berjalan kearah balkon. Dia berdiri mematung, menatap pijar
Magbasa pa
Bab 12. Tantangan Deondra
Alrix membopong Deondra keluar dari mobil, dia mabuk dan tak sanggup membuka matanya. Namun dia masih sadar, seluruh tubuhnya dia berikan pada Alrix karena rasa malas yang menggerogoti dirinya. Di tambah rasa pening di kepalanya, membuatnya sedikit sempoyongan saat berjalan. "Hati-hati, Tuan Muda." Alrix menaiki tangga penghubung antara halaman dan juga teras, sekalian memastikan kaki Deondra benar menaikinya. Setelahnya mereka masuk kedalam rumah.Pagi hari, para pelayan sudah hilir mudik mengerjakan isi rumah. Wajah mereka terlihat ingin tahu kenapa dengan Tuan mudanya? Tapi tak ada yang berani bertanya. Karena hal itu adalah sesuatu yang amat di larang di dalam peraturan rumah utama. Menaiki tangga, Alrix masih bersusah payah untuk membantu Deondra. Hingga tak lama kemudian seorang pelayan pria lewat membawa sapu panjang untuk membersihkan sarang laba-laba. Di belakangnya Arinda mengikuti sambil
Magbasa pa
Bab 13. Di Bersihkan Pemiliknya
Deondra keluar dari kamar mandi dengan memakai jubah handuk berwarna putih. Tubuhnya tampak segar, tetesan air di rambutnya, mengalir turun ke leher dan juga tengkuknya, menambah pesonanya yang semakin terlihat. Dia memang tampan, tubuhnya gagah dan juga memiliki pesona yang mengagumkan. Tidak hanya orang lain, Deondra sendiri mengakui hal itu. Ditariknya sebuah laci nakas, mengeluarkan map dari sana. Dia mengusap rambut basahnya sekilas, sebelum menjatuhkan tubuhnya ke ranjang lebar miliknya yang sudah tertata rapi. Spreinya sudah berganti warna, membuat pupil matanya membesar saat menyadari hal itu. Tanpa aba-aba, Deondra bangkit, meletakkan map yang di pegangnya di atas nakas lalu mulai menyingkap selimut untuk mencari sesuatu. Hilang! Bercak merah itu sudah tidak ada lagi di sana. Siapa yang sudah mengganti spreinya? Tanpa berpikir dua kali, Deondra langsung memencet remote pemanggil kepala pelayan, pasalnya Al
Magbasa pa
Bab 14. Tahu Diri
Arinda celingak-celinguk ke sana sini demi mencari keberadaan Riza. Dia sudah di sana selama lima belas menit, tapi sosok Riza yang meninggalkannya demi mengantar sang Tuan Muda sampai saat ini belum muncul. "Mana sih Kak Riza? Kok tidak muncul juga?" Arinda bergumam, tangannya terangkat memijat pelipis yang terasa pusing. "Arin!" Saat tengah memejamkan mata karena menahan pusing, seseorang memanggil nama dan sempat menyentuh pundaknya karena melihat tubuh Arinda yang sedikit terhuyung. Arinda membuka matanya, lalu tersenyum melihat siapa yang ada di hadapannya. "Kok lama? Kakak darimana saja?" tanya Arinda, menatap wajah Riza yang berubah tak secerah tadi. "Aku tadi...." Riza menghela napasnya, ragu dan juga takut untuk mengatakannya. Pasalnya baru kali ini dia di tantang oleh sang Tuan Muda. Entah apa kesalahannya Riza pun tak tahu.
Magbasa pa
Bab 15. Memberi Harapan, Tinggalkan!
"Tidak ada," jawab Deondra dingin, dia masih menatap Arinda sejenak sebelum tatapannya beralih ke arah Alrix. Deondra menatapnya sedikit kesal, kenapa sih Alrix suka sekali mengurusi urusannya? Menyebalkan sekali! "Aku hanya teringat sesuatu." Deondra berkata, sedikit bingung untuk melanjutkan. "Ada yang tertinggal, Tuan?" Sementara Alrix bertanya, kedua pelayan itu memberanikan diri untuk permisi. Sepeninggal mereka, tatapan Deondra semakin terlihat datar. "Kenapa dia biasa-biasa saja saat bertemu denganku?" tanya Deondra, dapat dilihat dengan jelas bahwa dia tengah kesal. Alrix mengernyit. "Arinda, maksud Anda?" "Siapa lagi? Tidak mungkin wanita tua yang bersamanya tadi, 'kan!" Alrix meringis kecil, dia menoleh kearah yang di lalui oleh dua pelayan itu. "Dia belum tua, Tuan Muda. Usianya saja ma
Magbasa pa
Bab 16. Tempat Melabuhkan Hati?
