Lahat ng Kabanata ng Talak Tiga: Kabanata 21 - Kabanata 30
47 Kabanata
21. Harapan
 Sesampainya di rumah Budhe Narti..."Maaf budhe, Amira, aku nitip Reni dulu, tinggal sementara disini, boleh kan?""Ya, tentu saja boleh, nak..." sahut budhe Narti."Sini, Reni tidur sama tante ya..." ajak Amira."Iya tante, Reni kangeeen banget sama tante," sahut Reni, dia memeluk tantenya."Tante juga kangen sama Reni."Aku tersenyum, sepertinya Reni akan lebih aman disini. Aku tidak perlu khawatir kalau Reni bersama Amira, sedari kecil yang menemani Reni adalah Amira, bukan yang lainnya. Amira mengajak Reni ke kamar dan menidurkannya.Beruntung, Bian masih ada disana, jadi aku masih bisa bertanya padanya."Maaf Bian, kamu tahu apa ini?" tanyaku sambil menyerahkan benda yang tadi kubawa.Mereka saling berpandangan melihat sesuatu yang kubawa."Itu aku temukan dalam lemari Lani," sahutku lagi. Aku menghela nafas dalam-dalam. "Bukankah ini ilmu pelet, iya kan budhe?" jawab Bian agak ragu
Magbasa pa
22. Dendam
 POV LaniAku tak pernah menyangka malam itu aku diusir dari rumah oleh suamiku sendiri. Dia memergoki kami yang sedang memadu kasih. Aku tak pernah mengira dia akan pulang secepat ini, jadi aku tak punya persiapan apapun untuk menghindarinya. Nasi sudah menjadi bubur, Mas Restu mengusir dan menceraikanku sekaligus.Aaarghhh, kenapa aku jadi sebodoh ini! Bahkan dia tak punya perasaan saat mengusirku, dia juga sudah menghajar adiknya sendiri hingga babak belur. Benar-benar tak punya belas kasih!Malam ini aku harus kemana? Cuaca yang begitu dingin menusuk kulit, membuat bulu kudukku meremang. Sekarang aku menyedihkan, bukan? Tak punya apa-apa yang bisa buat sandaran.Aku melangkah gontai, kutelusuri tiap sisi jalan. Semua pintu menutup dengan sempurna. Tak ada tanda-tanda orang diluar, semua bersembunyi dibalik pintu.Kuhampiri rumah Nita, dia satu-satunya teman yang mungki
Magbasa pa
23. Diterima
  POV Bian "Bian! Bian! Bangunn...!" teriak seorang wanita sambil mengguncang tubuhku. Aku terlonjak kaget. Budhe sudah berada disampingku dengan muka cemas. "Ada apa budhe?" tanyaku sambil memicingkan mata. "Tuh, Amira mau melahirkan, buruan bangun, antar dia ke rumah sakit," tukas budhe lagi.  Aku melirik ke arah Amira. Dia sedang meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. "Ayo ke rumah sakit," ajakku. Untung saja mobil kuparkir di rumah budhe. "Perlengkapan bayinya udah disiapkan?" tanyaku lagi.  Amira hanya mengangguk.  "Taruh dimana?" tanyaku lagi.  "Ada di kamar mas, tas ransel warna hitam," jawabnya lirih. "Ya sudah, ayo ke mobil dulu. Budhe dan Reni sekalian ikut?" tanyaku. "Budhe sama Reni nyusul aja, budhe mau nutup warung dulu, nanti langsung kesana kalau beres" sahut budhe. Akupun mengangguk. Budhe pergi mengambilkan tas Amira. Sedangkan aku menuntun Amira
Magbasa pa
24. Disangka Penculik
