"Jadi kita rujuk, mas?" tanyaku dengan mata berbinar.
"Akan kupikirkan lagi," jawabnya dengan singkat.
"Tapi, kenapa mas?"
"Aku belum yakin dengan sikapmu yang mendadak berubah begitu."
"Tapi mas, tadi aku sudah membuktikannya. Aku rela bunuh diri demi kamu, tapi kamu sendiri yang mencegahku," sanggahku lagi.
"Aku masih kurang yakin. Siapa tau kamu hanya mempermainkanku lagi."
"Tidak, mas. Aku sungguh-sungguh. Kenapa kau tidak percaya padaku? Aku harus bagaimana agar kau percaya?"
"Buktikanlah!" sergahnya dengan nada ketus.
"Bagaimana caranya?"
"Lakukan apa yang kuminta."
"Ya, baiklah. Apa itu?
"Kamu yakin?" tanya Mas Restu seolah tak yakin dengan ucapanku.
Duh sepertinya aku sudah terjebak oleh Mas Restu. Bagaimana ini? Jalani sajalah, siapa tahu Mas Restu benar-benar mau menerimaku kembali.
"Iya mas, aku yakin. Aku akan lakukan apapun yang kau suruh, t
POV Restu Mendengar kabar Reni dibawa oleh Lani, hatiku menjadi tak tenang. Apalagi Lani sudah menjebak Bian, mengatakan kalau dia seorang penculik, membuatnya jadi babak belur dipukuli warga. Apa yang akan dilakukan oleh Lani? Oke, aku ikuti permainanmu. Aku menuju kontrakan Lani, ketika dia menghubungiku lewat telepon. Dia mangancamku, dan akan kuladeni ancamannya. Sampai di kontrakan, Lani langsung memelukku dan meminta maaf. Dia berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Dia ingin berubah, lagi-lagi dia memohon dengan tatapan memelas. Tapi aku masih belum yakin akan permintaan maafnya. Aku rasa dia hanya pura-pura saja. Lagi pula, aku tak bisa begitu saja memaafkannya. Kesalahannya terlalu fatal. Dia mengkhianatiku, dan berlaku syirik, menggunakan ilmu pemikat untuk menarik perhatian Andri. Dia pula yang sudah menjebak Bian dan Amira. Aku tidak bisa begitu saja memaafkan. Hatiku terlalu sakit. Hingga Lani bilang, dia akan
POV AndriHari-hariku disini semakin membaik. Dengan telaten Pak Ustadz mengobatiku dengan dzikir dan doa-doa. Akupun mulai rajin sholat dan mengaji kembali. Ada kedamaian menyeruak dari dalam hati.Kurasakan perubahan besar pada diriku. Kepalaku sudah tak terasa penat. Tengkukku juga tidak terasa berat seperti sebelum-sebelumnya.Siang itu, aku masih mengobrol dengan Pak Ustadz. Ia menanyakan tentang keadaanku."Bagaimana keadaanmu, Ndri?" tanya seseorang. Aku menoleh dan langsung memeluknya ketika tahu yang datang adalah kakakku, Mas Restu."Alhamdulillah, aku baik-baik saja mas, rasa berat di tengkukku lama-lama hilang. Sepertinya aku sudah sembuh seperti sedia kala mas," jawabku.Mas Restu mengangguk."Terima kasih mas, atas bantuanmu. Terima kasih atas semuanya, mas. Dan tolong maafkan aku mas, kalau aku menyakiti hatimu. Aku memang adik yang tidak tahu diri. Tolong maafkan aku ya, mas."Kulihat netranya nampak
PoV AmiraAku merasa sedikit lega, setelah Mbak Lani mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Biarpun Mas Bian ingin Mbak Lani dijebloskan ke penjara namun aku menolaknya. Biarlah dia tahu, aku bukan seorang pendendam. Itupun agar dia sadar tidak ada lagi rasa iri dan dengki di hatinya. Harusnya berpisah dengan Mas Restu membuat dia sadar, kalau kita tidak boleh berbuat jahat. Semoga saja Mbak Lani benar-benar berubah dan mau bertaubat.Hari pernikahan sudah semakin dekat, entah kenapa jantungku berdebar tak karuan. Luka lebam di wajah dan tubuh Mas Bian pun sudah mulai pulih. Budhe Narti yang paling antusias ketika acara pernikahan sudah di depan mata. Dia memberikanku wejangan dan nasehat serta apa-apa saja yang disuka maupun tidak disukai oleh Mas Bian. Tapi sebagian besar yang kutangkap dari obrolan Budhe Narti, Mas Bian orangnya nrimo.Budhe Narti sudah seperti ibunya sendiri, beliau yang mengasuhnya karena sedari kecil mas Bian sudah ditingg