Alrix mengangguk. "Ibunya sudah meninggal dua bulan lalu, ayahnya koma di rumah sakit. Hal itu yang membuat Arinda memutuskan untuk menunda kuliahnya dan menjadi seorang pelayan di rumah Anda." Deondra menatap Alrix dengan tatapan kosong. Pikirannya berlarian ke sana kemari, teringat tentang kesedihan yang menimpanya dulu. Bahkan sudut hatinya kembali berdenyut, dia amat ingat bagaimana rasanya mengalami kesedihan seperti itu. "Aku sudah salah dengan menodainya. Pasti perasaannya semakin hancur atas perlakukanku. Tapi, sepertinya semua itu belum ada apa-apanya di bandingkan perasaan sakit yang kurasakan dulu," ucapnya dalam hati, berusaha menepis semua kenyataan tentang perasaan hati Arinda. "Aku saja masih bisa bertahan hidup sampai saat ini, terlepas dari semua yang terjadi padaku dulu. Aku yakin, dia akan baik-baik saja," ungkapnya membandingkan. Suara dentingan pelan terdengar, Deondra se
Magbasa pa
Bab 17. Pertanggungjawaban
"Memangnya Anda ingin, apa saja yang saya katakan?" Alrix bertanya, membuat Deondra diam berpikir. "Memang apa yang akan mereka tanyakan?" Deondra balik bertanya, kedua tangannya menopang dagunya sembari menatap Alrix. Sekretarisnya itu terdiam sejenak, menggabungkan beberapa kejadian yang menimpa Tuan Mudanya akhir-akhir ini. Hingga, bibirnya terbit sebuah senyuman. "Mungkin hal-hal yang berkaitan dengan sumpah Anda. Juga tentang club dan juga kisah masa lalu," ucap Alrix santai. Deondra menatapnya malas, sekaligus merasa kesal. Kisah masa lalu adalah hal tabu untuknya, apakah tidak ada bahasan lain? "Mereka benar-benar tak bisa membuatku hidup dengan tenang. Apa hubungannya club dengan kisah masa lalu?" Deondra mencibir dalam hati, suasana hatinya sudah berubah hanya dengan mendengar dan memikirkan kata 'Masa lalu'. "Kalau begitu, kau saja yang menjadi juru bicara. Bawa wartawan itu ke ruanganmu. Aku mal
Magbasa pa
Bab 18. Mimpi Buruk Deondra
Deondra beranjak dari kursinya setelah memeriksa beberapa berkas. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, saat dia berjalan menuju sofa panjang yang ada di ruangannya. Membaringkan tubuhnya di sana, Deondra melamun, menatap lurus kearah langit-langit. "Apa yang akan terjadi padaku di masa depan?" Pertanyaan konyol keluar dari mulutnya, lalu dia tertawa sesaat. "Alrix sialan, dia sama sekali tidak datang ke ruanganku. Hah, dia mungkin lelah melihatku," ujarnya pelan, menyedekapkan tangannya di dada. Bayangan Anne timbul di atas langit-langit, seakan tersenyum padanya. Juga di susul potongan-potongan kejadian masa lalu yang silih berganti. Tentang Anne yang memintanya untuk segera melamar, kecelakaan yang menimpa orang tuanya, kematian, hingga saat dia mengiring pemakaman dengan air mata yang tak bisa di hapusnya dari wajah. Deondra menghela napas, membiarkan air matanya mengalir membasahi pipi. Dia memang seorang lelaki, tapi di ting
Magbasa pa
Bab 19. Bak Model Turki
Arinda mendorong troli, memasuki bagian yang berisi sesak kebutuhan rumah tangga. Di belakangnya Jenika ikut berjalan, memegang kertas panjang yang di berikan oleh kepala pelayan. kertas itu bertuliskan bahan-bahan dapur yang mereka butuhkan. Sudah satu jam lebih mereka belanja, memastikan lagi tak ada yang tertinggal ataupun terselip hingga rela berputar-putar mengelilingi area perbelanjaan. "Nah, ini sudah." Jenika meraih satu botol bahan makanan kualitas terbaik, memasukkannya ke dalam keranjang dan mencoret kertas yang di pegangnya. "Lagi?" Arinda bertanya yang langsung di balas anggukan oleh Jenika. "Bagian daging, aku lupa mengambil daging cincang dan juga udang. Ayo, Beb." Arinda tertawa kecil mendengar panggilan dari Jenika. Sesaat dia melupakan kesedihan yang menimpanya, asyik mendorong dan membawa troli itu berputar-putar, mengikuti kemanapun Jenika berkata. Sebenarnya kakinya yang memakai high heels itu sudah ter
Magbasa pa
Bab 20. Di Tinggalkan Di Tengah Jalan
Masih memperhatikan gerak-gerik pelayan cantik itu, Deondra mencoba berdamai dengan hatinya yang bergemuruh. Dia tak boleh terlihat cemburu, pasalnya dia memang belum tentu cemburu. Dia hanya merasa kesal dan itu entah apa penyebabnya.  Deondra berdecih saat Alrix berjalan mendekati mobil. Di lihatnya lagi Arinda yang sudah tak ada di sana, sudah pergi menaiki mobil saat Deondra mengalihkan pandangannya sesaat.  "Sedang apa gadis sialan itu? Apa dia baru saja menggoda seorang pria?" Deondra bertanya datar, sesaat Alrix memasuki mobil.  "Tidak Tuan." Alrix memakai seatbelt, lalu menyalakan mobil. "Dia bertemu dengan teman seperkuliahannya. Temannya itu heran kenapa Arinda tidak pernah ada di kampus lagi selama dua bulan ini." Alrix melihat Deondra dari kaca, melihat raut malas Deondra yang sudah kembali normal.  "Tadi dia sedang belanja, sewaktu berdiri tadi Arinda sedang menunggu Jenika mencari mobil. Jadi pertemuan itu tak di seng
Magbasa pa
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status