Tous les chapitres de : Chapitre 11 - Chapitre 20
86
Tidak Punya Pendirian
Tidak punya pendirian. Siera mengatai dirinya bodoh. Sebelumnya, ia marah. Sangat. Bersumpah tak akan bicara pada Dean, walau pria itu minta maaf. Namun, hati tiba-tiba gamang kala mendapati setumpuk kertas berada di atas meja ruang tamu.  Pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Siera belum pergi bekerja, suaminya sudah. Dan benda yang barusan di pandangi adalah milik Dean. Tumpukan kertas yang diklip itu adalah draft proposal skripsi milik mahasiswa suaminya, yang tadi malam sudah diperiksa.  Siera tahu bahwa itu sudah dikoreksi Dean, karena ia terbangun dini hari kemarin. Sekitar pukul satu dan menemukan si lelaki ada di sofa dengan tumpukan kertas yang sama. Siera sempat mengintip sembari lewat. Sebenarnya penasaran, ingin bertanya, tetapi karena ia dan sang suami belum berbaikan, maka Siera hanya lewat.  Pagi ini, menemukan benda itu di rumah, sedangkan Dean sudah pergi, Siera gamang. Haruskah menghubungi dan memberitahu? Atau mengantar
Read More
Damai?
Dean tampak berjalan menuju pintu dengan wajah ditekuk sore ini. Pintu rumah dibuka, ia mendengar suara palu diketuk ke atas paku. Suaranya dari samping rumah, pria itu mengurungkan niat untuk masuk.  "Sedang apa kamu?" Dean berkacak pinggang pada Siera yang tampak berjongkok di sepetak tanah kosong di samping rumah mereka. Di tangan istrinya itu ada sebuah palu. Belum dijawab, hanya dilempari tatapan heran, lelaki itu memalingkan wajah sesaat. Ia baru ingat bila dirinya dan sang istri belum berbaikan. Kenapa malah mengajak bicara duluan?  "Mau bikin kotak tanaman," jawab Siera asal, kembali memukulkan kepala palu pada paku di atas balok kayu yang coba ia rangkai menjadi bentuk persegi panjang.  Dean menoleh lagi, melepas kedua sepatunya. "Kotak tanaman? Untuk apa?"  Pukulannya meleset dan malah mengenai ibu jari, Siera meringis, spontan melempar alat tukang di tangan ke tanah. "Kalau tahu, memang mau apa? Jangan ikut campu
Read More
Partner
"Aku bisa pulang sendiri, Ma. Makasih banyak untuk risolesnya." Memeluk Ana sekali lagi, Siera melambai pada kedua orang tua Dean itu. Senyum tak berhenti terkembang di wajahnya yang seterang bintang di langit malam ini. "Papa masih kuat kendarai mobil, loh, Siera. Papa antar aja, ya?" Mike lagi-lagi menahan lengan Siera yang sudah hendak meninggalkan teras rumah. Ia cemas harus membiarkan menantunya itu pulang sendirian di larut begini. Siera menggeleng. "Aku enggak mau merepotkan. Serius. Kalau Papa maksa mau antar, aku enggak bakal datang lagi ke sini." Seperti beberapa kali sebelumnya, hari ini Siera yang mendapat jatah libur mingguan menghabiskan harinya di rumah Mike dan Ana. Mereka melakukan banyak hal. Bercerita soal masa kecil Dean, memasak bersama Ana, menikmati masakan Ana yang super lezat, juga membantu mertuanya itu mengurusi tanaman bunga di taman belakang. Sekarang sudah pukul delapan, mau tak mau Siera harus pulang.
