All Chapters of CINCIN TAK BERTUAN: Chapter 11 - Chapter 20
61 Chapters
Kenapa Aku Selalu Yang Tertuduh?
Bab 11 Mak pernah berpesan semasa hidupnya: jangan suka membuang sisa makanan bila masih bagus. Diolah kembali agar tidak terbuang. Pesan itu selalu diingat karena membuang makanan adalah perbuatan tercela. Suatu saat kita pasti merasakan kekurangan ekonomi. Meski tanpa disadari nantinya. Nasi goreng sudah terhidang di meja makan lengkap dengan teh manis. Sudah menjadi kebiasaan Ayah kalau pagi hari mesti ada minuman berwarna agak kemerahan masuk ke tubuhnya. Beda dengan aku, paling tidak bisa. Kepala pusing dan perut tidak karuan. *** Siang ini Dina mengajakku ke Tugu Juang 45, tepatnya di Lobusona. Gadis itu mengetahui tempat itu karena viral dari Facebook. Aku sendiri jarang ke sana, mungkin karena daerah sendiri. Padahal sangat bagus untuk bersantai ria sambil menikmati pemandangan bukit barisan dan jurang yang indah karena terlihat aliran sungai. Keingin
Read more
Sialan!
Bab 12 "Zeyn, kamu kenapa?" Tiba-tiba Dina menghampiri sembari memegang pundakku.   "Ish, kaget aku. Aku kenapa? Kenapa gimana, Din? Aneh, ah," elakku.   "Jujur saja, Zeyn. Apa kamu juga menyukai Nunu? Maaf," ucapnya, dengan dugaan salah.   Setiap ucapan telah membuat pikiran kembali lagi. Dina terlalu memperhatikan gelagatku. Entah apa maksudnya, bingung. Mencoba membenahi diri, agar tidak menyalahkan. Bukan hanya sekedar ingin ketenangan, tetapi juga bahagia ada bersamaku.   "Aku gak apa-apa, kok, Din. Percayalah." Lagi-lagi aku berbohong untuk menenangkan Dina.   Sepertinya Dina merasakan kegundahan hatiku. Terlihat dari gelagat dan mimik wajah yang tak bisa dibohongi. Itulah seorang Zeyndra. Gadis aneh pemilik Vespa tua berhati mulia, baik, ramah, juga perhatian. Ah, pujian itu terlalu berlebihan.   Hujan turun membasahi bumi. Rintiknya membuat cu
Read more
Tugu Juang 45 Sebagai Saksi
Bab 13 Teringat dengan seseorang yang masih saja kucari raganya. Hati dirundung duka seperti orang yang tak tahu arah. Semua lahirkan luka dan air mata. Meratap bukan solusi, tapi setidaknya hanya itu yang mampu mengerti diri ini. Meski menyesali tiada arti, kumenyendiri. Saat bersamanya dahulu, aku ditinggalkan, dilupakan, dan diputuskan. Saat aroma itu menyeruak diindra pembau, ramainya orang akan mengenang masa lalu dengan berjuta kerinduan yang memabukkan. Sialan! Ini tidak berlaku bagiku setelah satu tahun kemarin diputuskan juga ditinggalkan. “Satu tahun apakah tidak bisa untuk melupakan seseorang?” tanya diri sendiri. Pernah kupinta untuk membunuh rasa yang ada. Kala hati tak bisa lagi diperbaiki. Menangis adalah solusinya. Sayangnya, ia tetap tak peduli. Kalimat terakhir seharusnya sudah bisa diturutkan. Keributan selalu menambah beban pikiran. Terkadang bingu
Read more
Rangkaian Indahku
Bab 141022 Tak pernah ingin melepas. Tak pernah merasa ikhlas. Dia sendiri yang membuat hubungan ini tidak jelas. Selepas ijin pamit, lalu pergi meninggalkan. Aku pernah mengutuk langit. Bagaimana tidak? Meskipun langit yang dipandangi tetap sama. Kini kita tak lagi memandang langit bersama. Kau bersamanya, dan aku sendiri selamanya. Apakah ini takdir? Apakah ini titik nadir? Jika ini kisah berujung getir. Tak perlu khawatir. Sudah cukup bagiku, dia pernah hadir. Dalam setiap desir, dari setiap tetes bulir yang mengalir membanjir, dia adalah orang yang pernah aku pikir menjadi orang terakhir. Menjadi tempat di mana cinta ini lahir. Cinta tiada terganti. Kebahagiaan bersama terus menghantui dalam resah. Seakan mengajak berkelana jauh dari luka dan air mata. Terpaut dalam ikatan cinta yang nyata. Tatkala ada sebuah ungkapan dalam rasa. Resah sesekali menghampiri tanpa dinanti. Jiwa bergejolak b
Read more
Wow!
