Share

MEALTING

Author: JihanMarc
last update Last Updated: 2021-05-22 12:49:22

Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.

“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”

Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.

Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.

Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.

“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sakit. Posisinya hanya terhalang tembok pembatas parkir rumah sakit.

“Jadi, maksud kamu semalam ...?” Afi menggantungkan pertanyaannya dalam keadaan melotot.

Entah kenapa Egi selalu merasa senang dan terhibur melihat ekspresi Afi. Apalagi saat membelalak seperti itu. Matanya yang kecil dan sipit itu justru terlihat lucu ketika melebar.

“Ya, saya mau memastikan kantor yang saya pilih berdekatan dengan tempat kerja kamu.” Egi menjawab sambil mendekat dan merapikan rambut Afi. “Biar gampang kalau mau lunch atau pulang bareng,” tambahnya. Kali ini sambil mengusap sedikit coretan lipstik di ujung bibir Afi.

Afi membuka mulut, siap membalas dengan pertanyaan. Namun, suaranya batal muluncur gara-gara panggilan seseorang yang datang dari sisi kiri.

Seorang bapak berkacamata berdiri dalam radius 3 meter. Dia memerhatikan Afi dari kejauhan sambil menaikkan kacamatanya. Dia seperti tidak yakin bahwa perempuan yang dilihat adalah pemilik nama yang tadi dia panggil.

“Loh? Kamu udah masuk?” tanyanya sambil melangkah mendekat. “Katanya mau cuti beberapa hari. Rumah kamu gimana? Tinggal di mana sekarang?”

Afi tersenyum dan sedikit membungkukkan kepala sebagai sapaan hormat pada yang tua. Dia tidak keberatan ditodong beberapa pertanyaan sekaligus.

“Iya, Pak. Tadinya mau libur dulu beberapa hari. Tapi, enggak jadi. Kemarin abang saya udah ngecek puing rumah dan ternyata memang enggak ada yang tersisa. Jadi, saya rasa enggak ada lagi alasan buat saya bolos kerja,” terangnya dengan tenang dan penuh senyuman.

Membersit ekspresi heran di wajah Wisnu. Untuk ukuran seseorang yang baru tertimpa musibah, menurutnya Afi terlalu tenang. Mengumbar senyum sosial pun rasanya cukup tabu. Dia tidak yakin Afi bersedih dengan musibah yang menimpanya.

Alih-alih menyampaikan kesan yang dia tangkap, Wisnu memilih diam. Dia mengulang pertanyaan yang belum terjawab, yakni terkait tempat tinggal baru.

Masih dengan kadar ketenangan yang sama, Afi menjawab jujur. “Sementara ini, saya tinggal di rumah om.”

Afi membatasi jawabannya. Dia tidak menambahkan informasi bahwa om yang dimaksud adalah pria muda yang berdiri di sampingnya. Bahaya jika orang lain tahu bahwa dirinya tinggal bersama pria lajang. Gosip bisa menghancurkan karir dan nama baiknya.

Dalam hati, Afi merapalkan doa agar Egi tidak bicara. Dia sangat khawatir jika pria itu mengungkap jati dirinya dan menambahkan informasi yang tidak Afi harapkan.

“Oooh, gitu.” Wisnu mengangguk-angguk. “Syukur, deh, kalau kamu udah punya tempat tinggal. Tadinya saya mau kasih saran buat kamu tinggal sama Erin. Dia, ‘kan, ngontrak sendirian. Kemarin Erin juga bilang kalau dia mau banget nampung kamu. Biar ada temen katanya.”

Afi ber-oh panjang sambil menganggukkan kepala, diiringi dengan ucapan terima kasih atas kepedulian Wisnu. Afi sangat tersentuh dengan kepedulian rekan-rekannya. Kemarin saja banyak sekali chat masuk menanyakan kabarnya. Bahkan tidak sedikit yang mentransfer sejumlah uang sebagai bentuk kepedulian.

“Terus, ini siapa?”

Afi baru sadar bahwa mata pria setengah baya itu sudah beralih ke Egi. Pria itu pasti penasaran, kenapa sejak tadi Egi tak beranjak ke mana-mana meski tidak diajak bicara.

“Oh, kenalin, Pak. Ini--”

“Giantoro Bagaskara.” Egi memotong sambil mengulurkan tangan. “Teman spesialnya Afi,” tambahnya ketika Wisnu menjabat tangannya.

