Semua Bab Apa Warna Hatimu?: Bab 11 - Bab 20
151 Bab
Chapter 11 : Jangan Resign
    Seumur hidupku hingga saat ini tidak ada seorang pun yang curiga pada kacamata bingkai perak yang kupakai. Lensanya cuma plastik biasa tanpa plus, minus, atau silinder. Tidak ada yang tahu kacamataku berfungsi sebagai filter akan penglihatanku.    Sampai saat ini cuma Wahyu yang tahu. Makanya dia meminta pertolonganku untuk melihat ketulusan Dion.    Entah berkat atau kutukan, sejak kecil aku bisa melihat warna hati seseorang. Dalam penglihatanku warna hati itu seperti sepasang sayap, dan warnanya macam-macam tergantung pada isi hati orang tersebut. Aku bahkan telah belajar menafsirkan warna-warna yang kulihat itu.    "Heh, bengong aja!" Wahyu menendang kakiku.    Aku meringis, "Ujung sepatu lo keras amat sih??"    "Halah, buat lo yang sabuk biru taekwondo tendangan segitu mah nggak ada apa-apanya, Bro!" Wahyu tertawa.    "Tetap aja bikin memar," gerutuku sambil mengusap tul
Baca selengkapnya
Chapter 12 : Pendekatan Halus
    Setelah ancaman resign-ku kemarin Richard tidak lagi bersikap arogan, tapi tetap saja dia membujukku untuk menerima kartu akses ke lantai duapuluh satu. Hanya karena Bernard juga memegang salah satu duplikat kartu lah aku menerimanya.    "Hazel, ayo makan siang. Aku mau bicarakan sesuatu denganmu," ajak Richard.    "Hah? Memangnya jam berapa...?" gumamku.    "Setengah satu."    Aku mengernyit, pantas saja perutku terasa lapar.     "Aku tunggu di--"    "Nggak usah, aku mau ke kantin saja." Aku membetulkan kacamataku yang merosot.    "Oke. Sehabis makan siang kita bicara sebentar."    Aku mengangguk. Otakku masih melekat di pekerjaan.    Richard naik ke atas sementara aku turun ke kantin. Aku berharap masih bisa bertemu Wahyu.    "HEEEEEIIIIIII PENGHUNI LANTAI DUAPULUHHH!!!"    Aku menutupi wa
Baca selengkapnya
Chapter 13 : Hipokrit!
    Aku memutuskan untuk fokus pada satu perusahaan terlebih dulu daripada memaksakan diri untuk mengerjakan ketiganya sekaligus. Sekarang aku sudah tidak perlu berusaha untuk tidak bertemu Richard, kan?    Kuakui, dinding kaca dengan pemandangan langit membuat pikiranku lebih jernih. Gagasan datang dengan cepat dibandingkan ketika aku bekerja di lantai limabelas. Aku bebas memutar lagu apa saja tanpa terganggu oleh celotehan Wahyu. Kadang kalau sudah teramat bosan aku akan mengobrol dengan Bernard.    "Oh, jadi hari Minggu kemarin kamu sampai tidak pergi ke pantai saking lelahnya?" kata Bernard.    "Betul banget. Biasanya aku bisa nongkrong seharian tuh. Mudah-mudahan Minggu ini bisa pergi."    Bernard mengangguk.    "Ngomong-ngomong selama ini kamu selalu sendirian di kantor dong? Richard kan sering keluar?" tanyaku penasaran.    "Aku sudah terbiasa. Kalau bosan aku tinggal ku
Baca selengkapnya
Chapter 14 : Musuh Dalam Selimut
    Bernard terkejut melihat wajahku yang sekeruh air kobokan. Dia pasti terheran-heran karena tadi aku keluar dengan wajah cerah, eh satu jam kemudian berubah seratus delapanpuluh derajat.    "Hai Bernard..., sudah makan siang...?" tanyaku.    "Sudah. Bagaimana di kantin? Aman?"    "Hmmm...." gumamku.    "Oke."     Aku tidak dapat menceritakan obrolanku dengan Wahyu karena akan berdampak bagi banyak orang. Biarlah kusimpan sendiri.    Mood-ku untuk bekerja sudah lenyap. Aku merebahkan diri di sofa oranye dan memeluk bantal. Kucoba melupakan obrolan tadi.    Percuma!    Wajah Daniel terbayang-bayang di pelupuk mataku. Aku ingin sekali memojokkan dan menamparnya bolak-balik dengan sandal jepit yang diolesi cabai rawit.    Aku mengendap-endap ke depan, hampir membuat Bernard terkena serangan jantung karena muncul di sampingnya t
Baca selengkapnya
Chapter 15 : Mengungkap Perasaan
    Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Jiwa petualangku memberontak ingin segera melaju ke pantai. Aku sarapan sekedarnya, roti oles mentega dan segelas besar susu cokelat. Sehabis makan aku cepat-cepat mandi dan berpakaian. Aku ingin waktu berjalan lebih cepat menuju jam delapan.    Aku mematut diri di depan cermin. Rambutku kuikat ekor kuda. Pakaianku ringkas berupa kaos putih dan jeans selutut. Sepasang sayap berwarna putih terkembang di punggungku. Aku memakai kacamata dan sayap itu pun lenyap dari pandangan.    Betul, seperti itulah cara kerja kacamataku. Dia memfilter penglihatanku.    Tidak betah menunggu aku turun ke lobby. Sekarang sudah jam setengah delapan. Semoga Richard datang lebih cepat.    Aku nyaris tertidur di sofa saat handphone berdering. Hatiku bersorak kegirangan melihat nama penelepon. Richard!    "Halo? Sudah sampai?"    "Sudah. Aku di depan gerbang."   
