All Chapters of Melayat Setelah Dilayat: Chapter 31 - Chapter 40
40 Chapters
Nostalgia
    Satu bulan ini, Bu Naji sangat kesepian. Suamainya sering pergi ke kota mengurus beberapa aset milik Ira. Entah mengapa dirinya enggan untuk ikut, meski rasanya rindu.     Bu Naji berziarah ke makam sahabat sekaligus orang tua Ira, lanjut kemudian ke rumah peninggalan mereka untuk sekadar menyapu debu karena ditinggal penghuninya. Rasa rindu yang menyeruak membuat Bu Naji betah berlama-lama dalam rumah Ira."Bulannya tumpah ruah ya, Bu?" "Maksudnya?" Meski tanpa menoleh ke belakang, Bu Naji paham betul itu suara siapa. Sebelum menikah dengan Pak Hadi, ke mana-mana mereka memang selalu bersama meski rumahnya agak berjauhan."Dulu kalau mau kredit apa-apa sama Ira selalu ngerepoti aku. Sekarang, giliran udah kaya malah dilupain. Nasib jadi orang miskin ya, gini." Tawa Bu Naji langsung meledak setelah mendengar pernyataan sedih yang jelas dibuat-buat itu."Siapa yang lupa, Bu? Bu Nia aja yang enggak pernah main ke rumah saya
Read more
Ngidam
    Langit sudah menguning saat Bu Naji pulang dari rumah Ira. Pikiran yang sedikit kacau membuatnya seperti melayang, berjalan ke manapun kakinya mengarah. Sedikit tergesa dia menuju rumahnya karena mendekati waktu magrib seperti ini, desanya akan semakin sepi. Ceklek! Lampu teras rumah Bu Naji menyala saat kakinya baru saja melepas sandal. Dia sampai berjingkat saking kagetnya. Refleks pandangannya menoleh ke arah dua bangunan di samping rumahnya, klinik kosong dan rumah Pak RT."Hah?" Sekilas nampak seperti bayangan seseorang dalam rumah Pak RT. Tiba-tiba saja angin berembus, membuat Bu Naji semakin merinding. Dia segera memasuki rumah karena azan magrib berkumandang.    Usai salat, hati dan pikirannya belum tenang. Debar jantungnya masih belum bisa ia netralkan. Meski sudah diminimalisir dengan membaca Al-Qur'an, tetap saja rasa was-was itu ada."Iya, Bu. Ada apa?" Suara dari sambungan telepon Bu Naji. Dia menelepon suaminya demi me
Read more
Maling
    Wanita yang ditatap Ira malah cengengesan. Meski sudah bertahun-tahun tak bertemu, tapi Ira masih ingat betul siapa wanita ini. "Iya, Mbak. Aku lapar. Kata Ibu suruh ambil di dapur karena Mbak udah datang." Ah, bukan itu jawaban yang ingin Ira dengar."Enggak gitu, kamu kok bisa ada di rumah ini?"Gadis berambut sebahu itu mengendikkan bahu. "Takdir. Aku cuma ikut Ibu ke rumah sahabatnya, kok," jawabnya sambil berlalu setelah mengambil seporsi makanan."Sahabat?" gumam Ira lirih. Kenapa semua orang tua punya sahabat sih? Apakah zaman dahulu itu setiap orang wajib memiliki sahabat? "Tunggu! Kalau dia ke sini sama ibunya, berarti ....""Mah, kok lama?" Rendi melongok dari pintu dapur. Memastikan, istrinya baik-baik saja.Segera Ira menggiring Rendi ke kamar. Ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan. "Ayah tau, siapa tamu yang datang?" ucap Ira setelah mengunci pintu kamar. Rendi menepuk jidatnya. "Kan udah tak bilangin berapa kali, Ayah
Read more
Dua Masalah
