All Chapters of KARMA : Chapter 11 - Chapter 20
91 Chapters
Bab 11
"Ma, Rara risih sama pelanggan yang pake jas hitam gagah tinggi itu," ucapku pada Mama. Bagaimana tidak, kalau pemuda itu diam-diam memperhatikan aku yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan pelanggan. Alhamdulillah warung pecel ayam kami selalu ramai pengunjung. Terlebih saat kantor baru itu buka hari ini, pas jam makan siang sangat ramai dan membuatku super sibuk. Seperti siang ini tentunya, yang satu ruangan hampir penuh dengan para karyawannya. "Yang mana?" Mama bertanya sambil celingukan mencari pria itu.  "Mama! Jangan tengak-tengok begitu. Itu yang dipojok," ucapku.  "Oh, ganteng ya, Ra," ucap Mama.  "Mungkin memperhatikan kamu karena pesanannya belum diantar, Ra. Jadi jangan ke-GR-an," ucap Mama. Sumpah menohok banget.  "Ya sudah, ini kamu antar pesanan dia." Aku pun segera mengantarnya. Aduh, baru kali ini ketemu pelanggan perasaan aku dag dig dug tak karuan. "Permisi, pesanannya,"
Read more
Bab 12
POV Tania.    "Bagaimana, Pa? Apa perusahaan, Papa bisa diselamatkan?" tanyaku setelah Mas Adrian merebahkan tubuhnya di sofa. Mas Adrian menarik nafas panjang lalu menghembuskan-nya.    "Tidak bisa, Ma. Papa jual pada sahabat Ronald. Dia sanggup membayarnya. Jadi setidaknya, Papa tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi," jawabnya. Aku mengangguk dan mendengus lega.    "Syukurlah, Pa," ucapku. Terlihat dari wajahnya, suamiku itu sangat kelelahan.   "Ya sudah, Papa masuk ke kamar ayo. Terus langsung mandi," ucapku. Meskipun waktu sudah hampir pukul 11 malam, tetap saja, suamiku bau keringat dan harus tetap mandi.  
Read more
Bab 13
POV LINGGA   "Ini bukan lagi musim perjodohan seperti jaman Siti Nurbaya dan Datuk maringgih kan, Pa?" tanyaku pada Papa yang terus memaksa untuk menikah dengan gadis pilihannya.   "Dia itu pintar! Cantik! Masih muda! Tahu kamu? Dia juga memimpin perusahaan Ayahnya! Gadis seperti itulah yang seimbang dan cocok dengan kamu! Dia bisa mengimbangi kamu! Atau bahkan menjadi sekretarismu nanti! Diberi pasangan yang cocok malah menolak!" kesal Papa. Bagaimana mungkin aku dapat menerima perjodohan ini, kalau aku pun tertarik pada seorang gadis sederhana penjual pecel ayam itu. Selama 28 tahun usiaku, Tidak pernah sedikitpun aku memiliki ketertarikan pada gadis lain. Baru kali ini, dan itu pada seorang gadis penjual pecel ayam.   "Kamu itu laki-laki norma
Read more
Bab 14
POV RARA Sudah dua hari ini pemuda tampan itu tidak menginjakkan kaki di warung pecel ayam ini. Padahal aku sudah berhias semanis mungkin. Khusus agar tidak terlihat kumal di hadapannya. 'Kemana ya pemuda tampan itu?' Entah kenapa, meski baru pertama kali melihat hadirnya, ada sesuatu yang berbeda di dalam hati ini. Aku ingin terus melihat dan melihatnya. "Sayang, kamu bengong saja." Mama datang sambil menepuk pundakku.  "Lo, Mama sejak kapan ada di belakang, Rara?" tanyaku bingung. Sebab, Mama sedang pergi melihat tempat bersama Pak Jono. Kami berencana ingin membuka cabang baru. Meski baru sebentar kami membuka warung pecel ayam ini, tapi karena omset yang mencapai 10 juta per hari bahkan kadang lebih, membuat kami bisa membuka cabang baru dengan cepat. Mungkin karena keenakan sambal buatan Mama yang beda dari sambal lain, serta ayam dan ikan yang begitu meresap, membuat orang jauh bahkan rela menempuh jarak dengan kendaraan mereka. Komenta
Read more
Bab 15
POV LINGGA Bagaimana mungkin aku salah orang. Bukan Dila yang aku maksud. Tapi gadis pecel ayam itu. Rara yang aku inginkan. Memang setelah kusandingkan, ada perbedaan diantara keduanya. Meski perbedaan itu tidak terlalu banyak, tapi tetap ada, dan tetap cantik Si gadis pecel ayam. Bagaimana ini? Bagaimana cara aku membatalkan pernikahan dengan, Dila? Tapi gadis itu sudah terlanjur mencintaiku. Semua juga sudah disiapkan. Haruskah aku menikahinya? Sedangkan bukan dia orang yang aku cinta. Bimbang, itu yang aku rasa saat ini.  Ting …! Aku mengabaikan bunyi notif dari ponselku. Karena disana, tertera nama calon istri. Ya Tuhan … bagaimana aku mengatakan kebenarannya kalau aku salah orang? Dan bukan dia perempuan yang kumaksud. Karena ponsel terus berbunyi, aku pun segera membaca pesan darinya. [Sayang!] [Sayang, katanya sudah kembali dari luar kota? Aku tunggu hadiah yang kamu janjikan] [Love you]
Read more
Bab 16