Baca selengkapnya
Chapter 16 : Kangen Bu Ani
    Richard jadi sedikit diam sejak kutolak. Aku pun merasa tidak nyaman memaksanya ngobrol, maka kami berjalan dalam keheningan. Mudah-mudahan tidak mempengaruhi pekerjaan kami.    Aku menggamit lengan Richard untuk berbelok. Richard mengikutiku. Bu Ani sudah melambai heboh dari kejauhan. Aku tahu lambaiannya lebih kepada Richard daripada aku.    "Heh! Non! Ke mana aja kok baru kelihatan?? Ihhh nongol-nongol bawa bule ganteng! Kenalin dong sama Ibu," cerocos Bu Ani sambil mengedipkan bulumata palsu.    Aku menahan tawa, "Apa sih Ibu. Baru juga seminggu nggak kemari."    "Nggak penting!" Bu Ani menepuk lenganku keras-keras. "Ini siapa? Kayaknya pernah lihat deh? Pacarnya Non bukan? Gantengnyaaaa kayak Ahmad Albar! Pasti blasteran Timur Tengah! Ibu punya saudara yang kerja di Saudi loh. Katanya mau ajak Ibu main ke sana, tapi sampai sekarang belum kesampean! Kali aja Non nanti ajak Ibu ke sana juga." 
Baca selengkapnya
Chapter 17 : Cerita Tidak Ya?
    Aku tidak mengerti kenapa orang membuat jargon 'I hate Monday'. Memang apa yang salah dengan hari Senin? Sama saja kan dengan hari-hari yang lain dalam minggu?    Dalam kasusku hari Senin ini berbeda karena manusianya.    "Serius, aku kegerahan...," gerutuku sambil mengipasi wajah dengan selembar kertas.    "Itu masalahmu. AC di ruangan ini sudah cukup dingin," sahut Richard tanpa peduli. Dia tetap duduk mepet di sebelahku.    "Aduh, lebih baik biarkan aku selesaikan satu halaman ini, baru nanti sore kita lihat bersama. Bagaimana?"    "Aku mau lihat."    Aku mengomel tanpa suara.    "Apa kamu bilang?"    "Nggak."    Richard menghela nafas, "Ayo, mulai bekerja."    "Ya Tuhan, sejak kapan kamu jadi mandor jaman perbudakan? Ini serius mau ditongkrongin sampai selesai?"    "Aku jarang bercanda soal p
Baca selengkapnya
Chapter 18 : Pembalasan
    Kuakui, bercerita membuat beban hatiku terangkat sebagian. Aku telah menceritakan apa yang dikatakan Wahyu kepadaku. Aku juga membuat Richard berjanji untuk tidak ikut campur dalam masalahku dengan Daniel. Dia menyetujui dengan berat hati.    Aku bisa menghadapi masalahku sendiri. Daniel bukanlah sesuatu yang penting dalam hidupku. Toh bukan dia yang menggajiku!    "Hazel, aku keluar meeting. Kamu tunggu ya." kata Richard ketika hari menjelang sore.    "Apa? Sampai jam berapa?"    "Kuusahakan tidak sampai malam. Kalau Bernard sudah pulang kamu naik saja ke atas, oke?"    Aku mengangkat jempol. Richard tahu aku sudah tidak mau turun ke lantai limabelas.    Sepeninggal Richard aku menyetel musik. Pilihan pertamaku jatuh pada Linkin Park. Aku butuh suntikan semangat bukan inspirasi.    Jam lima tepat Bernard memberitahuku bahwa dia akan pulang. Aku mengemasi bar
Baca selengkapnya
Chapter 19 : Kejutan
    "Coba kamu berikan solusi untuk persoalan ini. Ciptakan strategi marketing yang baik untuk sebuah perusahaan bernama PT Angin Ribut."    Aku melongo. Richard serius?    "Bisa?" Richard melirikku sekilas. Matanya tidak boleh beralih terlalu lama dari jalan.    "Pertama-tama, ganti nama perusahaan. Kedua, perbaharui semua media promosi yang ada, dari logo sampai stationery dan lainnya. Ketiga, sewalah seorang Marketing Executive yang handal. Keempat, pakailah jasaku sebagai desainer grafis."    Richard tersenyum geli, "Begitu saja?"    "Iya, cukup lah. Sesuai dengan informasi yang tersedia."    Itulah obrolan ringan kami dalam perjalanan pulang dari AtoZ Properti, salah satu perusahaan yang dipegang Richard. Khusus untuk meeting tadi, hari ini aku memulas bibir dengan lipstik merah muda dan memakai rok pensil.     Siapa bilang desainer grafis tidak boleh t
Baca selengkapnya
Chapter 20 : Gaun Untukku
    "Kapan kamu mau mengajakku ke pesta?" Wajahku merengut.    "Sekarang," kata Richard tanpa dosa.    "Kenapa nggak besok saja?"    "Boleh juga." Richard menahan senyum.    "Aku serius loh. Kenapa mengajakku?"    "Karena kamu temanku."    Aku terhenyak, benar juga. Aku bisa menemani seorang teman ke pesta apa saja.    "Aku nggak mau ah. Aku malas berada di tengah orang-orang yang nggak kukenal."    Richard mengamati wajahku, "Baiklah. Aku nggak memaksa."    Gantian aku yang terdiam. Kupikir Richard akan membujukku dengan berbagai macam cara. Loh? Apakah aku berharap dia membujukku? Kok aneh?    Setelah mengucap salam perpisahan pada Uncle Ramesh kami pun meninggalkan tailor. Hening mencekam. Aku dan Richard tenggelam dalam pikiran masing-masing.    "Kalau aku mau ikut, apa imbalannya?" tanyaku memec
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status