Untungnya hari Senin di minggu berikutnya sekolah diliburkan. Para guru sedang melakukan persiapan untuk lomba hari kemerdekaan. Ia jadi bisa membuat janji belajar memasak di rumah Dirga.
Sebelum berangkat ke kantor, Sadewa mengantar Luna dulu. Satu hal yang Luna baru tahu, ternyata Dirga tinggal di perumahan di kompleks yang sama dengan apartemennya.
Tempat tinggal Dirga adalah ruko dua tingkat yang di lantai bawahnya merupakan sebuah restoran, tepat di pinggir jalan besar yang mengarah masuk ke dalam kompleks. Mungkin ini sebabnya kenapa lauk makan siang Dirga selalu terlihat enak.
“Wah, udah lama Papa nggak ke sini, nih,” kata Sadewa sambil melepas helm. Rambutnya yang keriting sudah berantakan dan mengikal dengan bentuk hati di tengah dahi. “Papa sama mama dulu sering makan di sini.”
“Masa? Terus, kenapa sekarang nggak pernah lagi?&rdqu
Luna sudah berulang kali diberitahu oleh Papanya tentang kekuatan dahsyat dari kristal matahari, dan hari ini ia hampir menghancurkan kakinya sendiri.Saat bola cahaya ditembakkan, tanah di bawah kakinya meledak, menghamburkan butiran kerikil , debu, dan pasir. Luna terhempas beberapa meter ke belakang. Untungnya, ia mendarat di tanah yang cukup lunak dan ditumbuhi rumput, sehingga rasanya tidak terlalu sakit.Ia merasa lega ketika mendapati kakinya masih ada dua dan sudah bisa bergerak lagi. Ujung sepatu barunya tergores dan berbau hangus, tetapi hal itu lebih baik daripada kakinya yang hilang, apalagi harus ditelan hidup-hidup oleh cairan aneh itu.Kumpulan debu yang berterbangan perlahan mulai mereda. Luna melihat sosok hitam itu masih ada di sana, bahkan rasanya semakin besar saja. Ia butuh waktu agar otaknya bisa memproses kejadian yang baru saja ia hadapi, Tenggorokannya terasa kering begitu menyadari wujud seb
Pin baju murahan.Luna sering menonton acara TV di mana ada orang diberi pilihan yang akan membawanya untuk mendapatkan hadiah-hadiah mahal seperti mobil, motor, atau bahkan rumah. Kebanyakan dari mereka selalu berakhir dengan tidak mendapatkan apa-apa, atau bisa disebut juga zonk.Sekarang ia merasakan kekecewaan yang sama. Seperti sebuah zonk.Beberapa kalipun Luna berusaha mengamati, benda di depannya itu tetap sebuah pin baju kecil murah yang bisa dibeli di penjual kaki lima dengan harga dua ribu rupiah.Pin itu sebenarnya tidak terlalu jelek. Bahkan mungkin cukup keren untuk dipasang di baju atau topi kalau saja benda itu masih baru. Bentuknya berupa huruf G berwarna perak metalik yang sayangnya sudah kusam. Di ujungnya yang melengkung, ada bagian yang nampak meleleh dan menghitam seperti terkena api.“Pin ini jatuh waktu Garda Patriot nolong aku.” kata Dirga. “Mer
“ Anak saya nggak apa-apa kok. Nggak, Luna nggak ada luka sama sekali.” Sadewa mondar-mandir di kamar sambil bicara dengan ponselnya , sementara Luna duduk di sofa panjang ruang televisi dan melihat Papanya dengan pandangan hampa. Rambutnya yang tebal sekarang kusut seperti sabut kelapa karena tidak disisir selama berhari-hari, wajahnya juga semuram pikiranya saat ini. Sudah hampir seminggu sejak kejadian itu dan Luna akhirnya benar-benar mogok sekolah. Ia selalu menangis bahkan terkadang menjerit setiap kali Sadewa membangunkannya di pagi hari. Makanan yang setiap hari dihidangkan di depannya hampir tidak tersentuh. Di malam hari, Luna tidak bisa tidur. Meskipun selalu berdoa di waktu malam, ia selalu bermimpi buruk. Sadewa sudah berusaha keras untuk membujuknya sampai akhirnya ia menyerah. Dua hari terakhir, ia membiarkan Luna apa adanya seperti sekarang ini. “Nggih,