POV Dila Biasanya Lingga rajin menghubungiku, tapi kenapa kali ini sangat berbeda? Bahkan pesan yang dikirimkan hanya dibaca. Tidak ada balasan meski sudah beberapa jam aku menunggu. Aneh.  Dalam jenuh seperti ini, aku jadi terpikir Rara. Kenapa aku tidak mengirim pesan padanya. Tadi aku sudah menitipkan undangan untuknya. Kira-kira, sudah diterima oleh Rara atau belum ya. [Ra, tadi aku ke rumah kamu. Sudah aku titipkan undangan pernikahan untuk kamu. Aku titip di rumah yang persis banget samping rumah kamu. Apa kamu sudah menerima-nya?] Sebenarnya, ingin rasanya aku menjadikan dia seorang sahabat. Padahal saran untuk menjadi sekretaris-ku pilihan yang tepat. Tapi dia menolak dan memilih keluar dari kantor dengan alasan ingin membuka usaha dengan Ibunya. Setelah lima belas menit menunggu, masih belum ada balasan darinya. Aku pun memilih untuk membaca buku sambil tiduran di kasur.  Ting …!  Segera
Read more
Bab 17
Sebenarnya, aku kesini ingin mencari tahu sebuah kebenaran. Mungkin aku memang tidak berhak tahu, karena tidak ada urusannya dengan aku, toh itu hanyalah masa lalu kalian. Tapi jujur, aku ingin mengetahuinya. Tolong, Bu Lirna kasih tahu, Dila, Bu," pintaku penuh permohonan. Bu Lirna nampak terdiam, mungkin dia ragu untuk menceritakan.  "Bu, Dila mohon. Sejarah apa yang terjadi antara Mama dan Ibu? Tolong, Bu. Aku ingin tahu kebenarannya. Aku sudah bertanya pada Mama dan Papa, tapi mereka hanya diam saja. Apa Ibu tega membuatku penasaran dan akan terus berusaha mencari tahu sebuah kebenaran? Apa aku perlu pergi ke kota tempat Mama dan Tante berasal dan mencari tahu pada tetangga?" Aku bertanya namun sedikit penekanan. "Kalau seperti itu, akan aku lakukan demi mendapat sebuah kebenaran," lanjutku.  "Kalau, Ibu ceritakan kebenarannya, bukan berarti Ibu menjelekkan Mama-mu, Dila. Ini adalah aib yang memang harus ditutupi. Sebenarn
Read more
Bab 18
POV Rara "Dila, ada orang tua kamu di bawah," ucap Mama. Ternyata Pak Adrian sangat mengkhawatirkan Dila. Andai saja dia juga mengkhawatirkanku, mungkin hatiku akan melemah dan mau menerimanya. Ini sama sekali tidak. Justru ia pun tidak mau menjadi wali nikahku. Ah, tapi tidak masalah untukku. Toh, aku sudah menganggap kalau Ayahku itu sudah meninggal. "Dila, temui orang tuamu. Jangan sampai mereka berpikir, kami menghasutmu," ucap Mama lagi. Mungkin karena merasa tidak enak, Dila pun mau turun dan menemui orang tuanya. Sedangkan aku dan Mama mengikuti dari belakang karena harus mengunci pintu lagi se-perginya mereka. "Ada Pak Jono juga, Ra," lirih Mama. Mungkin Pak Jono yang menunjukkan tempat ini pada mereka.  Sampai di bawah, Mama langsung membuka kunci pintu, Dila pun gegas keluar.  "Sayang," ucap Tante Tania menghampiri Dila. Namun, Dila meng-elak dari sentuhan Mamanya.  "Kamu kenapa?" tanya Tant
Read more
Bab 19
"Bukan gadis itu yang aku suka. Tapi kamu yang aku suka. Aku mencintai kamu, Rara. Bukan Dila. Aku menginginkan kamu. Tidak masalah aku mengatakan sekarang, karena mungkin esok aku tidak dapat lagi mengatakannya." Aku diam termangu, entah apa yang harus aku katakan. Bahkan aku sendiri tidak dapat mengelak kalau aku juga mencintainya. Kenapa aku jadi merasa sedih begini sih!  "Sebenarnya, malam itu, saat orang tuaku menawarkan perjodohan dengan anak rekan bisnisnya, aku tidak setuju karena sudah tertarik padamu, Ra. Namun, saat Papa menunjukkan foto gadis itu, dan aku berpikir itu kamu. Itulah kenapa aku mau menerima perjodohan itu. Ya karena aku mengira itu kamu, Ra." Lingga terlihat menarik nafas panjang. Lalu, kembali melanjutkan ucapannya. "Saat ini aku gundah. Aku ingin membatalkan pernikahan ini, tapi Dila sudah begitu besar mencintai dan menaruh harap padaku. Bukan hanya itu, semua juga telah dipersiapkan. Undangan sudah disebar. Tidak mu
Read more
Bab 20
  "Kamu serius mau menyaksikan ijab qobul mereka, Ra? Kalau tidak kuat, kita datang saat resepsi saja," ujar Mama. Kebetulan pagi ini kami sudah rapi dengan pakaian serba putih. Mama memakai Gamis putih bercorak bunga berwarna pink, sementara aku memakai kebaya putih bermodel, dengan bawahan celana Levis warna hitam.    "Insya Allah, Rara kuat, Ma. Kenapa tidak kuat? Toh Lingga bukan siapa-siapa, Rara. Lagipula, kami baru pertama kali berkenalan," sanggahku.    "Sudah, kalau begitu," ucap Mama. Kami pun mencari taksi agar bisa sampai ke pesta pernikahan adik tiriku itu.    *****   "Pak, kita ke gedung merpati 3," ucapku kala kami sudah mend
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status