Karena mengira Dean sungguh ingin membuat Mike dan Ana--orang tuanya-- senang, tanpa pikir panjang, Siera menerima lamaran pria itu, meski mereka baru berkenalan. Siapa sangka, beberapa jam setelah resmi menjadi istri, Siera baru mengetahui bahwa pernikahan itu hanya sebuah alibi. Alat Dean untuk menutupi hubungannya dengan sang kekasih. Bahkan, Dean sudah tinggal serumah dengan kekasihnya itu selama tiga tahun. Lalu, apa yang akan terjadi pada hidup Siera dan Dean setelah pernikahan itu?
View More"Namanya Nara."
Mata Siera menyipit mendengar ucapan tiba-tiba dari pria yang berdiri memunggunginya itu.
Mereka baru tiba di rumah ini. Tadinya, Dean sudah naik ke lantai atas. Namun, pria bertubuh jangkung itu kembali dengan membawa sebuah bingkai foto di tangan. Memperlihatkan benda itu sebentar padanya, lalu menyebutkan sebuah nama.
Barusan, lelaki itu memperkenalkan perempuan yang ada di foto? Jika benar demikian, Siera tak paham mengapa itu harus suaminya lakukan.
"Kami menjalin hubungan sejak lulus kuliah. Sudah tiga tahun belakangan tinggal serumah."
Baik. Jadi, begitu?
Ada jeda beberapa saat selagi Siera mencerna kalimat barusan. Setelah paham, perempuan itu melempar punggung ke sandaran sofa.
Ia ditipu.
Matanya melirik gaun pengantin selutut yang masih melekat di tubuh. Haruskah menanggalkan benda itu sekarang juga? Karena sumpah demi apa pun, ia tidak terima dengan kebenaran yang barusan didengar.
Beberapa saat lalu, Siera, si gadis berusia 26 tahun itu resmi menjadi istri dari seorang pria bernama Dean Sandi. Tanpa pacaran, tanpa proses saling mengenal lebih jauh, mereka menikah di kantor pencatatan sipil.
Siera yang bekerja sebagai waiters di salah satu kafe bertemu dengan Dean di tempat kerjanya. Tanpa b**a-basi, pria berwajah lugu itu mendatangi, langsung memintanya menjadi istri.
"Kopi yang tadi saya antar rasanya enggak beracun. Kenapa Bapak tiba-tiba bersikap abnormal gini?"
Itu respon yang Siera berikan saat Dean berkata ingin menikahinya. Namun, tanpa diminta, Dean menjelaskan alasan di balik ajakan itu.
"Saya anak tunggal. Saya bukan orang baik, tetapi saya sangat ingin membuat ayah dan ibu saya bahagia dan tenang."
Awalnya, Siera santai saja mendengar semua itu. Perempuan tersebut beranggapan bahwa lelaki di depannya saat itu hanya iseng. Mungkin ikut taruhan atau sedang syuting acara TV.
"Usia saya sudah 33 tahun. Ayah dan Ibu saya menginginkan menantu. Kata mereka, mereka baru akan bahagia dan tenang jika saya menikah dengan perempuan baik."
Di saat itulah Siera mulai serius menanggapi Dean. Ia menatapi pria itu saksama. Berusaha meneliti ekspresi yang dibuat, meski yang tampak hanya raut tenang.
"Ayah saya juga masuk rumah sakit seminggu kemarin karena saya menolak dijodohkan dengan anak temannya. Sampai sekarang kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Beliau bahkan mengancam akan tidak tenang, jika seandainya meninggal tanpa sempat melihat saya memperkenalkan menantu."
Panjang lebar penjelasan merujuk ke bujukan itu Siera dengar. Dalam otaknya, hanya menyimpulkan satu hal. Dean berbuat seperti ini, meminta perempuan asing untuk menjadi istri karena ingin membuat orang tua bahagia.
Siera tersentuh sekaligus iri.
Sebagai gadis sebatang kara yang sudah ditinggal ayah dan ibu sejak empat tahun lalu, ada rasa sesal yang sampai sekarang masih menggerogoti hati. Membuat tidurnya tak nyaman di malam-malam tertentu dan menjadi alasan mengapa air mata selalu turun tiap kali mendoakan mendiang orang tua.
Siera tak sempat berbakti pada ayah dan ibu. Sebelum gadis itu berhasil menyelesaikan kuliah dan mendapat pekerjaan bagus, Hari dan Atla sudah lebih dulu dipanggil. Perempuan itu merasa belum bisa membalas kasih sayang yang orangtuanya berikan.
Mendengar penuturan Dean, tentu ia merasa iba. Juga, timbul rasa ingin membantu. Jika bisa menolong Dean, ia berharap di atas sana orangtuanya melihat dan perbuatan ini dihitung untuk dibalas dengan kebaikan juga.
Siera berharap Hari dan Atla di atas sana mendapat tempat terbaik sebagai balasan, jika nanti ia membantu Dean.
