Lahat ng Kabanata ng Cinta CEO dalam Jebakan: Kabanata 11 - Kabanata 20
356 Kabanata
11. Interogasi
Max membuka pintu dengan kasar membuat gadis yang sedang melamun di tepi jendela tersentak. “Inilah target kita,” ucap sang CEO kepada seorang laki-laki berjubah panjang dengan sebuah kotak perkakas di tangan kanannya. Pria itu langsung memperhatikan Gabriella dengan saksama. Selang beberapa detik, ia mengangguk-angguk cepat. “Baiklah. Kunci pintu!” Max pun menjalani perintah tanpa ragu. “Ada apa ini?” tanya Gabriella secara tak sadar merapat pada dinding. Gadis itu tahu bahwa dirinya sedang terancam. Sang interogator meletakkan kotak perkakas di atas meja. Begitu dibuka, tidak hanya Gabriella, tetapi Max juga terbelalak melihat isinya. Beragam pisau dan alat aneh tersusun rapi pada beberapa tingkat. Benda pertama yang dikeluarkan oleh pria berjubah itu adalah sebuah tali. “Apa yang mau kalian lakukan?” tanya Gabriella dengan napas memburu. Pria yang dijuluki Sharp Knife pun menoleh. Mata tajamnya langsung menebas nyali
Magbasa pa
12. Rasa Bersalah
“Tugasku sudah selesai. Aku pergi sekarang,” tutur sang interogator sembari bergegas merapikan perkakas. “Kirimkan saja bayaranku ke rekening yang kuberikan.” “Kau masih berani meminta bayaran setelah melanggar kesepakatan?” bentak Max tak terima. Tangannya masih mendekap erat gadis yang hilang kesadaran. “Justru kau seharusnya membayar lebih. Kau tahu, aku tidak hanya berhasil menggali informasi dari satu orang, melainkan dua orang.” Alis sang CEO sontak bertambah dalam. “Apa maksudmu?” Sharp Knife menutup kotak perkakas, menentengnya, lalu berbalik menghadap si klien. “Bukankah kubilang tugasku sudah selesai? Itu berarti, aku telah berhasil mendapatkan apa yang kau minta.” Max menggeleng tak mengerti. Ketika telunjuk sang interogator teracung, kebingungannya semakin menjadi. “Pertama, gadis ini tidak bersalah. Dia memang tidak tahu apa-apa,” terang si pria berjubah dengan tampang yakin. “Kenapa kau bisa menyimpulkan b
Magbasa pa
13. Menebus Kesalahan
Setibanya di rumah, hal pertama yang ditanyakan oleh Max adalah Gabriella. “Perempuan itu sudah bangun, Tuan. Tapi, dia tampak seperti orang yang tidak waras. Dia terus menangis dan berteriak mendesak saya untuk keluar. Jadi, saya terpaksa menguncinya di kamar,” jelas si kepala pelayan gelisah. “Jadi, dia belum makan?” tanya Max dengan kerutan kecil di pangkal alisnya. “Belum, Tuan,” geleng si pelayan sambil merendahkan sudut wajah. “Kalau begitu, tolong siapkan makanan, Bi. Antarkan ke kamar sekitar 15 menit lagi.” “Baik, Tuan.” Sementara sang pelayan bergegas ke dapur, Max meluncur ke kamar. Begitu pintu dibuka, gadis yang sedang memeluk diri di sudut kamar mulai bergetar ketakutan. Ia terus mendorong mundur tubuhnya meski telah tertahan oleh dinding. Menyaksikan hal itu, hati Max terasa aneh. Ia belum pernah mengalami perasaan itu, perasaan yang mengoyak dada dan memaksa kedua tangannya terkepal erat. Dengan
Magbasa pa
14. Calon Istri
Max mengusap pipi pucat Gabriella. Hatinya berdesir menyambut perasaan yang tak terdeskripsikan. “Gadis ini pasti sangat membenciku. Apakah aku bisa menghadapi seorang istri yang menyimpan dendam?” Tangan sang CEO kini beralih menggenggam jemari lentik yang sempat terancam. “Untung saja Sharp Khife masih memiliki hati dan akal sehat yang cemerlang,” desahnya seraya tertunduk. “Berkatnya, aku masih memiliki harapan.” Dengan lembut, Max menarik Gabriella ke dalam dekapan. Tanpa ragu, ia memejamkan mata sambil mengelus rambut gadis itu hingga tangannya berhenti bergerak. Keesokan harinya, sang CEO membuka mata dan menemukan bahwa dirinya sama sekali tidak bergerak sepanjang malam. Setelah memastikan gadis dalam dekapannya masih terlelap, ia mengendurkan pelukan dan membetulkan posisi berbaring Gabriella. “Semoga hari ini adalah hari yang baik untuk kita,” bisik Max sebelum beranjak dari ranjang. Dengan perasaan yang lebih