Pagi esok harinya adalah yang paling sulit.Luna mati-matian melawan keinginan untuk tidak sekolah. Ia berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Obrolan dengan Papanya kemarin sudah membuatnya membulatkan tekad, ditambah bayangan tinggal bersama dengan Tante Mia entah kenapa begitu menghantuinya kali ini.Sebenarnya kalau semua baik-baik saja, tidak terlalu buruk juga kalau tinggal bersama Tante Mia.Tante Mia sangat memanjakannya. Di rumahnya yang besar dan berlantai dua bagai istana, Luna diperlakukan seperti seorang tuan putri. Ia bebas mengambil kue-kue kering atau permen cokelat yang ada di ruangan makan.Makanan,pakaian, atau apapun yang Luna inginkan, semuanya akan tersedia dengan cepat hanya dengan perintah Tantenya yang seperti sebuah sihir.Masalahnya, ia tidak bisa membayangkan setiap hari akan melihat wajah si Tante yang seperti gabungan antara nenek sihir
Dirga bilang ada rahasia pin garda patriot, tetapi Luna tidak yakin. Sayangnya, sebelum Luna bertanya lebih lanjut, Ibu Win sudah masuk ke kelas. Rahasia apa yang bisa ditemukan Dirga di dalam pin itu? Peta markas kelompok itu? Alat komunikasi untuk memanggil mereka? Atau sesuatu yang kalau ditekan di pin, benda kecil itu bisa meledak seperti bom? Rasanya semua kemungkinan yang dipikirkan Luna hampir mustahil. Di jam pertama ternyata ada ulangan matematika, tentu saja Luna belum belajar. Dengan lesu, Ia mencatat soal yang tertulis di depan kelas. Semuanya ada lima, tentang perbandingan dan skala. Dua soal pertama Luna cukup yakin bisa mengerjakannya, tetapi untuk tiga yang lain, ia kebingungan. Luna diam-diam melirik Dirga. Temannya itu bekerja dengan tenang dan santai, seolah-olah semua soalnya hanya satu tambah satu sama dengan dua. Sesaat, Luna tergoda untuk melirik kertas jawaban Dirga.
Apa sih yang Dirga lakukan sampai dikejar seperti tukang copet? Luna berlari ke lift yang ada di tengah lorong apartemennya, lalu menekan tombol agar lift itu naik. Dengan tidak sabar ia menunggu pintunya terbuka, tetapi angka penanda lantainya bergerak ke atas dengan sangat lambat. Tidak ada waktu lagi. Semakin lama ia berdiri di sini, entah apa yang akan terjadi kepada Dirga. Jadi Luna terpaksa memilih alternatif jalan lain yang kurang disukainya: Tangga darurat. Tangga itu sempit dan curam, jelas bukan pilihan pertama untuk orang yang sedang terburu-buru. Penerangannya juga suram. Luna menuruni tangga secepat mungkin sambil berhati-hati menjaga langkahnya agar ia tidak terpeleset. Walaupun ingin segera sampai ke bawah, turun sambil jatuh berguling-guling jelas bukan ide yang bagus. Udara di sana juga pengap dan berbau cat yang menyengat. Orang biasa mungkin bisa pingsan kalau mereka menuruni dua belas lan
Rasanya Luna seperti mendengar Papa akan menceritakan hal yang memalukan kepada Dirga, seperti. “Luna kalau tidur sering ngiler.” atau. “ Tahu nggak? Anaknya Oom ini sampai SD kelas satu masih sering ngompol, lho.” Namun yang satu ini bakal lebih payah. Kalau ada satu kalimat saja yang salah keluar dari mulut Papanya, Dirga akan terus bertanya sampai anak itu merasa puas. Bu Win saja sering bingung kalau temannya itu mulai bertanya macam-macam tentang pelajaran. Luna takut kalau Papa sampai kelepasan bicara, Dirga pasti mengetahui rahasianya dan menganggap Luna sebagai cewek monster, sama seperti Ara dan teman-temannya yang lain. “Ini namanya kristal matahari,” kata Sadewa memperlihatkan kristal yang baru saja dilepas dari kalung Luna. “Kristal ini langka soalnya bisa simpan tenaga matahari dan bisa dipakai buat sembuhin penyakit.” Ia memandangi Luna. “Dari dulu Luna sakit-sakitan. Dia butuh batu ini biar tetap sehat kayak anak-an
13 –Luna hanya melongo memandangi pin yang baru saja berbunyi.Ia menoleh kepada Papa dan Dirga, berharap salah satu dari mereka bisa memberi saran. Namun, keduanya tampaknya terlalu kaget untuk bicara, bahkan Dirga menatapnya dengan mulut menganga seolah baru saja melihat Luna sudah berubah jadi kodok raksasa.Pin di tangannya kemudian berbunyi lagi. Kali ini suaranya tinggi seperti suara perempuan. “Ini Ti… A… nggak tahu kemana dia … Anak itu… krrsssk … kristal matahari …. bahaya ….. kita harus … kkrrsrk … Maya …”Mendengar nama itu, perut Luna seakan diaduk-aduk. Rasa penasaran menyengatnya, tetapi entah dari mana Luna mendapat keberanian. Ia mendekatkan pin itu ke mulutnya dan mulai bicara. “Ini siapa ya? Kenapa sama Maya? Halo?”“Kamu … siapa?&r