Bab 15 Sebuah gambar mampu membuat terperangah. Mata ini membulat sempurna bak bulan purnama. Satu poto wanita yang hampir dikenal, tapi siapa beliau? Pak Maman membuka pintu untuk menunjukkan setiap sudut ruangan. Memang benar-benar tempat tinggal yang layak. Luar dan dalam tak mengecewakan. Sekitar dua puluh menit, setelah puas dengan melihat seluruh ruangan, aku berpamitan pulang pada penjaga kebun. Lalu menuju Vespa kesayangan. Sepintas lalu, melihat sosok wanita tua yang pernah ditemui. Ya, dia adalah seorang nenek selalu hadir dalam mimpi dan pernah kutolong. Sayangnya, sedang di jalanan, ada rambu-rambu lalulintas larangan untuk berhenti. Vespa mendadak di rem. Hampir saja menabrak sepeda motor karena masih fokus pada sosok barusan. Matahari beranjak pergi meninggalkan siang. Langit mulai gelap, burung-burung berterbangan mencari tempat persembunyian, jangkrik juga tak mau
Read more
Kenapa Harus Terjadi?
Bab 16   Hari hampir sore, kafe juga semakin ramai dikunjungi. Sudah saatnya beranjak untuk pulang. Mungkin Ayah akan gelisah bila anak gadisnya belum juga pulang yang perginya dengan seorang pria. Meski beliau juga mengenalnya. Sebab aku adalah marwahnya. Jika tubuhku masih terjaga, maka kehormatan tetap dimiliki keluarga. Begitulah sulitnya menjaga kesucian seorang gadis. Alhamdulillah, aku masih ada di posisi itu.   Sebuah pesan singkat W******p masuk ketika masih dalam perjalanan menuju pulang.   [Hai, Zeyn.] [Apa kabar?] [Kamu di mana.]   Pesan itu datang dari Nunu. Segan dengan Arul karena tak mau di-cap jelek olehnya. Tak kubalas chat itu. Nanti saja setelah sampai di rumah. Lagian Arul melirik ke arahku dari kaca kecil di depannya.   "Dari siapa, Zeyn?"   "Owh, temen, kok," balasku, pura-pura santai.   "Gak dibales
Read more
Permasalahan Tak Kunjung Usai
Bab 17 "Zeyn, ayolah, pulang bersamaku. Tak kan kubiarkan pulang sendiri. Apa nanti penilaian Oom padaku?" Nunu mengangkat bicara. Aku mengangguk tanda setuju. Bagaimana pun, tak ingin bila Ayah berpikiran negatif nantinya. Arul kembali meraih lenganku. Tak sampai di situ, dia melanjutkan ketidaksukaannya pada Nunu, dengan ucapan halus, tetapi pedas. Gadis cantik yang berprofesi sebagai dokter tiba-tiba hadir di hadapan kami bertiga. Saling bertatapan, terutama aku dan Nunu. Kecuali Arul karena tidak kenal. Pikiran semakin kacau. "Nunu? Zeyn? Kalian, kok? Ada apa ini?" ucap gadis itu dengan keheranan. * Naya telah depan mata. Aku terkejut, terlebih pada Nunu. Pria itu berkunjung ke Rantau Prapat hanya untuk menemuiku, bukan demi calon tunangannya. "Kapan kamu datang, Nu? Kok, gak bilang?" tanya Naya, sembari mengerutkan keningnya karena h
Read more
Perhatian Arul Padaku
