Lahat ng Kabanata ng Petualangan Hidup: Kabanata 21 - Kabanata 30
30 Kabanata
Bab 21
 Saya merasa sangat lega ketika meninggalkan kantor Herman. Seolah beban berat di pundak saya hilang seketika setelah mengatakan apa yang ingin saya katakan. Herman adalah perwira yang baik, tetapi dia selalu meremehkan kemampuan saya. Saya tidak membencinya juga tidak menyukainya.  Setelah saya keluar. Kemudian, Jimmi juga pergi menemui Herman.  "Kelihatannya kamu mendapatkan sesuatu yang bagus, Jim," kata Herman. “Apakah kamu tidak apa-apa? Kau tidak terlihat terlalu baik.”  "Sepertinya saya hanya kelelahan," jawab Jimmi. “Kami telah mengerjakan kasus ini sepanjang hari dan sepanjang malam. Kami membutuhkan lebih banyak bukti, dan kami menemukan darah di jaket Ahmad. Jika itu cocok dengan golongan darah Della, kami akan mendapatkannya!”  Saat dia berbicara, Jimmi merasakan sakit yang kuat di dadanya. Dia duduk, wajahnya terlihat pucat, keringat dingin membasahi dahinya dan tangannya memegangi dadanya.  Herman me
Magbasa pa
Bab 22
 Malam itu, saat Anisa menonton televisi, Saya terus membaca catatan tentang kasus itu.  “Kamu mendapatkan yang kau inginkan, sayang?” tanya Anisa tersenyum kepadaku.  “Ya, begitulah.” Jawabku tanpa menoleh kepadanya. “Jimmi meninggal, jadi mereka memberiku kesempatan mengambil alih kasusnya.”  “Astaga! Aku turut berduka untuknya.” kata Anisa dengan iba.  “Ya, baguslah. Aku juga menyesal menjadi orang yang memusuhinya selama ini.”  "Ayo tidur, Sayang! Kamu terlihat sangat lelah.” Kata Anisa.  “Aku akan menyusulmu nanti. Aku ingin segera menyelesaikan kasus ini.” Jawabku sejenak mengusap rambutnya.  “Baiklah. Tapi ingatlah, kau juga perlu istirahat.” Katanya kemudian pergi ke kamar.  Pukul sembilan pagi saat Saya memasuki ruang rapat, semua petugas terdiam menatap sinis kepadaku. Mereka tidak berusaha menyembunyikan betapa mereka tidak menyukaiku.  “Kalian tahu ba
Magbasa pa
Bab 23
 Saya dan Bagas mengetuk pintu rumah Ahmad. Kami menunggu cukup lama sebelum pintu terbuka. Mirna, istri Ahmad, berdiri di sana, di balik pintu. Saya memperhatikannya dengan cermat. Ini adalah pertama kalinya saya melihat Mirna. Saya tahu Mirna berusia tiga puluh lima tahun tetapi dia tampak lebih tua. Dia mengenakan pakaian mahal dan banyak perhiasan.  “Ya?” kata Mirna tampak bingung melihat kedatangan kami.  “Saya Detektif Deni Prayoga.” Kataku mengenalkan diri.  “Terus? Apa yang Anda inginkan dariku?” tanya Mirna yang mulai tampak tidak nyaman.  Saya memperhatikan perhiasan bagus yang dikenakan Mirna, kalung emas besar, beberapa gelang emas dan cincin ditangannya. Kukunya panjang dan merah.  “Kami ingin menggeledah rumah ini. Kami memiliki surat yang diperlukan untuk melakukannya. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda, sementara Detektif Bagas melakukan penggeledahan.” Kataku sambil menunjukkan
Magbasa pa
Bab 24
