Share

MEALTING

Kemarin Afi gagal memahami maksud ucapan Egi. Apalagi pria itu juga enggan menjelaskan, sengaja ingin membuat Afi penasaran. Semua teka-teki itu terang benderang pagi ini.

“Loh? Kamu mau ke mana? Mau jenguk orang?”

Afi heran melihat Egi memarkir mobil di halaman rumah sakit. Bahkan tepat di sebelah mobilnya. Dari rumah, mereka berangkat beriringan. Namun, Afi tidak menyangka bahwa Egi akan mengikutinya sampai ke sini.

Ya, Afi memang sempat salah paham. Dia mengira bahwa Egi nekat membuntutinya bekerja agar tidak menyeleweng. Maklum, kemarin pria itu benar-benar menegaskan bahwa Afi adalah miliknya. Bahkan Egi tak sungkan melarang Afi dekat-dekat dengan pria lain.

Afi merasa beruntung karena prasangka tadi hanya tersimpan dalam hati. Seandainya tadi mulutnya frontal menuduh Egi membuntuti karena over possesive, maka Afi yakin tidak dapat menanggung malu.

“Kantor saya di sana.” Egi menunjuk ruko tiga lantai di sebelah rumah sakit. Posisinya hanya terhalang tembok pembatas parkir rumah sakit.

“Jadi, maksud kamu semalam ...?” Afi menggantungkan pertanyaannya dalam keadaan melotot.

Entah kenapa Egi selalu merasa senang dan terhibur melihat ekspresi Afi. Apalagi saat membelalak seperti itu. Matanya yang kecil dan sipit itu justru terlihat lucu ketika melebar.

“Ya, saya mau memastikan kantor yang saya pilih berdekatan dengan tempat kerja kamu.” Egi menjawab sambil mendekat dan merapikan rambut Afi. “Biar gampang kalau mau lunch atau pulang bareng,” tambahnya. Kali ini sambil mengusap sedikit coretan lipstik di ujung bibir Afi.

Afi membuka mulut, siap membalas dengan pertanyaan. Namun, suaranya batal muluncur gara-gara panggilan seseorang yang datang dari sisi kiri.

Seorang bapak berkacamata berdiri dalam radius 3 meter. Dia memerhatikan Afi dari kejauhan sambil menaikkan kacamatanya. Dia seperti tidak yakin bahwa perempuan yang dilihat adalah pemilik nama yang tadi dia panggil.

“Loh? Kamu udah masuk?” tanyanya sambil melangkah mendekat. “Katanya mau cuti beberapa hari. Rumah kamu gimana? Tinggal di mana sekarang?”

Afi tersenyum dan sedikit membungkukkan kepala sebagai sapaan hormat pada yang tua. Dia tidak keberatan ditodong beberapa pertanyaan sekaligus.

“Iya, Pak. Tadinya mau libur dulu beberapa hari. Tapi, enggak jadi. Kemarin abang saya udah ngecek puing rumah dan ternyata memang enggak ada yang tersisa. Jadi, saya rasa enggak ada lagi alasan buat saya bolos kerja,” terangnya dengan tenang dan penuh senyuman.

Membersit ekspresi heran di wajah Wisnu. Untuk ukuran seseorang yang baru tertimpa musibah, menurutnya Afi terlalu tenang. Mengumbar senyum sosial pun rasanya cukup tabu. Dia tidak yakin Afi bersedih dengan musibah yang menimpanya.

Alih-alih menyampaikan kesan yang dia tangkap, Wisnu memilih diam. Dia mengulang pertanyaan yang belum terjawab, yakni terkait tempat tinggal baru.

Masih dengan kadar ketenangan yang sama, Afi menjawab jujur. “Sementara ini, saya tinggal di rumah om.”

Afi membatasi jawabannya. Dia tidak menambahkan informasi bahwa om yang dimaksud adalah pria muda yang berdiri di sampingnya. Bahaya jika orang lain tahu bahwa dirinya tinggal bersama pria lajang. Gosip bisa menghancurkan karir dan nama baiknya.

Dalam hati, Afi merapalkan doa agar Egi tidak bicara. Dia sangat khawatir jika pria itu mengungkap jati dirinya dan menambahkan informasi yang tidak Afi harapkan.

“Oooh, gitu.” Wisnu mengangguk-angguk. “Syukur, deh, kalau kamu udah punya tempat tinggal. Tadinya saya mau kasih saran buat kamu tinggal sama Erin. Dia, ‘kan, ngontrak sendirian. Kemarin Erin juga bilang kalau dia mau banget nampung kamu. Biar ada temen katanya.”