"Apakah Tante atau anak Tante bisa menjelaskan, mengapa perhiasan Mama saya bisa berada dalam koper ini? Nggak mungkin salah ambil kan, secara ini lebih dari satu, lho." Mama Rendi seperti kehabisan oksigen, napasnya terasa sesak sekali. Tak percaya dengan apa yang ia lihat, dia memilih menutup mata berharap semua hanya mimpi."Astaga, Ibu! Jadi ini semua milik Tante ini? Kok ibu masukin koper, kan bukan milik Ibu. Wah, jangan-jangan penyakit pikun Ibu kambuh lagi ini," ucap Desi. Meski lancar, tetap saja masih terlihat gugup."Oh, jadi udah pikun, ya. Jangan bilang, kabur sampai bisa nginep di sini ini juga pikun loh, kan lucu banget kalau sampai setiap tindak pidananya dibilang karena pikun." Desi gelagapan, wajahnya nampak berpikir keras."Tak ingatin, jangan lupa pakai seragam ini sebelum masuk mes ya, nanti didenda loh kalau sampai pikun nggak dipake," tutur Rendi sambil melempar setelan, yang terdapat nomor di bagian belakangnya. "Jelaskan maksud semu
Read more
Klinik
    Siang menjelang sore saat Rendi, Bu Naji dan Pak Hadi mengadakan pertemuan di salah satu kafe yang terletak di pinggiran kota. Bu Naji sangat tertarik dengan cerita Rendi tentang tamu yang menginap di rumahnya. Sementara Rendi pun demikian, ingin tahu bagaimana masa lalu mereka."Jadi malam itu, Bi Naji merasa ada orang di rumah Bu RT?" tanya Rendi memastikan dirinya tak salah tangkap. Bu Naji mengangguk. "Tapi saya nggak tau pasti juga, karena sehari itu ada di rumah kamu, bersih-bersih sama Bu Nia.""Anehnya, kompor di Rumah Bu RT seperti habis dipakai gitu, kita ngecek besoknya sih, saat saya sudah pulang," sambung Pak Hadi. Jiwa detektif Rendi meronta-ronta. Kali ini Rendi menceritakan detail kejadian malam hari saat mereka menginap di rumah Rendi."Sebentar. Album, kamu bilang? Mereka cari album?" "Dari yang saya dengar begitu, entah juga kalau ternyata kata itu hanya penyebutan untuk hal lain yang disamarkan." Bu Naji diam. Te
Read more
Mulas
    Pagi hari di rumah Rendi seperti biasa, semua orang sibuk menyiapkan aktifitas pagi mereka. Ira yang sudah beres menjemur baju yang dicuci Dina, kaget saat melihat meja makan masih kosong melompong. "Syila lihat Oma?" tanyanya pada balita yang bermain seorang diri di depan kamar. "Oma kan masak kalau pagi." Pertanyaan konyol. Ira menepuk jidat, menertawakan dirinya sendiri. Dia segera berlalu ke dapur. "Ini nanti sopnya mau ditumis atau dikuah, Ma?" Mamanya tidak mengerjakan apapun, hanya diam menatap ke luar jendela. Tak ada jawaban. Ira mendekat pada mama mertuanya. Sudah jam enam kurang, namun sarapan belum matang separuhnya. Akhirnya Ira putuskan untuk mengambil alih mengolahnya."Ma, Mama sakit? Kalau masih pening, istirahat aja dulu. Biar Ira yang masak," ujar Ira sambil memotong wortel. Masih di posisi yang sama, Rumi--mama Rendi tak menyahut. Ira mengembuskan napas berat, beberapa hari ini mama mertuanya memang lebih sering melamun. Pekerjaan ru
Read more
Penjual Es
   Pelataran rumah bidan Roudho, bidan terdekat dari rumah Rendi sesak dengan beberapa kendaraan roda dua dan empat. Sudah biasa, saat pagi dan malam hari memang seperti ini. Makanya Ira jarang periksa di sini, terlalu lama antre. Bidan ini memang terkenal dengan keramahan dan kemanjurannya. Banyak yang jodoh, kalau kata orang-orang. "Bu, perut istri saya sudah mulas dari sebelum subuh tadi. Sepertinya mau melahirkan. Apa bisa didahulukan?" tutur Rendi pada asisten bidan yang bertugas melakukan tensi darah dan pendaftaran."Boleh saya lihat buku KIA-nya?" Rendi mengangsurkan buku berwarna merah muda. Kasihan sekali melihat wajah istrinya yang sudah memucat. Sedari tadi tangannya tak berhenti mengelus perut buncitnya. Tak tega jika meninggalkannya mengantre sendiri, jadi dia mengusahakan istrinya ditangani dulu, atau setidaknya berada dalam ruang bersalin agar ada yang memantau. Lepas itu, dia akan mencari sarapan."Sebentar, ya." Perawat itu masuk ke r