 Zaki dan Arya menghabiskan sisa sore itu dengan mewawancarai para pelacur di sekitar setasiun. Tak satu pun dari mereka yang bisa mengingat kapan terakhir kali mereka melihat Della Ananda.  "Para wanita ini membuatku marah," kata Zaki. “Kita harus menyingkirkan mereka semua. Mereka akan melakukan apa saja demi uang.” Arya mendengarkan keluhan Zaki, tapi dia tidak menjawab.  “Istri saya,” Zaki melanjutkan, “Dia adalah wanita yang baik. Dia tidak pernah menyakiti siapa pun dan dia meninggal. Kenapa dia harus mati? Mengapa tidak salah satu dari wanita ini?”  Saya membawa Mayor Hendra ke ruangan tempat mayat itu terbaring. Mayor Hendra adalah seorang tentara yang sudah dua tahun pensiun. Meskipun dia masih terlihat begitu gagah dan kuat, namun dia tetap tidak bisa menyembunyikan sisi lemahnya saat mendengar kabar putrinya meninggal. Dia sangat menyayangi putrinya.  "Apakah Anda siap untuk melihatnya Mayor?" Saya bertanya
Magbasa pa
Bab 25
 Hampir tengah malam, saya berdiri dari meja kantorku. Saya telah duduk selama berjam-jam, saya merasa kaku dan lelah. Saya pergi ke kantor Zaki untuk melihat apakah dia masih di sana. Mungkin saya bisa berbicara dengannya dan membujuknya untuk berhenti memusuhi saya.  Namun Zaki sudah tidak ada di sana. Saya melihat ruang kerjanya. Di mejanya ada beberapa foto Jimmi dan keluarganya. Di sebelah mereka ada catatan kasus Della Ananda. Lalu saya membuka berkas itu. Di bawah tumpukan kertas, ada sebuah buku kecil, buku harian dengan nama Della tertulis di halaman depan. Tidak ada yang memberi tahu saya bahwa mereka telah menemukan buku harian Della. Saat saya membuka buku itu, beberapa halaman telah hilang.  Sudah sangat larut ketika saya sampai di rumah sehingga dia tidak ingin membangunkan Anisa. Saya tidur di sofa ruang depan. Anisa membangunkanku di pagi hari, saat dia membawakannya secangkir kopi.  “Anisa?” kataku saat terperanjat kaget t
Magbasa pa
Bab 26
 Hari-hari berlalu terasa lebih cepat dari biasanya. Senin itu, Saya merasa gugup saat menunggu di studio televisi. Program itu akan segera dimulai. Saya tahu apa yang harus saya lakukan tetapi hanya merasa takut akan membuat kesalahan. Itu adalah pertama kali bagi saya muncul di program kejahatan televisi dan saya harus melakukannya dengan baik.  Orang tuaku, Anisa dan anak-anakku duduk di depan televisi menunggu program dimulai. Mereka tidak akan memulai pesta sebelum aku datang ke rumah.  “Anisa.” kata ibuku, “Apakah kamu sudah menyiapkan kamera? Deni ingin kita merekam acaranya sehingga dia bisa menontonnya nanti.”  "Sudah ibu.” Jawab Anisa dengan singkat.  “Bagus. Sekarang kita bisa menonton siarannya.” Kata Ibuku. “Pastikan tidak ada masalah saat kau merekamnya.” ***  “Selamat malam pemirsa.” Sapa pembawa acara, Hera Sulistiawati, saat memulai siaran televisi. “Topik yang akan kami bahas pada malam h
Magbasa pa
Bab 27
 Di lobi kantor polisi, Bagas sedang duduk berbincang dengan seorang wanita paruh baya. Ketika saya tiba, wanita itu tersenyum ramah menatapku seolah dia mengenalku dengan baik.  “Ini nyonya Elfi Natalia, bos. Orang yang memberikan keterangan seperti yang aku sampaikan kepadamu di telepon tadi.” Kata Bagas memperkenalkan wanita di sampingnya kepada saya.   “Senang bertemu dengan Anda, nyonya Elfi.” Kataku menyapanya. “Saya Detektif Deni Prayoga, penanggung jawab dalam penyelidikan kasus pembunuhan ini.”  “Saya sudah melihat Anda di televisi, Detektif. Itu terlihat sangat luar biasa.” Katanya memujiku. “Senang bertemu dengan Anda juga Detektif.”  Setelah berbasa-basi beberapa saat, saya mengajak Nyonya Elfi dan Bagas ke ruangan saya, untuk memulai wawancara dan dia memberikan kesaksiannya. Dan saya mulai mengajukan pertanyaan atas kesaksiannya.  “Apakah Anda mengenal Karina Julia Mahendra, korban pembunuhan it