Afi ber-oh panjang sambil menganggukkan kepala, diiringi dengan ucapan terima kasih atas kepedulian Wisnu. Afi sangat tersentuh dengan kepedulian rekan-rekannya. Kemarin saja banyak sekali chat masuk menanyakan kabarnya. Bahkan tidak sedikit yang mentransfer sejumlah uang sebagai bentuk kepedulian.

“Terus, ini siapa?”

Afi baru sadar bahwa mata pria setengah baya itu sudah beralih ke Egi. Pria itu pasti penasaran, kenapa sejak tadi Egi tak beranjak ke mana-mana meski tidak diajak bicara.

“Oh, kenalin, Pak. Ini--”

“Giantoro Bagaskara.” Egi memotong sambil mengulurkan tangan. “Teman spesialnya Afi,” tambahnya ketika Wisnu menjabat tangannya.

“Oh, wow!” Wisnu melirik Afi dan tersenyum menggoda. “Jadi, kamu udah ada yang punya sekarang?” tanyanya kepada Afi sebelum memperkenalkan nama kepada Egi. “Saya Wisnu. Kabag Kepegawaian. Kerja di sini juga?” tanyanya saat jabatan mereka terurai.

“Enggak. Kantor saya di sana.” Egi kembali menunjuk ruko yang sebentar lagi resmi menjadi kantornya.

“Oh, pengacara?” tanya Wisnu.

Egi mengangguk. “Saya boleh minta tolong, Pak Wisnu?”

“Oh, tentu.” Wisnu mengangguk tanpa keraguan. “Minta tolong apa?”

Egi menoleh menatap Afi. “Tolong awasi Rosmalina, ya, Pak. Kalau misalkan dia digodain laki-laki,” Egi mengelurkan kartu nama di balik saku jasnya, “tolong telepon saya. Kalau enggak ada pulsa, bisa kasih tau lewat chat.”

Afi menganga, shock mendengar permintaan yang menurutnya tidak masuk akal dan memalukan. Sementara itu, Wisnu tertawa keras sambil mengiakan. Kemudian pamit masuk duluan.

Setelah ditinggal berdua, Afi mengembuskan napas dengan memiringkan kepala menatap Egi. Dia juga menyatukan kedua tangan di bawah dada. Tanpa mengatakan apa pun, dia yakin bahwa Egi mengerti pertanyaan macam apa yang berkelebat di kepalanya.

Jika Afi menanyakan sesuatu dari matanya, Egi justru menjawabnya dengan gedikan bahu. “This is me,” ucapnya sambil merentangkan kedua tangan.

“Kok, kamu enggak bilang kalau kamu om saya?” tanya Afi.

“Harusnya saya yang nanya kayak gitu. Kenapa kamu enggak jelasin dari awal kalau om yang kamu maksud itu saya?”

Kepala Afi menegak perlahan. Ludahnya terasa sulit tertelan. Dia heran, kenapa Egi begitu mudah memutarbalikkan pertanyaan yang justru membuatnya tersudut?

Melihat Afi kesulitan menjawab, Egi tersenyum dan mengusap kepalanya. “Enggak perlu dijawab. Saya udah tau, kok, apa jawabannya.”

Kelopak monolid milik Afi berkedip. Dia penasaran, jawaban apa yang diketahui Egi. Dia ingin menanyakan itu, tapi Egi berbaik hati menjawab lebih dulu.

“Ada banyak orang di dunia ini yang takut sama gosip. Menurut mereka, gosip itu lebih mengerikan daripada hantu dan hewan buas. Kenapa, karena wujudnya enggak ada, tapi efeknya luar biasa. Bahkan bisa membinasakan.”

Afi tercengang dengan kepiawayan Egi membaca pikirannya. Meskipun pria itu tidak menyebut secara ekplisit tentang siapa orang yang dimaksud, Afi yakin bahwa kata ‘banyak orang’ sudah merangkum dirinya.

“Sebagai ‘milik’ saya, saya berkewajiban menjaga nama baik dan melindungi kamu dari terpaan gosip miring. Saya paling enggak suka ‘milik’ saya terusik. Saya juga enggak akan segan-segan bertindak kalau ada orang yang mengganggu ‘milik’ saya.”

Afi mengembuskan napas pelan. Sorot matanya berubah sendu. “Coba kasih tau saya, siapa aja perempuan yang udah kamu bikin mealting kayak gini.”

“Oh, wow! Kamu mealting dengar ucapa saya? Masa?” Egi berlagak tidak percaya. “Okay, kalau kamu mau tau jawabannya, lunch with me.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status