Read More
Yang Merasa Bersalah
Keluar dari kamar, Siera menoleh ke arah jendela di kiri rumah. Masih sambil mengunyah, perempuan yang baru selsai mandi itu memastikan waktu dengan melirik pada jam. Sekitar pukul lima. Berjalan hingga ke ruang tamu, ia berhenti di dekat meja TV. Di depannya, ada Dean yang sedang memegang pel. Tatapan Siera penuh rasa ingin tahu. "Tolong, remahan wafermu." Dean memindahkan pel dari dekat kaki istrinya. Melanjutkan kegiatannya, membersihkan lantai hingga mengkilap. Menghabiskan lima wafer cokelat di tangan, Siera menatapi punggung Dean yang bergerak. Ini aneh. Sungguh aneh. Bayangkan, beberapa saat lalu, suaminya itu datang ke Ramaji. Bukan untuk nongkrong atau bertemu Pak Rama, melainkan untuk menjemput. Tidak sampai di sana, pria itu bahkan mengambil jatah pekerjaan sore Siera. Menyapu dan mengepel rumah. Pantas tidak dipertanyakan? Siera yakin iya. Untuk apa Dean melakukan semua ini? Tiba-tiba sekali. "
Read More
Ketakutan Hati
Dean kecelakaan.Satu kalimat yang berhasil membuat Siera lupa cara bernapas untuk sesaat. Tadi, gadis itu sedang memandangi bunga matahari di samping rumah. Lalu, telepon datang. Dari seorang perempuan yang adalah perawat rumah sakit. Memberitahu jika suaminya ada di ruang IGD, karena kecelakaan dan belum sadarkan diri.Tunggang-langgang, Siera berangkat ke sana. Pikirannya berkecamuk. Ingatan soal peristiwa memilukan beberapa tahun lalu berkeliaran di benak. Membuatnya tak segan menangis di dalam taksi yang ditumpangi.Bertanya pada petugas rumah sakit, Siera sampai di depan sebuah ruangan, yang katanya di sana Dean sudah dipindahkan. Sangat beruntung, luka Dean tidak parah. Pria itu hanya pingsan karena terkejut.Tidak langsung masuk ke ruang rawat, Siera terpaku menemukan sesosok perempuan duduk di depan ruangan. Sama sepertinya, perempuan itu menangis. Tampak pucat, satu perban kecil juga tertempel di
Read More
Yang Datang Tanpa Diminta
Berulang kali Siera berusaha mencerna keadaan hati. Bertanya soal apa yang sebenarnya ia rasakan. Sembari sesekali menyeka air mata, perempuan itu masih terduduk di balik pintu rumah. Tiba di rumah--setelah diusir Dean--beragam pertanyaan berkelebat di benak. Semarah itukah ia pada Nara? Kenapa? Berhak memangnya bersikap begitu? Mengapa harus secemas itu? Bermacam pertanyan, satu ujung yang bisa perempuan itu temukan. Sesuatu. Sesuatu yang tidak seharusnya itu sudah terjadi. Sesuatu yang tak pernah ia sangka itu sudah terjadi. Sesuatu yang menyebabkannya amat ketukutan saat mendengar berita kecelakaan Dean. Bukan sekadar dejavu akan peristiwa nahas yang orang tuanya alami. Ini berbeda. Kesimpulan yang Siera buat itu semakin membuat hati nelangsa. Teringat bagaimana perlakukan Dean tadi. Begitu saja, pria itu mengusirnya. Terlihat marah karena Siera sudah berani menampar Nara. Lantas, sekarang, apa yang akan terjadi? Je
Read More
Ketika Hati Menemukan Pemiliknya