Mas Bian sedang membereskan barang-barang kami. Sejak tadi ia sangat sibuk. Aku hanya tersenyum sambil menggendong Affan. Ingin kubantu agar cepat selesai tapi dia menolak."Budhe, kami pamit ya," ujar Mas Bian menyalami tangan budhe, begitu pula denganku."Sering-seringlah datang kesini," ujar budhe dengan netra berkaca-kaca."Iya budhe, pasti kami sering datang kesini. Lha wong cuma pindah ke rumah doang, gak keluar kota.""Iya, tapi disini bakal sepi. Budhe pasti kangen sama dedek Affan." Budhe Narti nampak menyeka bulir bening disudut matanya.Kami saling berpelukan, budhe pun kembali menciumi dedek Affan. Aku merasa terenyuh dan juga terharu.***Rumah Mas Bian cukup besar, ini satu-satunya rumah peninggalan orang tuanya. Mas Bian adalah anak tunggal, tidak punya adik maupun kakak."Ini kamar kita, belum diberesin jadi masih berantakan," ucap Mas Bian.Aku hanya tersenyum lalu membaringkan Affan diatas k
"Lani? Ada apa kamu kesini?" tanya Mas Bian dengan tatapan tidak suka.Mbak Lani terdiam, tiba-tiba saja dia menangis dan menghiba.Ada apa sih?"Ayo silahkan masuk dulu mbak," ajakku sambil mempersilahkannya duduk."Ada apa, Mbak?" tanyaku lagi."Amira, Bian, maaf aku mau minta tolong sama kalian," ujarnya pelan-pelan."Minta tolong apa?""Boleh tidak kalau aku pinjam uang? Aku tidak punya uang sama sekali buat bayar kontrakan dan untuk makan," jawabnya dengan nada bergetar.Aku dan Mas Bian saling berpandangan."Lani, kamu kan masih muda, kenapa tidak cari kerja? Yang halal kan banyak," ketus Mas Bian.Aku menggenggam tangan Mas Bian agar dia tidak berbicara ketus lagi."Tidak ada yang mau menerimaku bekerja, kulitku pada ngelupas seperti ini, mereka jijik melihatku," sahut Mbak Lani. Dia menunjukkan tangannya. Sedangkan diwajahnya juga masih memerah seperti tempo hari."Itu gatal-gatal atau
Hari-hari berlalu dengan baik. Affan pun tumbuh jadi anak yang aktif dan lucu. Dia sudah bisa tengkurap dan mengoceh lebih lantang. Usianya sekarang sudah menginjak lima bulan lebih. Pipinya yang gembul, membuatku tak berhenti menciuminya. Begitu pula dengan Mas Bian, dia semakin gemas dengan tingkah lucu Affan.Sikap Mas Bian terhadapku pun semakin hari bertambah manis, dia suka memberikan kejutan-kejutan yang tidak terduga. Seperti hari ini dia memberikan buket mawar warna merah kepadaku. Aku menghisap aroma wanginya. Setelah puas memandanginya, kutaruh di pojok kamar dekat meja rias. Disana pun sudah bertengger beberapa buket bunga pemberiannya di hari-hari sebelumnya."Mas, kenapa kamu sering membelikanku buket bunga seperti ini? Gak sayang uangnya?" tanyaku sembari terus memegang bunga itu dengan senyuman yang lebar.Tiba-tiba saja, Mas Bian mendekatiku dan memelukku dari belakang."Sebagai suami, aku harus membahagiakanmu, bukan? Aku bahagia l
"Oh iya, selain mau bertemu Affan, aku juga ingin memberi kabar yang lain," ucap Mas Andri. "Apa itu, Ndri?" tanya Mas Bian. "Bulan depan, insyaallah aku akan menikah," tuturnya. "Waaah, selamat ya, sama siapa?" tanya Mas Bian kembali "Sama putrinya Pak Ustadz yang menyembuhkanku." "Alhamdulillah..." "Kalian harus datang ya," ujarnya lagi. "Iya, kami pasti akan datang." Alhamdulillah, syukurlah kalau Mas Andri sudah menemukan tambatan hatinya lagi. Semoga kau bahagia dengannya mas. Meskipun aku belum pernah melihat calon istrimu, tapi aku yakin pasti dia orang yang sangat baik. "Ya sudah, kalau begitu aku izin pamit pulang," sahut Mas Andri lagi. "Maaf ya sayang, ayah gak bisa lama-lama disini, ayah harus pulang. Kamu baik-baik ya disini sama ibu dan juga ayah Bian," tuturnya lagi sembari kembali menciumi dedek Affan. Dia bangkit dan menyerahkan Affan kembali padaku. "Jaga ba
POV LaniAku tak tahu penyebab sebenarnya penyakit ini, kulit tubuh dan wajahku kemerah-merahan, bukannya sembuh tapi justru lebih parah. Ada yang melepuh di bagian kaki.Saat itu, setelah mendapatkan bantuan uang dari Bian, aku segera memeriksakan diri ke dokter kulit dan sudah rutin mengonsumsi obat, namun tak ada perubahan yang berarti, justru rasanya semakin bertambah parah. Dan tiba-tiba gatal-gatal di sekujur tubuh membuatku tak berhenti menggaruk, hingga kulit kemerahanku terlihat lecet dan berdarah.Entahlah penyakit apa yang aku derita ini. Aku selalu menutupi tubuhku dengan baju-baju yang panjang agar mereka yang melihatnya tidak merasa jijik. Terkadang aku juga memakai masker untuk menutupi sebagian wajahku.Biaya hidup aku dapat dari berjualan pakaian, sebagai reseller, aku berjualan baju-baju keliling. Sekali lagi modal itu didapatkan dari Bian, sisa dari membayar kontrakan dan berobat k