“Maafkan aku,” ucap Max seraya menatap mata istrinya dalam-dalam. “Aku memang bersalah. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu bersama laki-laki berengsek itu di ruanganku.”
Bibir Gabriella kini bergetar hebat mengimbangi udara gersang dalam paru-parunya. Pernyataan maaf sang suami memang telah mengangkat sedikit beban dalam hati. Malangnya, hal itu tidak mampu mengubah fakta tentang perlakuan Roberto terhadapnya.
“Dia sudah menyentuhku, Max. Dia sudah mengambil keuntungan dariku,” tutur Gabriella dengan suara tipis dan lirih. Kerut alisnya perlahan menggoreskan luka yang lebih banyak dalam hati Max, memaksa pria itu untuk bertekuk lutut pada penyesalan.
“Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan membiarkan laki-laki itu mendekatimu lagi.”
“Itu semua salahmu, Max. Salahmu,” ujar sang wanita seraya memukul dada suaminya. Ia tidak tahu lagi kepada siapa kekesalannya harus ditujukan.
Sadar bahwa istrinya sangat rapuh, Max akhirnya merengkuh wanita itu de
Gabriella terdiam menatap Max yang tertunduk di hadapannya. Serangan yang baru saja diluncurkan benar-benar di luar dugaan. Ia memang berencana untuk melawan, tetapi tidak sampai membumihanguskan kesabaran suaminya. “Kau sudah tiga kali meludahiku,” ucap Max dengan nada rendah yang mencekam. Udara dingin seketika menggerayangi tengkuk Gabriella. Telinganya telah menangkap kegeraman di sela helaan napas sang pria. Meskipun begitu, ia masih menggenggam kemasan pil KB seerat tekadnya untuk melawan. “Itu akibatnya kalau memaksakan kehendak terhadapku,” timpal sang wanita dengan suara cenderung datar. Sulit baginya untuk menyingkirkan keraguan dalam kata-kata. Mata Max perlahan kembali menyapa, memperlihatkan guratan kekesalan yang tak lagi tertahan. “Jadi, kau memang tidak menghargaiku?” “Aku tidak akan pernah tunduk padamu,” sahut Gabriella sambil mengangkat dagu. Ia harus terlihat garang. “Kau tidak berhak mengatur hidupku.” Cengkeraman
“Omong-omong, siapa itu?” bisik Cherry ketika matanya menangkap punggung Gabriella. Perempuan yang semula merenung sontak menahan napas, khawatir jika tindak-tanduknya mencurigakan. “Dia tidak penting. Tidak usah dihiraukan.” Bibir Gabriella spontan mengerucut dan alisnya berkerut. “Tidak perlu dipertegas juga aku sudah tahu. Laki-laki itu memang tidak pernah menganggapku penting,” batinnya kesal. “Oh, berarti aku bisa meminta bantuannya,” gumam Cherry sebelum meninggikan leher dan memanggil. “Nona, kemarilah sebentar.” Lamunan Gabriella seketika buyar. Dengan mata bulat dan lengkung alis tinggi, ia menoleh ke belakang. Lambaian tangan dan anggukan kepala si wanita cantik sontak mengundang tubuhnya untuk beranjak dari kursi. “Kenapa dia memanggilku?” pikirnya penasaran. “Ada apa, Nona?” Cherry menyodorkan sebuah tas berisi kotak kayu. “Aku membeli satu set poci ini untuk Max. Tolong kau persiapkan bersama dengan teh yang kuleta
“Mia, apakah kau melihat Gabriella?” tanya Max begitu keluar dari ruangan. “Saya melihatnya mengikuti Tuan Sebastian.” Telunjuk sang wanita tertuju ke arah ruangan pria yang disebutnya. Mata sang CEO spontan terbuka lebar. “Apa yang mereka lakukan?” Sang sekretaris hanya bisa meringis. “Saya ... tidak tahu, Tuan. Saya hanya sempat menceritakan tentang—” Max sudah melaju dengan alis berkerut tak senang. “Beraninya wanita itu menuduhku ingin menceraikannya, sementara dia berduaan bersama pria lain,” gumam sang CEO dengan tangan terkepal erat. Ia tidak sadar jika napasnya telah menderu. Tak seperti pintu ruangannya yang utuh terbuat dari kayu, ada sekotak kaca transparan pada pintu ruangan sang sekretaris. Begitu Max mengintip dari situ, Gabriella terlihat sedang duduk menghadap Sebastian yang tertawa santai. “Sejak kapan mereka menjadi akrab?” batin Max sebelum mendengus. Belum sempat ia meraih gagang pintu, jantungnya su