“Oh, wow!” Wisnu melirik Afi dan tersenyum menggoda. “Jadi, kamu udah ada yang punya sekarang?” tanyanya kepada Afi sebelum memperkenalkan nama kepada Egi. “Saya Wisnu. Kabag Kepegawaian. Kerja di sini juga?” tanyanya saat jabatan mereka terurai.

“Enggak. Kantor saya di sana.” Egi kembali menunjuk ruko yang sebentar lagi resmi menjadi kantornya.

“Oh, pengacara?” tanya Wisnu.

Egi mengangguk. “Saya boleh minta tolong, Pak Wisnu?”

“Oh, tentu.” Wisnu mengangguk tanpa keraguan. “Minta tolong apa?”

Egi menoleh menatap Afi. “Tolong awasi Rosmalina, ya, Pak. Kalau misalkan dia digodain laki-laki,” Egi mengelurkan kartu nama di balik saku jasnya, “tolong telepon saya. Kalau enggak ada pulsa, bisa kasih tau lewat chat.”

Afi menganga, shock mendengar permintaan yang menurutnya tidak masuk akal dan memalukan. Sementara itu, Wisnu tertawa keras sambil mengiakan. Kemudian pamit masuk duluan.

Setelah ditinggal berdua, Afi mengembuskan napas dengan memiringkan kepala menatap Egi. Dia juga menyatukan kedua tangan di bawah dada. Tanpa mengatakan apa pun, dia yakin bahwa Egi mengerti pertanyaan macam apa yang berkelebat di kepalanya.

Jika Afi menanyakan sesuatu dari matanya, Egi justru menjawabnya dengan gedikan bahu. “This is me,” ucapnya sambil merentangkan kedua tangan.

“Kok, kamu enggak bilang kalau kamu om saya?” tanya Afi.

“Harusnya saya yang nanya kayak gitu. Kenapa kamu enggak jelasin dari awal kalau om yang kamu maksud itu saya?”

Kepala Afi menegak perlahan. Ludahnya terasa sulit tertelan. Dia heran, kenapa Egi begitu mudah memutarbalikkan pertanyaan yang justru membuatnya tersudut?

Melihat Afi kesulitan menjawab, Egi tersenyum dan mengusap kepalanya. “Enggak perlu dijawab. Saya udah tau, kok, apa jawabannya.”

Kelopak monolid milik Afi berkedip. Dia penasaran, jawaban apa yang diketahui Egi. Dia ingin menanyakan itu, tapi Egi berbaik hati menjawab lebih dulu.

“Ada banyak orang di dunia ini yang takut sama gosip. Menurut mereka, gosip itu lebih mengerikan daripada hantu dan hewan buas. Kenapa, karena wujudnya enggak ada, tapi efeknya luar biasa. Bahkan bisa membinasakan.”

Afi tercengang dengan kepiawayan Egi membaca pikirannya. Meskipun pria itu tidak menyebut secara ekplisit tentang siapa orang yang dimaksud, Afi yakin bahwa kata ‘banyak orang’ sudah merangkum dirinya.

“Sebagai ‘milik’ saya, saya berkewajiban menjaga nama baik dan melindungi kamu dari terpaan gosip miring. Saya paling enggak suka ‘milik’ saya terusik. Saya juga enggak akan segan-segan bertindak kalau ada orang yang mengganggu ‘milik’ saya.”

Afi mengembuskan napas pelan. Sorot matanya berubah sendu. “Coba kasih tau saya, siapa aja perempuan yang udah kamu bikin mealting kayak gini.”

“Oh, wow! Kamu mealting dengar ucapa saya? Masa?” Egi berlagak tidak percaya. “Okay, kalau kamu mau tau jawabannya, lunch with me.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodi Ruman   KANGEN?

    Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko

  • Jodi Ruman   KLINIK

    “Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin

  • Jodi Ruman   HUJAN, RONDE, DAN PEMBALUT

    “Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan

  • Jodi Ruman   MENGUPING

    “Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na

  • Jodi Ruman   WEEKEND MURAH DAN AMAN

    Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i

  • Jodi Ruman   JAHAT

    Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan

  • Jodi Ruman   PILLOW TALK

    Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni

  • Jodi Ruman   PERKARA MIE, TELUR, DAN MINYAK

    “Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang

  • Jodi Ruman   HUKUMAN

    Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status