Magbasa pa
Bab 28
 Zaki menemui Herman di ruangannya setelah rapat. Seperti biasanya, dia mengeluhkan tentang saya kepada Herman.  "Kami tidak membuat kemajuan dalam penyelidikan, bos," kata Zaki. "Anda harus tahu, Deni mengacaukan kasus ini."  "Biarkan dia melanjutkan," kata Herman. “Kita tidak bisa menyingkirkannya kecuali ada alasan bagus. Hal terbaik yang dapat kamu lakukan adalah mencoba bekerja sama dengannya.”  "Aku merindukan Jimmi, bos," kata Zaki menatap Herman. "Dia adalah polisi yang baik dan dia adalah temanku."  "Kami semua merindukannya, Zaki. Tapi mulai sekarang kamu harus bekerja sama dengan Deni, terlepas dari kamu mau atau tidak." Kata Herman yang membuat Zaki tidak bisa menyembunyikan perasaan kesalnya.  Zaki merasa tidak mendapatkan apa yang dia inginkan dari Herman. Kemudian meninggalkan kantor Herman. Dia pergi ke bagian arsip. Di sana dia menemui petugas Irwan yang saat itu bertugas di ruang arsip. &
Magbasa pa
Bab 29
 Dua tahun yang lalu, kasus pembunuhan terjadi di tempat karaoke. Korbannya gadis berusia dua puluh lima tahun, dia adalah seorang pemandu karaoke. Gadis itu bernama Elena Yasmin. Dalam catatan laporan penyelidikan, kasus itu tidak pernah terpecahkan siapa pelaku pembunuhan tersebut. Dan yang bertanggung jawab menangani kasus itu adalah Detektif Jimmi Haryadi.  Saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan saya ketika membaca berkas laporan kasus pembunuhan itu. Karena sejauh yang saya ketahui, Jimmi tidak pernah menutup kasus yang dia kerjakan tanpa memecahkannya. Saya tidak akan pernah menyangka akan menemukan adanya nilai merah di dalam rapor prestasinya, dan dari berkas laporan ini membuktikan hal itu.  “Apakah Zaki menduga kasus itu ada hubungannya dengan kasus pembunuhan yang sedang kami selidiki saat ini?” gumamku kepada diriku sendiri. “Tapi itu tidak mungkin. Zaki bahkan tidak tergabung dalam tim yang menyelidiki kasus itu, bagaimana dia bisa me
Magbasa pa
Bab 30
 Pagi hari, seperti biasanya saya mengumpulkan semua petugas di ruangan rapat untuk membahas perkembangan kasus. Sebelum itu saya menemui Herman ruangannya.   Herman datang ke kantor lebih awal untuk membicarakan perkembangan kasus pembunuhan Karina Julia Mahendra dan Della Ananda dengan saya. Ketika saya masuk, dia menatapku dengan sorot mata yang aneh.  “Kau sudah membaca koran kemarin?” dia bertanya tanpa basa-basi ketika saya duduk di seberang mejanya.  “Ya, sudah.” Jawabku singkat.  “Aku tidak menerima laporan tentang itu?” Kata Herman.  “Kukira aku punya wewenang penuh untuk memerintahkan petugas di dalam tim untuk melakukan penyelidikan.”   “Kau benar tentang itu,” kata Herman menatapku lebih serius. “Tapi apa pun yang kau lakukan, seharusnya kau melaporkannya kepadaku.”  “Bagiku yang kami lakukan adalah hal yang biasa dilakukan polisi, dan tidak ada penemuan berarti yang
Magbasa pa
PREV
123
DMCA.com Protection Status