All Chapters of Apa Warna Hatimu?: Chapter 31 - Chapter 40
151 Chapters
Chapter 31 : Penyamaran Terbongkar
    "Pagi, Bernard," sapaku.    "Pagi, Hazel. Wah, ada yang sedang bahagia? Wajahmu cerah sekali?" kata Bernard.    "Iya yah? Mungkin karena mimpi dapat lotere," sahutku sekenanya.    "Pagi-pagi sekali Pak Richard sudah menaruh buku di ruanganmu."    "Oke, thanks infonya."    Aku berjalan cepat ke ruanganku. Mataku terbelalak saat rak di belakang mejaku penuh oleh buku! Kuamati lebih dekat dan aku semakin takjub karena semuanya buku impor! Apakah ini buku koleksi Richard? Hatiku tersentuh.    Oh, ada novel tebal karangan JRR Tolkien! Aku mengambil salah satu novel dan membukanya. Aku langsung jatuh cinta melihat deretan tulisan dalam bahasa Inggris. Bosku memang yang terbaik.    "Pagi, Hazel." Richard melongok dari luar.    "Pagi juga. Ini semua bukumu?"    "Sebagian koleksiku. Sepertinya aku tidak salah pilih." Richard melihat nov
Read more
Chapter 32 : I Hate Monday
    Untuk beberapa hari ini Bryan tidak akan bisa menyamar sebagai Richard. Bibir bawahnya sobek karena pukulan Richard. Aku tidak kasihan melihatnya. Siapa suruh dia menipuku!    Kami bertiga duduk di ruangan Richard. Hawa permusuhan membuat oksigen menipis. Aku bernafas dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara.    "Kali ini lo udah berbuat melewati batas. Gue harap lo nggak mengganggu Hazel lagi, atau lo akan mendapat lebih dari luka itu," tutur Richard dengan tenang.    Bryan tertawa, "Memangnya Hazel udah jadi milik lo? Dia wanita bebas, Brother. Lo nggak berhak mengatur gue, atau dia."    Mereka berbicara seolah aku tidak ada di sini loh! What the .....    "Apa yang lo lakuin tadi bisa disebut pelecehan. Gue nggak suka ada orang yang melecehkan karyawan gue. Ngerti?"    "Dari apa yang gue dengar, lo pernah mengungkapkan perasaan terhadap Hazel. Itu bukan termasuk pel
Read more
Chapter 33 : Cuti Panjang
    Pagi yang aneh bersama bos yang aneh, batinku. Sudah dibilang tidak usah, malah memaksa untuk mengantar. Bukannya aku tidak bersyukur punya bos yang perhatian, tapi apa kata Mama nanti melihatku diantar pulang lelaki? Bisa-bisa Richard diinterogasi sehari semalam.    Aku berusaha untuk menikmati pemandangan. Perjalanan kami sudah mulai memasuki kota tetangga tempat Mama tinggal. Banyak pepohonan rindang menyambut mata.    "Di sini, sudah sampai," kataku kepada pak sopir.    Richard memarkir mobil di depan rumah Mama. Loh, mau apa dia? Masa mau ikut turun??    "Rumahnya sejuk sekali," ujar Richard.    "Iya. Dulu waktu kecil aku suka memanjat pohon," kenangku. "Thanks udah mengantarkan."    "Sama-sama, Hazel. Selamat berlibur."    Aku turun dengan segenap bawaanku, sebuah ransel gunung berukuran besar. Aku menunggu di pintu gerbang sampai mobil Richard melaju p
Read more
Chapter 34 : Menyibukkan Diri
    Aku menyelesaikan sebuah lukisan! Awalnya aku berusaha melukis kembang sepatu yang sedang mekar berseri, tapi gagal dan jadi lukisan abstrak. Elisabet tetap memasukkan lukisanku dalam bingkai. Dia bersikeras pasti ada yang mau membelinya, karena kita tidak dapat menebak selera orang.    Kembang sepatu yang malang, batinku.     Menjadi putri seorang pelukis tidak menjamin bahwa diriku pun piawai melukis. Aku lebih suka menciptakan sebuah desain yang indah secara digital. Bukannya aku tidak suka menggambar. Aku suka! Hanya saja tidak ada waktu untuk melakukannya.    Jadi kata kuncinya adalah 'tidak ada waktu', bukan 'tidak bisa'.    Aku menunduk, kalah oleh logikaku sendiri.    "Hazel, nanti sore temani Mama ke galeri ya?"    "Oke, Ma. Sekarang kita mau ngapain?"    "Sapu daun kering sana."    "Hah?"    "Itu, daun kering di
Read more
Chapter 35 : Perkenalan
    Subuh jam tiga pagi Elisabet sudah sibuk di dapur. Aku yang mendengar suara alat masak berkelontangan mengira ada maling masuk rumah. Hampir saja aku menerjang si 'maling'. Untung lampu dapur menyala jadi aku tidak salah melihat Elisabet sebagai maling.    "Aduh Mama... Bikin apa sih pagi-pagi?" Aku mengeluh dan menguap dalam waktu bersamaan.    "Mmm... Ayam bakar, roti manis, selai nenas, sirup buah." Elisabet mengabsen menu masakannya.    "Ya ampun, Mama menyambut tamu agung...," keluhku. "Kok aku nggak pernah dibuatkan makanan begini?"    "Anak Manis, kamu masih mengigau ya? Kalau nggak mau bantu Mama, kamu kembali tidur sana. Nanti Mama masak kamu."    Aku menguap. Kakiku punya pikiran sendiri, mereka melangkah kembali ke kamar. Wajahku menempel di bantal dan aku langsung molor, istilahnya 'pelor'.    Bunyi dering handphone menginterupsi mimpiku berduel dengan Jet Li. Ak
Read more
Chapter 36 : Makan Siang Yang Berbeda
    I love Monday! Terutama karena tidak ada gangguan dari Bryan! Dari info yang diberikan Bernard, lelaki itu sedang ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Syukurlah. Aku bisa mencurahkan perhatianku sepenuhnya pada pekerjaan, dan juga mencuri waktu bermalas-malasan.    Saat mengalami desainer's block aku membaca buku. Richard tidak terlalu mempermasalahkan, baginya yang penting adalah hasil akhir. Aku senang punya bos yang result oriented, tidak mementingkan proses dan detil kerja.    "Hazel, kamu nggak makan siang?" Richard melongok dari pintu.    Aku mengangkat wajah, "Udah jam duabelas??"    "Ayo ikut, kalau nggak kamu terkunci di dalam loh. Aku dan Bernard mau makan siang bersama."    "Yes, ikut!" Setelah memastikan semua pekerjaan sudah tersimpan, aku menyambar handphone dan dompet.    "Wah, Hazel penuh semangat hari ini. Mungkin aku juga perlu cuti panjang sekali-sekali."