POV Bian"Eh, kamu jangan sok-sokan deh! Jangan campuri urusanku. Reni itu anakku, aku ibunya! Aku berhak membawanya pergi bersamaku!" seru Lani emosi. Perangainya tidak berubah sama sekali, dia masih suka marah-marah tiap bertemu denganku ataupun Amira."Ini jadi tanggung jawabku, karena ayahnya menitipkannya padaku!""Tidaaak!" tukasnya dengan cepat sembari terus merangkul anaknya dengan erat. "Tolooong... Tolooong...! Ada penculik!" teriaknya tiba-tiba, membuat orang yang berlalu lalang mendekat menghampiri kami. Duh, posisiku serba salah kalau begini sekarang, kalau terus memaksa Reni pulang bersamaku, aku dikira penculik beneran. Dasar wanita licik!"Mana bu penculiknya?" tanya salah seorang warga."Dia, pak! Dia berusaha menculik anakku!" tunjuknya mengarah padaku. Lani menangis, mungkin hanya pura-pura. "Bukan pak, saya bukan penculik!" sanggahku. Orang-orang menatap geram ke arahku. "Mana ada orang jahat yang mau n
Magbasa pa
25. Rencana Baru
POV Lani Bruukk... Tanpa sengaja aku menabrak seseorang saat  masuk ke minimarket, mungkin jalanku yang terburu-buru dan menunduk hingga tak melihat ke depan. "Maaf, aku tidak sengaja," ucapku. Aku mendongak, sungguh kaget dibuatnya. "Kau...!" pekik kami secara bersamaan. Aku kemudian berlalu begitu saja dengan wajah sinis. Hah, aku paling malas bertemu dengan orang itu. Ya, dia, Bian, dia sudah kuanggap sebagai musuh bebuyutanku karena dialah penyebab aku dan Mas Restu bercerai. Ah, aku harus kerja apa? Persediaan uangku sudah sangat menipis. Aku duduk di emperan minimarket sembari memijat pelipisku sendiri. Rasanya begitu penat. Dicerai suami tanpa ada harta yang dibawa, menyebalkan. Apakah dulu ini yang dirasakan oleh Amira? Dan sekarang berbalik padaku? Tapi Amira sangat beruntung ada seseorang yang membantunya. Meskipun dia seorang pengangguran, tapi kenapa uangnya banyak terus ya? Aku berjalan tak tentu arah, Aku har
Magbasa pa
26. Ada apa denganku?
  "Jadi kita rujuk, mas?" tanyaku dengan mata berbinar. "Akan kupikirkan lagi," jawabnya dengan singkat. "Tapi, kenapa mas?" "Aku belum yakin dengan sikapmu yang mendadak berubah begitu." "Tapi mas, tadi aku sudah membuktikannya. Aku rela bunuh diri demi kamu, tapi kamu sendiri yang mencegahku," sanggahku lagi. "Aku masih kurang  yakin. Siapa tau kamu hanya mempermainkanku lagi." "Tidak, mas. Aku sungguh-sungguh. Kenapa kau tidak percaya padaku? Aku harus bagaimana agar kau percaya?" "Buktikanlah!" sergahnya dengan nada ketus. "Bagaimana caranya?" "Lakukan apa yang kuminta." "Ya, baiklah. Apa itu? "Kamu yakin?" tanya Mas Restu seolah tak yakin dengan ucapanku.  Duh sepertinya aku sudah terjebak oleh Mas Restu. Bagaimana ini? Jalani sajalah, siapa tahu Mas Restu benar-benar mau menerimaku kembali. "Iya mas, aku yakin. Aku akan lakukan apapun yang kau suruh, t
Magbasa pa
27. Akhirnya
POV Restu Mendengar kabar Reni dibawa oleh Lani, hatiku menjadi tak tenang. Apalagi Lani sudah menjebak Bian, mengatakan kalau dia seorang penculik, membuatnya jadi babak belur dipukuli warga. Apa yang akan dilakukan oleh Lani? Oke, aku ikuti permainanmu. Aku menuju kontrakan Lani, ketika dia menghubungiku lewat telepon. Dia mangancamku, dan akan kuladeni ancamannya. Sampai di kontrakan, Lani langsung memelukku dan meminta maaf. Dia berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Dia ingin berubah, lagi-lagi dia memohon dengan tatapan memelas. Tapi aku masih belum yakin akan permintaan maafnya. Aku rasa dia hanya pura-pura saja. Lagi pula, aku tak bisa begitu saja memaafkannya.  Kesalahannya terlalu fatal. Dia mengkhianatiku, dan berlaku syirik, menggunakan ilmu pemikat untuk menarik perhatian Andri. Dia pula yang sudah menjebak Bian dan Amira. Aku tidak bisa begitu saja memaafkan. Hatiku terlalu sakit. Hingga Lani bilang, dia akan
