All Chapters of Cinta CEO dalam Jebakan: Chapter 31 - Chapter 40
356 Chapters
31. Kemesraan di Ruang CEO
“Pelan-pelan, Max! Aku bukan paku yang bisa menembus bata,” pinta Gabriella di sela desah napas. Punggungnya bisa membiru jika terus dihantamkan ke dinding. Tanpa banyak bicara, Max memindahkan tangannya melindungi sang istri. Lalu, hanya dengan satu sentakan, ia mampu membuat wanita itu terkesiap dan berhenti melayangkan protes. Respon yang menggemaskan itu sukses membuat sang pria tersenyum. “Kau menikmatinya, hm? Kalau begini, aku merasa dirugikan.” “Kenapa?” tanya wanita yang menatap suaminya dengan kernyitan dahi. “Kau sudah mendapatkannya berkali-kali, sedangkan aku belum sama sekali.” Gabriella sontak mendengus samar. “Sepertinya, kau harus menemui dokter. Bukankah aneh jika kau belum mendapatkannya hingga detik ini?” “Kaulah yang aneh. Perempuan seharusnya butuh waktu lebih lama, tapi kau cepat sekali.” Tiba-tiba, cengkeraman Gabriella menjadi lebih erat. Selang beberapa tarikan napas cepat, ia kembali mendapatkan apa y
Read more
32. Berusaha Melawan
Max mulai terbawa suasana. Ia tidak bisa lagi berdiri diam. Sesekali, tubuhnya tertarik ke depan, membuat perempuan yang sedang terdesak semakin kebingungan. “Baiklah! Aku akan menjiplak pola,” seru Gabriella akhirnya menyerah. “Apakah kau puas?” tanyanya kesal. “Hampir,” sahut pria yang tersenyum tipis di belakangnya. Setelah mendatarkan wajah, Max membantu sang istri kembali tegak dan merapikan pakaian. Tiba-tiba, terdengar suara pintu diketuk. Perhatian suami istri itu kembali teralihkan. “Tuan Roberto sudah tiba, Tuan,” seru seorang wanita dari balik pintu. Ekspresi sang CEO langsung berubah hangat. “Akhirnya, dia datang juga.” Sedetik kemudian, ia mendudukkan Gabriella ke kursi di sisi meja, lalu meletakkan kertas-kertas pola di hadapannya. “Jadilah anak yang baik! Jangan sampai rekanku terganggu karenamu!” Tanpa memedulikan sorot mata Gabriella yang meruncing, Max menghampiri pintu. “Masuklah!” Den
Read more
33. Disalahkan
“Aku harus segera kembali. Jangan sampai nanti malam, dia memanfaatkan kesalahanku untuk pelayanan tanpa henti.” Setelah setengah jam mendekam di toilet, Gabriella akhirnya menghirup udara yang lebih segar. Malangnya, rasa sesak dalam dada tidak juga berkurang. Bayang-bayang tangan Roberto mengotori dirinya sesekali membuatnya bergidik ngeri. Sekalipun ia menggelengkan kepala dengan sangat cepat, kenangan itu enggan pergi. “Gabriella?” panggil suara familiar dari arah depan. Sang wanita spontan menegakkan wajah. Suaminya ternyata sedang berdiri dengan mata bulat dan tangan terkepal erat. “Apa yang terjadi? Kenapa bajumu basah?” Gabriella langsung menunduk, membiarkan rambutnya jatuh menutupi tanda menjijikkan yang gagal dihilangkan. Ia tidak ingin disebut lemah ataupun dituduh yang macam-macam. Hanya dalam sekejap, Max telah mencengkeram lengan istrinya. Sang wanita seketika terkesiap dan membalas tatapannya dengan sedikit gemetar.
Read more
34. Aku Tidak Berpura-pura
“Maafkan aku,” ucap Max seraya menatap mata istrinya dalam-dalam. “Aku memang bersalah. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu bersama laki-laki berengsek itu di ruanganku.” Bibir Gabriella kini bergetar hebat mengimbangi udara gersang dalam paru-parunya. Pernyataan maaf sang suami memang telah mengangkat sedikit beban dalam hati. Malangnya, hal itu tidak mampu mengubah fakta tentang perlakuan Roberto terhadapnya. “Dia sudah menyentuhku, Max. Dia sudah mengambil keuntungan dariku,” tutur Gabriella dengan suara tipis dan lirih. Kerut alisnya perlahan menggoreskan luka yang lebih banyak dalam hati Max, memaksa pria itu untuk bertekuk lutut pada penyesalan. “Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan membiarkan laki-laki itu mendekatimu lagi.” “Itu semua salahmu, Max. Salahmu,” ujar sang wanita seraya memukul dada suaminya. Ia tidak tahu lagi kepada siapa kekesalannya harus ditujukan. Sadar bahwa istrinya sangat rapuh, Max akhirnya merengkuh wanita itu de
Read more
35. Tidak Ingin Bertengkar Lagi
Gabriella terdiam menatap Max yang tertunduk di hadapannya. Serangan yang baru saja diluncurkan benar-benar di luar dugaan. Ia memang berencana untuk melawan, tetapi tidak sampai membumihanguskan kesabaran suaminya. “Kau sudah tiga kali meludahiku,” ucap Max dengan nada rendah yang mencekam. Udara dingin seketika menggerayangi tengkuk Gabriella. Telinganya telah menangkap kegeraman di sela helaan napas sang pria. Meskipun begitu, ia masih menggenggam kemasan pil KB seerat tekadnya untuk melawan. “Itu akibatnya kalau memaksakan kehendak terhadapku,” timpal sang wanita dengan suara cenderung datar. Sulit baginya untuk menyingkirkan keraguan dalam kata-kata. Mata Max perlahan kembali menyapa, memperlihatkan guratan kekesalan yang tak lagi tertahan. “Jadi, kau memang tidak menghargaiku?” “Aku tidak akan pernah tunduk padamu,” sahut Gabriella sambil mengangkat dagu. Ia harus terlihat garang. “Kau tidak berhak mengatur hidupku.” Cengkeraman
Read more
36. Perlakuan Spesial
“Omong-omong, siapa itu?” bisik Cherry ketika matanya menangkap punggung Gabriella. Perempuan yang semula merenung sontak menahan napas, khawatir jika tindak-tanduknya mencurigakan. “Dia tidak penting. Tidak usah dihiraukan.” Bibir Gabriella spontan mengerucut dan alisnya berkerut. “Tidak perlu dipertegas juga aku sudah tahu. Laki-laki itu memang tidak pernah menganggapku penting,” batinnya kesal. “Oh, berarti aku bisa meminta bantuannya,” gumam Cherry sebelum meninggikan leher dan memanggil. “Nona, kemarilah sebentar.” Lamunan Gabriella seketika buyar. Dengan mata bulat dan lengkung alis tinggi, ia menoleh ke belakang. Lambaian tangan dan anggukan kepala si wanita cantik sontak mengundang tubuhnya untuk beranjak dari kursi. “Kenapa dia memanggilku?” pikirnya penasaran. “Ada apa, Nona?” Cherry menyodorkan sebuah tas berisi kotak kayu. “Aku membeli satu set poci ini untuk Max. Tolong kau persiapkan bersama dengan teh yang kuleta
Read more
37. Salah Paham