Pukul lima sore, Max akhirnya kembali menuju ruangan. Dengan tampang masam dan napas menderu, ia menatap pintu yang memisahkan dirinya dengan sang istri. “Apakah dia sudah menyelesaikan tugasnya atau malah kabur bersama pria lain?” terka pria yang telah dibutakan oleh rasa cemburu. Dengan kasar, ia membuka pintu. Sedetik kemudian, matanya terbelalak karena disambut oleh kekosongan. Hanya ada hamparan kertas di atas meja dan tas kecil di pojoknya. Gemuruh napas sang pria otomatis bertambah liar. “Ternyata, dia berani membantah perintahku?” Tanpa membuang waktu, Max melaju menuju ruangan sebelah. “Jika dia benar-benar berada di sana, jangan harap aku akan memberi maaf.” Tiba-tiba, Sebastian keluar dari ruangan sambil menenteng tas. Saat melihat sang CEO, alisnya melengkung tinggi. “Ada apa, Max? Apa ada hal genting yang perlu kita bahas?” tanya sang sekretaris dengan kedipan datar. “Kau sudah mau pulang?” selidik pria den
“Ck, apa yang harus kulakukan?” pikir Max seraya mengacak rambut. Tatapannya masih terpaku pada punggung yang gemetar dalam kesedihan itu. “Apakah aku terlalu keras padanya?” Selang beberapa detik, Gabriella masih meringkuk dalam tangis. Isak pilunya membuat hati Max semakin tak tenang. Sembari meringis, pria itu menimbang-nimbang keadaan. “Haruskah aku menenangkannya?” gumamnya ragu. Setelah menarik napas panjang, Max akhirnya mengangkat tubuh sang istri. Tanpa terduga, tangisan Gabriella malah berhenti karena keterkejutan. Mata merahnya yang bulat kini tertuju pada sang suami dengan penuh tanya. Sesekali, pundaknya tersentak oleh sisa isakan. “Tak perlu heran. Aku hanya tidak ingin kau merepotkanku lagi,” celetuk Max seraya membawa istrinya menuju sofa. Setibanya di sana, ia menurunkan Gabriella dengan lembut lalu menyodorkan kotak bekal. “Makanlah! Bibi sudah bersusah payah mengantarkannya untukmu.” Sedetik kemudian, Max kembali men
Sepanjang perjalanan menuju bandara, Max tak bisa berhenti mengamati istrinya. Gabriella tampak ceria, sangat berbeda dari biasanya. "Apa yang terjadi di dalam ruangan itu? Kenapa dia mendadak lupa pada kesedihannya? Padahal, matanya saja masih bengkak," batin pria yang pura-pura fokus dengan tabletnya. Setibanya di pesawat, hal yang lebih mengejutkan datang. Wanita itu tiba-tiba menggenggam tangan sang suami saat pesawat hendak tinggal landas. "Apa yang kau lakukan?" bisik Max tidak bisa lagi menyembunyikan keheranan. "Bukankah ini membuatmu nyaman?" timpal Gabriella dengan mata bulat yang menggemaskan. Sang suami sampai tak bisa berkedip menatapnya. Selang satu embusan napas, Max menempelkan telapak tangan di kening sang istri. "Kau tidak demam," gumamnya setelah mendeteksi suhu tubuh yang normal. Kebingungan menumpuk semakin tinggi dalam benaknya. "Aku sudah sehat. Tenang saja. Aku tidak akan merepotkanmu lagi," bisik
Begitu keluar dari kamar mandi, Max terbelalak karena hanya mendapati Cherry di atas ranjang. Setelah celingak-celinguk dan tetap tidak menemukan sang istri, desah kesal berembus dari mulutnya. “Kenapa dia meninggalkan suaminya berduaan dengan perempuan lain? Apakah dia sama sekali tidak berperasaan?” gerutu pria yang kemudian menatap Cherry dengan raut jijik. “Perempuan ini ... selalu saja merepotkanku. Ck, seharusnya kubiarkan saja dia menangis di lobi. Dia yang batal menikah, tapi kenapa malah aku yang pusing? Kalau saja aku tidak mencoba menjadi teman yang baik, aku pasti sudah menikmati makan malam yang tenang.” Sedetik kemudian, alis Max terdesak ke atas. Kata-katanya baru saja mengingatkan janjinya kepada sang istri. Secepat kilat, ia berbalik menghadap meja yang ternyata sudah penuh dengan hidangan. Helaan napas tak percaya langsung terumbar di udara. “Dia benar-benar menyiapkan makan malam? Lalu, kenapa dia malah kembali ke kamar?” gerutu pri
Menyaksikan reaksi semacam itu, rasa bersalah Max sontak berlipat ganda. Sembari mengerutkan alis, ia mencoba menyentuh pundak istrinya.“Gabriella, maafkan aku. Tidak seharusnya aku bersikap kasar kepadamu,” ucap Max dengan lidah yang kelu.Sang istri tidak menjawab. Wanita itu terus membasuh hatinya yang terluka dengan air mata.“Aku benar-benar keterlaluan tadi. Kumohon, maafkan aku.”Lagi-lagi, Gabriella bungkam. Kesedihannya terlampau besar untuk mampu menerima permohonan maaf yang ia ragukan tersebut.Mengetahui bahwa sang istri telah menutup diri darinya, Max pun mendesah pasrah. Dengan lembut, direngkuhnya wanita itu.“Apa yang bisa kulakukan untuk mengobati lukamu?” bisik pria yang kini mengelus rambut sang istri.Beberapa detik berlalu, Gabriella masih saja terisak dalam dekapan. Wanita itu terlalu lelah untuk menyikapi keadaan. Diam ataupun melawan, keduanya sama-sama tidak mampu menghila