Magbasa pa
28. Patah hati
POV AndriHari-hariku disini semakin membaik. Dengan telaten Pak Ustadz mengobatiku dengan dzikir dan doa-doa. Akupun mulai rajin sholat dan mengaji kembali. Ada kedamaian menyeruak dari dalam hati.Kurasakan perubahan besar pada diriku. Kepalaku sudah tak terasa penat. Tengkukku juga tidak terasa berat seperti sebelum-sebelumnya. Siang itu, aku masih mengobrol dengan Pak Ustadz. Ia menanyakan tentang keadaanku. "Bagaimana keadaanmu, Ndri?" tanya seseorang. Aku menoleh dan langsung memeluknya ketika tahu yang datang adalah kakakku, Mas Restu."Alhamdulillah, aku baik-baik saja mas, rasa berat di tengkukku lama-lama hilang. Sepertinya aku sudah sembuh seperti sedia kala mas," jawabku.Mas Restu mengangguk."Terima kasih mas, atas bantuanmu. Terima kasih atas semuanya, mas. Dan tolong maafkan aku mas, kalau aku menyakiti hatimu. Aku memang adik yang tidak tahu diri. Tolong maafkan aku ya, mas."Kulihat netranya nampak
Magbasa pa
29. Hari Yang Mendebarkan
PoV AmiraAku merasa sedikit lega, setelah Mbak Lani mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Biarpun Mas Bian ingin Mbak Lani dijebloskan ke penjara namun aku menolaknya. Biarlah dia tahu, aku bukan seorang pendendam. Itupun agar dia sadar tidak ada lagi rasa iri dan dengki di hatinya. Harusnya berpisah dengan Mas Restu membuat dia sadar, kalau kita tidak boleh berbuat jahat. Semoga saja Mbak Lani benar-benar berubah dan mau bertaubat.Hari pernikahan sudah semakin dekat, entah kenapa jantungku berdebar tak karuan. Luka lebam di wajah dan tubuh Mas Bian pun sudah mulai pulih. Budhe Narti yang paling antusias ketika acara pernikahan sudah di depan mata. Dia memberikanku wejangan dan nasehat serta apa-apa saja yang disuka maupun tidak disukai oleh Mas Bian. Tapi sebagian besar yang kutangkap dari obrolan Budhe Narti, Mas Bian orangnya nrimo. Budhe Narti sudah seperti ibunya sendiri, beliau yang mengasuhnya karena sedari kecil mas Bian sudah ditingg
Magbasa pa
30. Pindah Rumah
Mas Bian sedang membereskan barang-barang kami. Sejak tadi ia sangat sibuk. Aku hanya tersenyum sambil menggendong Affan. Ingin kubantu agar cepat selesai tapi dia menolak."Budhe, kami pamit ya," ujar Mas Bian menyalami tangan budhe, begitu pula denganku."Sering-seringlah datang kesini," ujar budhe  dengan netra berkaca-kaca."Iya budhe, pasti kami sering datang kesini. Lha wong cuma pindah ke rumah doang, gak keluar kota.""Iya, tapi disini bakal sepi. Budhe pasti kangen sama dedek Affan." Budhe Narti nampak menyeka bulir bening disudut matanya.Kami saling berpelukan, budhe pun kembali menciumi dedek Affan. Aku merasa terenyuh dan juga terharu. ***Rumah Mas Bian cukup besar, ini satu-satunya rumah peninggalan orang tuanya. Mas Bian adalah anak tunggal, tidak punya adik maupun kakak."Ini kamar kita, belum diberesin jadi masih berantakan," ucap Mas Bian.Aku hanya tersenyum lalu membaringkan Affan diatas k
Magbasa pa
PREV
12345
DMCA.com Protection Status