“Mia, apakah kau melihat Gabriella?” tanya Max begitu keluar dari ruangan. “Saya melihatnya mengikuti Tuan Sebastian.” Telunjuk sang wanita tertuju ke arah ruangan pria yang disebutnya. Mata sang CEO spontan terbuka lebar. “Apa yang mereka lakukan?” Sang sekretaris hanya bisa meringis. “Saya ... tidak tahu, Tuan. Saya hanya sempat menceritakan tentang—” Max sudah melaju dengan alis berkerut tak senang. “Beraninya wanita itu menuduhku ingin menceraikannya, sementara dia berduaan bersama pria lain,” gumam sang CEO dengan tangan terkepal erat. Ia tidak sadar jika napasnya telah menderu. Tak seperti pintu ruangannya yang utuh terbuat dari kayu, ada sekotak kaca transparan pada pintu ruangan sang sekretaris. Begitu Max mengintip dari situ, Gabriella terlihat sedang duduk menghadap Sebastian yang tertawa santai. “Sejak kapan mereka menjadi akrab?” batin Max sebelum mendengus. Belum sempat ia meraih gagang pintu, jantungnya su
Read more
38. Terlalu Rapuh
Pukul lima sore, Max akhirnya kembali menuju ruangan. Dengan tampang masam dan napas menderu, ia menatap pintu yang memisahkan dirinya dengan sang istri. “Apakah dia sudah menyelesaikan tugasnya atau malah kabur bersama pria lain?” terka pria yang telah dibutakan oleh rasa cemburu. Dengan kasar, ia membuka pintu. Sedetik kemudian, matanya terbelalak karena disambut oleh kekosongan. Hanya ada hamparan kertas di atas meja dan tas kecil di pojoknya. Gemuruh napas sang pria otomatis bertambah liar. “Ternyata, dia berani membantah perintahku?” Tanpa membuang waktu, Max melaju menuju ruangan sebelah. “Jika dia benar-benar berada di sana, jangan harap aku akan memberi maaf.” Tiba-tiba, Sebastian keluar dari ruangan sambil menenteng tas. Saat melihat sang CEO, alisnya melengkung tinggi. “Ada apa, Max? Apa ada hal genting yang perlu kita bahas?” tanya sang sekretaris dengan kedipan datar. “Kau sudah mau pulang?” selidik pria den
Read more
39. Rahasia Kecil Max
“Ck, apa yang harus kulakukan?” pikir Max seraya mengacak rambut. Tatapannya masih terpaku pada punggung yang gemetar dalam kesedihan itu. “Apakah aku terlalu keras padanya?” Selang beberapa detik, Gabriella masih meringkuk dalam tangis. Isak pilunya membuat hati Max semakin tak tenang. Sembari meringis, pria itu menimbang-nimbang keadaan. “Haruskah aku menenangkannya?” gumamnya ragu. Setelah menarik napas panjang, Max akhirnya mengangkat tubuh sang istri. Tanpa terduga, tangisan Gabriella malah berhenti karena keterkejutan. Mata merahnya yang bulat kini tertuju pada sang suami dengan penuh tanya. Sesekali, pundaknya tersentak oleh sisa isakan. “Tak perlu heran. Aku hanya tidak ingin kau merepotkanku lagi,” celetuk Max seraya membawa istrinya menuju sofa. Setibanya di sana, ia menurunkan Gabriella dengan lembut lalu menyodorkan kotak bekal. “Makanlah! Bibi sudah bersusah payah mengantarkannya untukmu.” Sedetik kemudian, Max kembali men
Read more
40. Mulai Memahami
Sepanjang perjalanan menuju bandara, Max tak bisa berhenti mengamati istrinya. Gabriella tampak ceria, sangat berbeda dari biasanya. "Apa yang terjadi di dalam ruangan itu? Kenapa dia mendadak lupa pada kesedihannya? Padahal, matanya saja masih bengkak," batin pria yang pura-pura fokus dengan tabletnya. Setibanya di pesawat, hal yang lebih mengejutkan datang. Wanita itu tiba-tiba menggenggam tangan sang suami saat pesawat hendak tinggal landas. "Apa yang kau lakukan?" bisik Max tidak bisa lagi menyembunyikan keheranan. "Bukankah ini membuatmu nyaman?" timpal Gabriella dengan mata bulat yang menggemaskan. Sang suami sampai tak bisa berkedip menatapnya. Selang satu embusan napas, Max menempelkan telapak tangan di kening sang istri.  "Kau tidak demam," gumamnya setelah mendeteksi suhu tubuh yang normal. Kebingungan menumpuk semakin tinggi dalam benaknya. "Aku sudah sehat. Tenang saja. Aku tidak akan merepotkanmu lagi," bisik
Read more
PREV
123456
...
36
DMCA.com Protection Status