Magbasa pa
15. Menikahlah Denganku!
“Ah, aku seharusnya mengajakmu ikut mandi bersamaku,” ucap sang CEO seraya membelai rambut Gabriella. “Max!” pekik Amber sambil menarik lengan sang pria. Telinga wanita itu terasa panas karena ucapan manis Max kepada perempuan lain. “Jangan coba-coba mengujiku! Aku juga punya batas kesabaran.” Selama beberapa detik, sang CEO tidak bersuara. Ketika pria itu sudah berdiri bersama Gabriella dalam gendongannya, barulah ia membalas, “Kesabaranku baru saja kau habiskan. Jangan harap aku mau menerimamu sebagai istriku!” Amber sontak menghela napas tak percaya. Harga dirinya terluka, apalagi ketika Max berbalik tanpa menambahkan kata. “Kau akan menyesal jika menolakku!” seru wanita muda itu sambil melayangkan telunjuk yang teracung. Namun, sekeras apa pun ia berteriak, sang CEO tetap tidak menggubris. “Lihat saja! Kau tidak akan bahagia bersama gadis itu!” “Bibi, protokol empat!” Max tiba-tiba memberi sinyal. Ia benar-benar risih dengan suara
Magbasa pa
16. Perhatian yang Terselubung
“Ah, kurasa cukup untuk malam ini,” gumam sang CEO seraya memutar lehernya yang terasa pegal. Sudah empat jam ia fokus, tetapi maket di tangannya belum juga rampung. “Besok aku harus meluangkan lebih banyak waktu,” pikirnya seraya menoleh ke arah Gabriella. Gadis itu tertidur dengan tangan masih memegang pena. Tanpa bersuara, Max mendekat lalu meneliti hasil pekerjaan sang gadis. Tiga detik kemudian, sudut bibirnya terangkat ringan. “Tidak terlalu buruk. Meskipun berantakan, hasilnya masih bisa digunakan,” angguk sang CEO puas. Selang satu kedipan, matanya beralih pada wajah cantik yang terpejam. Tanpa sadar, Max ikut memiringkan kepala. “Apakah kamu lelah?” bisiknya seraya membelai rambut Gabriella. Selang satu embusan napas, pria itu bergeming. “Tunggu dulu. Kenapa aku menyentuhnya?”  Setelah berkedip-kedip heran, ia berdiri tegak, melipat tangan, lalu berdeham kencang. Gadis yang semula merebahkan kepala
Magbasa pa
17. Kedatangan Julian
Begitu pintu dibuka, seorang pria menyerbu masuk dengan tangan terkepal erat. Pelayan di balik punggungnya hanya bisa meringis khawatir. “Beraninya kau menyia-nyiakan pengorbananku! Aku sudah mengalah kepadamu, tapi kau malah mengacaukan perusahaan?” Telunjuk pria itu teracung di depan muka Max. “Perhatikan bicaramu, Julian! Kau bukannya mengalah, tapi melarikan diri, dan aku tidak pernah mengacaukan perusahaan.” “Benarkah? Lalu, kenapa wanita ini berada di sini? Di kamarmu.” Tatapan tamu tak diundang itu tertuju kepada Gabriella yang mengerut di belakang sang CEO. “Apa salahnya jika calon istriku di sini?” jawab Max dengan nada santai. Tidak hanya sang gadis, tetapi Julian pun terbelalak. “Calon istrimu? Ternyata, yang dikatakan oleh Amber memang benar. Kau sudah dihasut oleh perempuan ini.” “Pelankan suaramu, Julian! Kita bukan di tengah hutan, dan kau tidak berhak meneriaki gadisku seperti itu.” Sang
Magbasa pa