"Siera. Siera. Kamu bisa mendengar saya?" Membuka mata perlahan, Siera mengerjap demi menyesuaikan sinar yang masuk ke mata. Sepenuhnya terjaga dari tidur, sakit kepala yang luar biasa menghantamnya. Perempuan itu tersenyum. "Paksu jemput?" Bukan demam yang membuat Siera jadi sedikit tidak masuk akal begini. Mengulas senyum, sat seharusnya meringis karena ngilu di sekujur tubuh atau pusing dan sakit di kepala.  Namun, kehadiran Deanlah alasannya. "Kamu bisa jalan?" Dean mencoba tidak menanggapi pertanyaan atau ekspresi si perempuan. Di belakang Dean, Mike yang melihat binar di mata sayu Siera mengulum senyum. "Apa kamu sebegitu senangnya melihat Dean datang, Siera?" tanya pria itu sekadar ingin menggoda. Siera mengangguk lemah, mendudukan tubuh yang terasa lemas. Jelas ia senang. Dean tidak pulang semalam. Kenyataan bahwa sekarang pria itu ada di sini, datang untuk menjemputn
Read More
Penyihir Datang
Dean tidak pulang ke rumah, Dena pulang di pagi harinya dengan rambut lembab dan satu atau dua tanda bekas kemerahan di leher. Semua itu saja sudah membuat Siera panas hati. Dan sekarang, siksaannya perempuan itu bertambah. Seharusnya ia tidak terima permintaan Dean untuk berhenti bekerja. Jika masih menjadi pegawai di Ramaji Kafe, mungkin ia tak perlu membukakan pintu untuk Nara. Tidak tahu malu. Kurang akhlak. Karakternya buruk. Semua makian itu Siera ucapkan dalam hati. Terlalu berani atau muka tembok tetapi siang ini kekasih suaminya itu datang ke rumah. Membawakan rantang yang katanya berisi makanan spesial untuk Dean. Mempersilakan wanita dengan gaun merah itu duduk di ruang tamu, Siera menatapi taja. Ia tidak repot-repot menyembunyikan rasa tidak sukanya. "Tinggal aja rantangnya. Nanti aku sampaikan sama Paksu." "Paksu?" "Bapak Suami." Puas, Siera memicing ke lawan bicara. 
Read More
Dean Harus Memilih
"Izin pegangan, ya?" Siera menaruh satu tangannya di pundak Arkan untuk bisa turun dari motor sport pria itu. Baru saja menginjakkan kaki di tanah, perempuan itu melihat Dean keluar dari pintu rumah bersama Nara. Oh, yang sedang memadu kasih sampai tak ingat waktu rupanya. Sakit? Jangan ditanya. Siera ingin menangis sembari berguling-guling saat ini juga, jika tidak memikirkan harga diri. Oh, memangnya dia punya? Bukannya sebelum ini sudah berani mengajak Dean berpelukan dan memohon-mohon pada pria itu agar diberi kesempatan? Beruntung Dean tidak mendengar semua ucapannya malam itu karena masih tidur. "Tunggu sebentar, ya. Kamu mau duduk dulu?" Siera hampir lupa keberadaan Arkan di sana, jika pria itu tak menyikut lengannya pelan. "Bawa siapa kamu ke rumah?" Dean yang sudah memegang kunci mobil dan berganti kemeja bertanya dengan raut tak ramah. "Orang baik," jawab Siera cepat. "Dia udah bayarin es kelapa
Read More
Serangan Kejut
Termenung cukup lama di ruang tamu, sendirian--setelah Arkan dan Dean pergi--Siera mendesah. Kecewa, marah, kesal, tetapi juga menyesal. Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Menyusul Dean ke rumah Nara, menyeret suaminya itu pulang? Mungkin bisa dilakukan bila ia tahu di mana dua manusia yang dibutakan cinta itu bermukim. Berdecak, sebuah bola lampu menyala di kepalanya. Meski lidah beberapa kali membasahi bibir, kakinya mulai melangkah ke kamar yakin. Mengambil tas, ponsel, uang, lalu berganti pakaian. Ia harus segera menuju rumah Mike dan Ana. Agar cepat, Siera menggunakan taksi kali ini. Melihat dirinya sedikit tergopoh-gopoh dan lumayan tergesa-gesa membunyikan bel rumah, Ana memberikan pelukan selamat datang, meski kulit di kening wanita itu berlipat. "Ada apa? Tiba-tiba sekali datang tanpa memberitahu? Kamu sendirian?" Ana memberondong menantunya dengan bermacam pertanyaan seraya berjalan menuju ruan
Read More
Dernier
123456
...
9
DMCA.com Protection Status