Bab 18 Pesan itu kuabaikan, tak ingin menjawabnya. Sebab masih bertugas. Untuk apa dia kemari? Bukankah seharusnya dia bilang, bila ada perlu? Aneh sekali. Mau apa dia menemuiku? Selama bekerja, pikiran sedikit tidak tenang. Masih bertanya-tanya tentang kedatangan pria itu. Sebesar itukah cintanya pada seorang Zeyndra? Bagaimana dengan sahabatku? Sejak kejadian itu, Naya tidak pernah lagi menghubungi. Biasanya setiap hari mengirimkan pesan, meski hanya menanyakan kabar. Apakah ini salahku? Berlahan matahari mulai beranjak dari siang. Hari sudah petang, senja pun datang bersama hadirnya burung-burung yang terbang dan melayang. Nyaman menikmati senja dari gedung lantai dua. Semilir angin menjadikan suasana dingin. "Zeyn, kamu sedang apa?" tanya seseorang, mengejutkan dan membuyarkan lamunanku. "Ihhhh ... ganggu aja, deh." Ternyata Arul datang dengan kaos oblong
Read more
Kepergian Ayah Untuk Selamanya
Bab 19 "Zeyn, pulanglah sekarang. Ada sesuatu di rumah kamu," ucapnya, dengan pelan dan tenang. "Ada apa, ya, Pak?" tanyaku, sedikit ragu. "Ya, pulanglah, Nak. Silakan permisi," pintanya. Wajar saja tak percaya dengan kalimat itu. Kalau pun ini tentang Ayah, emang ada apa? Toh, ayah tadi sehat-sehat saja. Pergi ke kebun juga sarapan. Tak ada yang perlu dicurigai. Namun, aku menuruti ajakan itu. "Zeyn, buruan. Ini penting!" tegasnya. Kata "penting" membuat aku luluh. Kuterima ajakan itu dan permisi pada resepsionis lain agar diberi izin. Hati mulai berdebar tak tenang. Vespa tua secepatnya kukeluarkan dari parkiran. Ingin rasanya punya sayap untuk terbang agar sampai dan memastikan apa yang terjadi. Terasa berat perjalanan pulang, tapi bagaimana pun harus sampai. Rumah sangat ramai. Terpampang bendera hijau tak jauh da
Read more
Kenapa Lagi Ini?
Bab 20 Jelas sekali isi surat itu tertulis. Sekarang aku tahu, kenapa cuma Ayah yang tidak bergelimang harta. Dibandingkan dengan keluarganya yang lain. Begitu besar cinta Ayah pada, Mak. Aku bisa menilai itu dari tetap bertahannya menjadi orang tua tunggal untukku. Tak pernah sekali pun berniat menikah lagi. Hanya Mak cintanya, dunia akhirat. Tak perlu kaya, yang penting bahagia, nyaman, serta tercurahkan kasih sayang. Kisah itu masih saja disimpan rapi oleh Ayah. Luar biasa pandainya, cerita itu kuketahui kala usiaku dua puluh empat tahun. Mata kembali tertuju pada sebuah cincin dengan usia sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Bersejarah sekali. *** Terdengar suara pintu diketuk serta mengucapkan salam. Sepertinya tidak asing lagi, pintu dibuka untuk memasukkan. Benar dugaanku. Siapa lagi kalau bukan Arul. Dia mengajakku sarapan, sekaligus mengantarkan ke wisma penginapan. S
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status