18. Menepati Janji
“Tentu saja bukan,” sanggah Max dengan nada kesal. “Lalu, beri aku pilihan lain. Bagaimana dengan memijat? Bukankah pundakmu sering pegal?” Sang CEO mulai memutar bola mata. Selang beberapa saat, ia memberikan boneka beruang kutub itu kepada Gabriella. “Sekarang, tepati janjimu!” Dalam sekejap, mata Gabriella berkaca-kaca memperhatikan pemberian orang tuanya. Setelah membelai boneka itu dengan lembut, ia memeluknya dengan mata terpejam. Setetes air mata mengalir saat ia menghela napas dari tenggorokannya yang mendadak gersang. “Aku sangat merindukanmu,” gumamnya sukses menyentuh hati Max. “Jadi, aku berhasil mengobati kerinduanmu?” tanya pria itu setengah berbisik. “Ya,” desah Gabriella seraya menatap sang CEO setulus hati. “Terima kasih.” Sebisa mungkin, Max menahan bibirnya agar tidak melengkung. “Kalau begitu, pijat aku sekarang!” “Ya,” angguk sang gadis sambil mendekap Snowy dengan erat. Dengan langk
Magbasa pa
19. Terimalah Lamaranku!
Mata Gabriella berkaca-kaca saat kakinya menginjak tanah yang sudah lama tidak ditapakinya. Setelah menelan ludah dan menarik napas cepat, ia menoleh ke arah pria yang sedang menggenggam tangannya. “Kenapa kau membawaku ke sini?” “Untuk menepati janjiku,” sahut Max ringan. Senyum di wajahnya meskipun tipis tampak tulus. Tanpa bertanya lagi, Gabriella melangkah menuju makam orang tuanya. Begitu tangan gadis itu menyentuh batu nisan, air mata otomatis bergumpal dan jatuh dari pelupuknya. "Mama, Papa .... Maaf, aku gagal menjaga rumah." Napas sang pria mendadak terasa berat mendengar rintihan Gabriella. "Maaf karena aku gagal menjaga diri sendiri," ucap gadis itu di sela desah napas yang tidak beraturan.  Kepala Max tak bisa lagi tegak. Ia terlalu malu untuk menampakkan muka di hadapan makam orang tua gadis yang sudah ditidurinya. Selama beberapa menit, Max hanya berdiri menyaksikan Gabriella menangis memeluk
Magbasa pa
20. Intimidasi
“Wah, Anda cantik sekali calon Nyonya Evans!” puji seorang desainer yang didatangkan khusus oleh Enchanted Bridal. “Semua gaun terlihat lebih bersinar di tubuh Anda.”Gabriella hanya menaikkan sudut bibirnya tipis. Gaun yang dipenuhi butiran kristal itu merupakan gaun kesepuluh yang dicobanya.“Jadi, apakah calon istriku sudah menemukan gaunnya?” tanya Max tiba-tiba masuk dan duduk di sofa. Tanpa menunggu perintah, sang pelayan menghampiri tuannya.“Bukankah Anda berencana pergi sore ini, Tuan?” tanya Minnie dengan suara pelan.“Urusanku sudah selesai. Sekarang, aku ingin melihat calon istriku,” ujarnya seraya tersenyum kepada Gabriella. Gadis yang melirik itu sontak mengalihkan pandangan.“Dari semua gaun yang telah dicoba, kekasih Anda paling cocok mengenakan gaun ini, Tuan,” terang sang desainer seraya menarik Gabriella ke hadapan sang pria.“Benarkah? Berputarlah!”Setelah sempat ragu, sang gadis akhirnya berputar dengan
Magbasa pa
PREV
123456
...
36
DMCA.com Protection Status