Read more
Mama
"Yah, ini kayaknya Dedeknya udah mau keluar deh. Kontraksinya udah sering banget." Ira melapor saat Rendi baru memasuki kamar mereka."Mamah masih kuat? Ayah salat dulu sebentar, ya." "Ren, sini." Cahyo memanggil Rendi dari dalam kamarnya saat Rendi menuju dapur. "Kenapa, Mas?" "Lihat!" Dina menyodorkan sebuah album pada adik iparnya. Belum sempat membukanya, Rendi mengembalikan lagi. "Kapan-kapan aja, Mbak. Itu, aku mau bawa Ira ke bidan sekarang. Udah sering mulesnya.""Loh? Tadi nggak ada kontraksi sama sekali, kok udah mau berangkat aja," tanya Dina bingung. Namun yang ditanya sudah terbirit ke dapur."Nda, Syila mau bobo." Kaki yang semula hendak menengok Ira, kini berbalik lagi karena putri semata wayangnya memanggil."Nanti habis magrib aja tidurnya, Sayang. Kalau mau magrib gak boleh tidur," jelasnya. "Dingin." Dina mengernyit tak mengerti, pasalnya dirinya merasa gerah. "Ayo, Nda! Kasih selimut." Syila menarik bundanya ke ranjang, a
Read more
Diruwat
    Rumah terlihat sepi saat Rendi mengetuk pintunya. Heran, itulah yang dirasa. "Tadi saat di telepon terdengar heboh sekali, tapi sekarang kok sepi banget. Apa sudah tidur semua?" pikirnya. Rendi putuskan untuk lewat pintu belakang karena tak membawa kunci cadangan.Dengan mengendap, lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi ayah tersebut menyusuri rumahnya. Mengintip satu-satu ruangan untuk menemukan keberadaan mama dan kakak lelakinya."Ren ...." Rendi berjingkat saat tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Ternyata kakaknya. Dua tangan saudaranya itu mengisyaratkan sesuatu yang berlainan. Satu tertempel di bibir, dan satunya melambai pada dirinya."Mama udah tidur," tutur Cahyo, "pakai penenang," lanjutnya. Terlihat lawan bicaranya mendelik."Aman, kok. Dosisnya sesuai kebutuhan," lanjutnya lagi. "Tapi kan nggak bisa sembarangan gitu, kasih obat penenang. Apalagi mama udah nggak muda," protes Rendi. Kesal saja, hanya karena marah-marah langsung dikas
Read more
Informasi
"Tolong cari informasi mengenai orang ini. Untung-untung bisa tahu detail masa lalunya sebelum menikah," ujar Cahyo pada lelaki paruh baya di hadapannya. Lelaki tersebut tersenyum seraya membaca lembar kertas yang baru saja ia pungut. "Kualitas tergantung harga," jawabnya tersenyum miring. Melihat dari data pribadi ini, sepertinya agak rumit karena yang bersangkutan sedang dalam masa tahanan.Rendi menyuap siomai yang baru saja diantar oleh pramusaji. Warung tempat mereka janjian dengan penjual es cincau memang cocok. Meski ramai pengunjung, tetapi setiap meja satu dengan yang lain ada pembatasnya. Memungkinkan untuk berbicara hal yang bersifat privasi tanpa khawatir didengar oleh pengunjung lain."Baik. Berapapun, asal saya puas dengan kinerja Anda," putus Cahyo akhirnya. Sarto, penjual es cincau yang mengaku sebagai inteligen itu tersenyum puas. "Bisa diatur," ujarnya jumawa.Pagi itu, Cahyo sengaja mengajak adiknya menemui penjual es cincau di depan kant
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status