Read more
Chapter 37 : Sekretaris Dadakan
    Mana ada sekretaris yang memakai celana jeans dan sepatu kets? Aku terus menggerutu dalam hati sejak berangkat dari kantor menuju tempat meeting di sebuah hotel bintang lima. Richard sih berkata aku cukup duduk manis dan mencatat, biar dia yang berbicara.    Ya iyalah! Masa job desc-ku mau ditambah lagi jadi CEO?? Tidak lucu deh.    Aku yang jarang-jarang masuk ke hotel bintang lima tertakjub melihat interiornya. Chandelier yang menjuntai dari langit-langit setinggi limabelas meter itu pastinya lebih besar dari kamar tidurku. Wajahku menengadah, membuatku tidak menyadari Richard berhenti mendadak. Jadilah aku menubruknya.    Richard melotot. Aku meringis. Salahku? Bukan! Jelas-jelas salah interior hotel yang terlalu wah.    Kami masuk ke sebuah ruang meeting mewah. Pencahayaannya saja menggunakan lampu 40 Watt. Bagaimana mataku tidak kesilauan? Tunggu dulu, aku harus jaga image. Aku bertindak sebagai sekre
Read more
Chapter 38 : Lelaki Trans
    Aku mengeluh karena pagi ini Richard menyeretku ke meeting yang tidak ingin kuhadiri. Padahal aku sedang asyik membuat tagline untuk perusahaan F&B, food and beverage kepunyaannya.    Sebelum tiba di hotel tempat meeting Richard masih sempat-sempatnya membelikanku blazer. Aku masih mengeluh seperti orang sakit gigi padahal blazer berwarna putih gading ini membuat penampilanku keren habis!    "Ingat, jaga ekspresi meskipun kamu ngantuk setengah mati," ujar Richard saat kami berada dalam lift.    "Iyaaa," sahutku seenaknya.    "Hazel. Serius."    "Serius? Gue udah serius dari tadiiiii." Aku keceplosan prokem. Tanganku langsung mendekap mulut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.    Richard geleng-geleng kepala.    "Sorry," cetusku tanpa merasa bersalah sama sekali.    "Ingat. Beraktinglah sebagai seorang sekretaris yang baik." Richard mengi
Read more
Chapter 39 : Abram Yilmaz
    Sepanjang makan siang sampai perjalanan kembali ke kantor aku memilih untuk diam seribu bahasa. Bukan karena sedang sariawan, tapi malu! Richard menyeretku masuk ke lift eksklusif. Aku tidak kuasa melawan karena tenaga kami tidak sebanding. Sedetik sebelum pintu lift tertutup aku berhasil melarikan diri.    Aku rela berjejalan dengan rombongan karyawan segedung daripada berduaan dengan Richard dalam lift. Dia pasti mau meledekku habis-habisan tanpa ada saksi mata.    Ketika pintu lift terbuka di lantai duapuluh Richard terlihat menungguku di meja Bernard. Aku pura-pura tidak melihat dan berjalan lurus masuk ke ruanganku.    "Hazel," panggil Richard.    "Ya?" Aku tersenyum gelisah. Mau apa dia membuntutiku?    "Entah kenapa aku sering mengalami masalah komunikasi denganmu. Ada apa sebenarnya?"    "Nggak ada apa-apa." Aku mempertahankan senyum sampai pipiku pegal. 
Read more
Chapter 40 : Pengamatan Abram
    Aku semakin mengagumi Richard. Dia masih bertahan menghadapiku yang seperti ini. Beberapa kali aku berusaha melancarkan serangan ke titik vital, dia mementahkannya tanpa terbawa emosi. Katanya mau melakukan sesuatu yang gila? Ini sih tidak gila.    "Mikir apa kamu??" Richard menyerang dengan pukulan ke arah wajah.    Aku menepisnya dengan dua tangan, karena aku tahu satu tangan tidak akan cukup untuk beradu tenaga dengan Richard. Secepat kilat aku menyilangkan kaki kiri ke belakang dan menyodokkan tumit kananku ke perutnya. Richard terdorong mundur selangkah. Aku mengejar dengan pukulan menggunakan telapak tapi Richard mundur selangkah lagi sehingga seranganku mengenai udara.    "Sial," cetusku.    "Kenapa? Capek?" tantang Richard.    "Enak aja!"    Kami bertukar serangan dengan tempo cepat. Lenganku mulai ngilu karena terlalu banyak beradu dengan Richard. Besok pasti muncul
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status