"Itu alasan saya meminta kamu menjadi istri saya. Bagaimana? Kamu mau?"
Sekali lagi Siera menatap dua manik dengan iris gelap milik pria di hadapan. Mencari-cari sirat kebohongan di sana, tetapi malah menemukan hal sebaliknya. Dean terlihat sungguh dan sedikit frustrasi. Juga, terlihat tampan. Ya, pria itu rupawan.
"Bapak punya rumah?"
Lelaki itu mengangguk mantap.
"Bapak punya mobil?"
Kembali jawaban yang diterima Siera adalah anggukan.
"Bapak orangnya sabar, enggak?"
Kali ini pria itu menggerakkan kepala sedikit ragu.
Saat itu, pikiran Siera hanya tertuju pada keinginan Dean yang ingin membahagiakan orang tua. Pria itu sedang terdesak, amat membutuhkan bantuan. Siera sendiri, memang tak punya tujuan mendesak. Maka, perempuan itu mengangguk.
"Ya, udah. Ayo nikah."
Dimintai menjadi istri di siang hari, tiga hari kemudia mereka meresmikan hubungan. Siera juga heran mengapa semuanya menjadi sangat cepat. Tahu-tahu sore menjelang malam ini ia telah resmi menjadi pendamping seumur hidup dari seorang pria bernama Dean.
Pernikahan yang instan. Tanpa dihadiri keluarga, baik dari pihaknya atau pihak Dean. Laki-laki itu bilang ini dilakukan untuk memberi kejutan pada ayah dan ibunya.
Rencananya, besok mereka akan mengunjungi rumah orang tua pria itu. Menceritakan semuanya dan urusan akan diadakan pesta perayaan atau tidak, akan dibicarakan nanti.
Kembali pada kalimat Dean barusan, soal perempuan bernama Nara itu. Akhirnya Siera paham. Pikiran Dean tak selugu wajah yang dipunya.
Pria itu licik, sudah menipunya. Di sofa yang ditempati, Siera bersedekap. Alih-alih menatap kagum, kali ini sorot mata yang dilempar pada punggung si suami penuh kemarahan.
"Istrimu itu enggak bisa kasih anak?" Dugaan paling sederhana yang bisa dibuat adalah Nara itu mandul. Karenanya, Dean membutuhkan istri kedua yang diharapkan mampu memberikan mereka keturunan.
Seperti cerita di novel online yang biasa Siera baca. Oh, membaca dan mengkhayalkannya saja yang indah. Kenyataan, semua itu amat menyesakkan dan membuat ubun-ubun nyaris meledak karena menahan emosi.
Tidak ada persetujuan sebelum ini. Siera tak tahu jika tujuannya dinikahi adalah untuk memberikan anak. Jika saja Dean jujur, ia akan mempertimbangkan lebih serius lagi. Mungkin, ia juga meminta kompensasi setimpal.
Kalimat kasar barusan membuat Dean sontak menoleh. Pria tersebut sedikit heran mendapati cara istrinya menatap. Tidak lagi setenang beberapa jam lalu. Jelas ada kebencian dan kecewa di sana.
"Jaga ucapan kamu."
"Orang waras kalau udah sadar ditipu ya bakal kasar. Bapak berharap aku bicara lembut?" Yang benar saja!
"Kamu tidak berhak menghakimi Nara. Ka--"
"Bapak berhak menipu aku. Aku pantas ditipu, gitu?" Menyela, Siera membuka sanggulan sederhana di kepala. Membiarkan rambut hitam di atas sikunya tergerai.
"Saya tidak menipu kamu." Dean berucap tegas. Dua tangannya tersimpan di saku.
"Is, udah ketahuan juga. Bapak enggak bilang kalau udah punya istri. Itu bukan penipuan namanya?!" Lepas kendali, Siera menaikan nada. Persetan soal sopan santun.
Dalam hati, Siera menyerapah. Istri kedua. Tak pernah dibayangkan kalau status itu akan ia sandang. Atas seorang pria yang bahkan tidak dicintainya.
Seketika ia merasa menjadi karakter antagonis dalam novel yang sering dibaca. Pelakor? Orang ketiga yang biasa dicaci pembaca?
Setelah ini bagaimana? Oh, cerai adalah pilihan bijak. Ia salah paham pada Dean, jadi Tuhan juga tidak akan marah bila pernikahan ini diakhiri.
"Ceraikan aku. Aku memang enggak cantik, tapi bukan berarti rela jadi istri kedua. Lagian, aku belum tentu bisa kasih kalian anak. Ka--"
"Nara bukan istri saya."
Eh? Disela dengan kalimat itu, Siera mengerutkan kening. Maksudnya?
"Mau coba nipu aku lagi? Sayang sekali wajah rupawan Bapak itu. Karakter yang dipunya enggak beres! Udah je--"
"Nara bukan istri saya. Kami tinggal bersama, namun tidak pernah menikah."
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me
"Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments